Yusti tak bisa menahan isak tangis yang keluar dari bibirnya. Sungguh sedih dan pilu rasanya jika mengulik masa lalu. Tapi apa mau dikata, semua telah terjadi.
Wanita paruh baya itu mengambil selembar tisu kering di atas meja dan mengusap ke bagian yang basah karena tangisnya dengan gerakan asal. Tak cukup selembar, ia pun mengambil berlembar-lembar tisu untuk mengeringkan cairan bening yang terus menetes.
Setelah dirasa lebih baik, Yusti mengarahkan pandangannya pada Tantri yang dengan sabar menanti kelanjutan cerita masa lalunya.
"Sinta terus dibohongi oleh pria itu, tapi dia selalu menyangkal dan mengatakan pada semua orang bahwa dia baik-baik saja. Bahkan dia mengaku pada bibi bahwa dia sangat bahagia bisa menjalin cinta dengan pria itu. Itu adalah cinta sejati menurutnya.
Hingga pada suatu hari, pria itu mendekati bibi yang jelas-jelas sahabat Sinta. Pria itu bernama Rama, dia menggoda bibi dan berharap bibi mau diduakan denga
Bukan tante Anis, melainkan seseorang yang tak ingin ia temui dalam sepanjang hidupnya. Tantri mendesah pelan. Ia hanya bisa tersenyum pahit mendapati sosok tampan di hadapannya yang berdiri tepat di depan pintu.Arsaka tampak canggung. Ia seperti kehilangan kendali atas dirinya, padahal beberapa saat lalu ia telah meyakinkan diri untuk mendatangi rumah sederhana ini.Kini, semua telah terjadi. Gadis di hadapannya menatap penuh tanda tanya. Arsaka tak meragukan hal itu. Andai saja posisi mereka dibalik dan dirinyalah yang menjadi tuan rumah, ia pasti akan merasa terganggu dengan kedatangan tamu tak diundang semalam ini."Ada apa anda kemari, Pak?" tanya Tantri berusaha bersikap sopan dan menghargai tamu malamnya.Arsaka baru saja mau menjawab pertanyaan si pemilik rumah, namun seorang wanita paruh baya sudah berdiri tegak di belakang gadis tersebut."Eh, kamu lagi, ada apa kamu ke sini semalam ini? Kalau mau bertamu ka
Arsaka memantapkan hatinya. Ini belum terlalu malam untuk mengatakan segalanya, bukan?"Saya mau minta maaf karena tingkah saya yang kekanak-kanakan sama kamu beberapa saat lalu. Saya sadar tindakan saya waktu itu benar-benar tidak mencerminkan seseorang yang bijak dan cerdas.Saya sudah mengatai kamu dengan kata-kata yang tak pantas. Oleh karena itu, saya meminta maaf sebesar-besarnya sama kamu," ujar Arsaka.Kening Tantri berkerut. Benarkah apa yang baru saja didengarnya? Dia tidak salah dengar, kan?Hal itu sukses membuat sepasang matanya menatap keheranan pada tamunya tersebut."Benarkah ini pak Arsaka yang bermulut ketus itu? Kalau ini hanya mimpi, tolong jangan bangunkan saya!" celetuk Tantri tak percaya.Arsaka mengulas senyum tipis di wajahnya. Baru kali ini Tantri menyaksikan kejadian langka tersebut.Jadi, ini bukan mimpi, kan? Apakah ini waktunya untuk dirinya berdamai dengan masa l
Sandy terkekeh geli mendengar kalimat pengusiran yang kedua wanita itu lakukan. Meski tidak secara langsung mengusir, Sandy bisa merasakan bagaimana tatapan penuh kebencian yang diarahkan Aleta padanya. Jujur saja, ia tak peduli akan hal itu."Kalian benar-benar berusaha mengusirku dari sini?" tanya Sandy memastikan."Apakah telingamu bermasalah, Anak muda? Apa jangan-jangan kamu juga tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan saat ini? Kamu kenal siapa aku, kan?" serang Debora pada pemuda itu.Aleta melihat ekspresi ibunya yang begitu serius dan memancarkan kemarahan yang tertahan. Ia tetap akan mendukung keputusan ibunya mengenai apa pun.Sandy tak menjawab. Ia hanya menyeringai tanpa kata. Sandy yang belum juga buka suara membuat kesabaran Debora menipis. Kalau kata orang, sabar itu tak ada batasnya, lain lagi baginya.Menurutnya, kesabarannya itu sangatlah terbatas. Ia tak akan memberikan pengertian bagi orang lain ya
"Anda bertanya apa maksud ucapan saya? Bukankah anda sudah tahu betul akan jawabannya? Hem?" sahut Sandy dengan memiringkan senyumnya.Apa maksud pria ini?Tanda tanya besar memenuhi pikiran Debora dan Aleta. Mereka saling melirik sebelum akhirnya salah satu dari mereka memaksa pria itu untuk menjawabnya."Katakan padaku, apa maksudmu? Jawab! Jangan cuma bisanya sok tahu!" tegas Debora yang mengejar keingintahuannya. Ia harus mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya."Fine, aku tahu kalian berdua pasti nggak sabar, kan? All right, berapa uang yang kalian berikan pada dokter itu agar mau membohongi Arsaka? Hem?" ujar Sandy diakhiri pertanyaan menohok yang membuat napas Debora terasa tercekat.What?Bagaimana dia bisa…"Jangan memfitnahku! Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini! Sudah kubilang kan kalau keberadaanmu di sini tidak dibutuhkan dan hanya membuat suasana menjadi keruh sepe
Sandy berdiri tepat di samping mobilnya. Beberapa saat lalu Arsaka sudah pulang dijemput oleh Pak Yadi. Sepertinya ia harus memberitahu Arsaka mengenai kepergiannya dari ruangan Aleta. "Menggelikan sekali, bagaimana bisa mereka bertahun-tahun menipu Saka? Saka, Saka, kamu itu terlalu baik jadi orang," gumam Sandy yang tak mau berlama-lama di pelataran parkir Rumah Sakit milik keluarganya tersebut. Sandy merogoh ponselnya dan menggulir sebuah nama pada kontak benda pipih canggih miliknya.Arsaka."Halo, San? Ada apa? Kamu masih di ruangan Aleta? Gimana dia sekarang?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Arsaka ketika panggilan telepon telah tersambung.Sandy tersenyum getir. Ia mendongak ke atas, menatap salah satu kamar inap yang bermeter-meter jaraknya dari dirinya. Pria itu memastikan tak ada siapa pun yang akan mencuri dengar informasi yang akan ia sampaikan pada Arsaka. "Saka, kita bisa ketemu sekarang? Ada banyak hal yang mau aku bicarakan sama kamu. Kamu di mana? Aku ke sit
Sandy berdiri di atas kap mobilnya. Ia menatap sang sahabat dengan perasaan aneh. Perasaan yang tak biasa. "Muka kamu tegang banget, ada apa? Kamu mikirin pacar kamu itu?" tanya Sandy memulai pembicaraan.Sandy menoleh ke arah Arsaka yang masih diam berjibaku dengan rokok yang masih mengepul di kedua jarinya. Saat ini Sandy bisa melihat wajah tampan Arsaka yang bermuram durja. Tak ada keceriaan yang tampak di wajahnya. Sebenarnya ada apa dengan Arsaka?"Kalau kamu diam, itu tandanya tebakan aku benar, dong?" Sandy menyikut lengan Arsaka dan tersenyum tipis. Ia berharap dapat meringankan beban sang sahabat. Arsaka menggelengkan kepalanya. "Apa aku kelihatan lagi mikirin cewek? Se-bucin itukah aku?" balas Arsaka yang segera menjatuhkan rokok yang telah tersisa separuh ke paving block yang dipijaknya saat ini. "Who knows?" tanggap Sandy dengan senyuman khas miliknya.Arsaka menatap sang sahabat dengan serius. Ia menengadah ke atas. Ia bisa melihat ribuan bintang yang berpendar di s
"Nah itu masalahnya. Aku udah nggak pacaran sama Aleta. Dan sekarang aku single…" ungkap Arsaka pada sang sahabat. Ia mendongak ke atas lalu menyapukan pandangan ke segala arah. "Ya tinggal cari lagi, dong. Seorang Arsaka nggak akan sulit buat dapatin pengganti Aleta. Toh kamu pernah bilang sama aku kalau sampai detik ini Tante Mona nggak setuju dengan hubungan kamu sama Aleta, kan?" tanggap Sandy mengomentari. "Terus sekarang kamu nyesel putus sama Aleta? Atau kamu patah hati?" lanjutnya menginterogasi kemudian.Arsaka tersenyum getir. Ia memiringkan senyumnya di saat mengingat kilas balik peristiwa yang terjadi pada dirinya. "Bukan gitu masalahnya," potong Arsaka cepat."Ya terus kenapa? Kamu tuh bertele-tele banget, tahu nggak? Nggak biasanya kamu kayak gini. Bikin penasaran. Lama-lama aku jadi kesel sama kamu, Saka!" keluh Sandy yang tak bisa mengontrol rasa ingin tahunya yang begitu besar pada sang sahabat."Sandy! Dengerin dulu aku ngomong. Kamu tuh ya, udah kayak emak-emak ya
Di sinilah Arsaka sekarang. Di pagi buta yang masih menggelap ditemani ribuan bintang di atas sana, ia sudah berada di depan rumah seseorang. Tak sendiri, Arsaka ditemani oleh seseorang yang tak asing baginya. Saat ini bukan Yadi yang menemaninya, melainkan sang sahabat yang sedari tadi malam terus bersamanya berjaga di kamar inap Mona Rosalie. Sandy yang terbiasa melakukan sesuatu saat itu juga alias gercep pada sesuatu hal terus membuat Arsaka terganggu alias terusik. Mau tak mau, Arsaka datang ke rumah Tantri di jam… Astaga! Ini waktunya sembahyang shalat subuh. Arsaka tak menyadari hal itu. Sumpah demi apa pun ia benar-benar terkejut dan refleks menepuk keningnya secara spontan. "Sandy! Ini waktunya orang-orang pada sembahyang. Kenapa aku bisa ngikutin maunya kamu ke sini? Bisa-bisanya aku ada di sini sama kamu jam segini. Ini jam-jam yang… ah entahlah.. Ya Tuhan, apa otakku bermasalah?" keluh Arsaka sembari geleng-geleng kepala. Sandy tersenyum senang. Rasa penasarannya aka
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "