Sandy menggeleng pasrah. Ia tak punya pilihan lain selain melakukan itu. Ia tersenyum konyol dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.Melihat Arsaka keluar dari mobil dengan cepat, ia pun melakukan hal yang sama. Ia tak mau ditinggal sendiri di dalam mobil dan berujung seperti orang hilang. "Saka, tunggu," pekik Sandy yang segera mengikuti ke mana Arsaka melangkahkan kakinya.Arsaka hanya menoleh ke belakang selama sepersekian detik. Ia pun mencari tempat berwudhu dan segera menyucikan diri. Lagi-lagi Sandy melakukan hal yang sama dengan Arsaka. Ia seperti orang yang tak punya pendirian. Bahkan di saat Arsaka tengah berwudhu di samping masjid, Sandy melakukan hal itu dengan kesadaran yang dipertanyakan. Usai berwudhu, Arsaka memperhatikan sang sahabat dengan tatapan tak biasa. "Kamu masih ingat doanya apa nggak?" tanya Arsaka dengan senyum meledek."Sembarangan kamu, Saka. Masih ingatlah. Kurang ajar pertanyaan kamu!" gerutu Sandy seraya mengerucutkan bibirnya. Arsaka terkekeh gel
Arsaka kembali menatap ke arah sang gadis yang sengaja ia buntuti. Ia merasa aneh dengan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Ada apa ini?Tak mungkin jika semua yang terjadi saat ini adalah sebuah rasa bermakna kecemburuan?Bullshit!Mana mungkin ia cemburu pada gadis yang sama sekali tak memenuhi kriterianya? Hanya karena terlihat berbeda saat mengenakan mukena bukan berarti ia memiliki perasaan padanya. Tidak. Itu tidak mungkin. Arsaka menggeleng cepat. Ia segera mengenyahkan segala pikiran aneh yang merayap ke dalam pikirannya saat ini juga. Tapi entah kenapa sepertinya semesta sengaja ingin menguji dirinya dengan semua pemandangan ini. Arsaka terdiam sembari bersikap dingin. Ia mencoba memalingkan wajahnya tapi beberapa detik kemudian ia kembali menatap ke arah Tantri yang sedang berbincang santai dengan Banyu. "Kita mau di sini sampai kapan?" tanya Sandy yang tiba-tiba mengejutkan Arsaka.Arsaka refleks menatap ke arahnya. Tanpa jawaban, Arsaka pun melangkah lebih dul
Arsaka mengerutkan kening. Alis di wajah tampannya terangkat. Tatapannya menyorot jelas pria yang duduk di sebelahnya."Ada apa, San?" tanya Arsaka seraya menyipitkan mata. Krucuukkk krucuukkk krucuukkkSuara apa itu?Sudah jelas bukan, seseorang memberi kode keras lewat perut yang berbunyi nyaring pagi ini."Kamu lapar?" tanya Arsaka konyol."Ya iyalah. Masa suara barusan karena aku ngantuk? Yang benar ajalah, Saka. Aku laper banget dari semalam," aku Sandy jujur."Oke, aku akan ngajak kamu makan ke gerai ayam goreng dua puluh empat jam di ujung sana. Di sana ada Mexdi, kamu bebas makan apa pun dan berapa pun yang kamu mau. Oke?" ajak Arsaka berharap mendapat jawaban 'ya' dari sang sahabat.Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Bukan junk food yang Sandy inginkan untuk dilahapnya pagi buta ini. Melainkan…"Aku pengen cari jajanan pasar, Saka. Kalau makan begituan, di London juga banyak," tolak Sandy dengan pendapatnya sendiri."What? Jajanan pasar? Kamu? Kamu ngidam?" terka Arsaka as
Setelah menanyakan hal itu pada sang putra, Mona mengamati dari atas sampai bawah penampilan Arsaka. Pemuda tampan berusia dua puluh enam tahun itu tampak berbeda. Dengan padu padan kaos dan celana panjang santai, sang putra tampan begitu menawan dan menarik. Dilihat dengan cara seperti itu oleh sang ibu membuat Arsaka salah tingkah. Ia merasa tak ada yang salah dengan penampilannya. "Saka baru selesai shalat, Ma," Arsaka berhasil berkata. Ia menjaga nada suaranya tetap datar agar tak membuat sang ibu merasa curiga. "Di mana? Di masjid Rumah Sakit?" tanya sang ibu bak seorang penyelidik yang sedang melakukan investigasi. Arsaka merasakan kesadaran itu mengejutkan seluruh akal sehatnya. Haruskah ia mengaku? Oh shit!Arsaka bingung. Ia tak bisa berbohong di depan wanita paruh baya di hadapannya. Napasnya tercekat. Debar jantungnya semakin cepat. Dan saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbohong. Karena jika ia berbohong di saat seperti ini, sang ibu pasti akan langsung mengetahu
Arsaka mengedarkan pandangan ke sekelilingnya saat ini. "Mama, bisakah kita berbicara hanya berdua saja?" tanya Arsaka yang merasa tak nyaman jika pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. Ia mencoba berhati-hati dalam merangkai kata pada sang ibu. Ia tak mau sang ibu menuduhnya yang bukan-bukan atau meremehkan orang-orang yang kini ada di ruangan tersebut.Mona menatap ke sekitar dengan polosnya. "Kenapa harus berdua saja? Tidak apa-apa kan kalau di sini ada Bi Mira dan Pak Yadi? Memangnya salah kalau ada mereka di sini?" tanya balik sang ibu yang membuat Arsaka bungkam seribu bahasa. Arsaka merasa bimbang. Bagaimana cara menanyakan hal yang beberapa hari ini membelenggu pikirannya kalau ada orang lain di sini?"Kalau mau bertanya, tanyakan saja, Saka. Nggak masalah kan kalau ada Bi Mira dan Pak Yadi di sini? Mereka bukan orang asing buat Mama. Jadi Mama menganggap ada atau tidak adanya mereka di sini tidak jadi masalah buat Mama. Berbeda dengan kamu. Apa kamu merasa terganggu
Kesadaran lain menyesakkan udara di sekeliling mereka saat ini. Hal itu mengingatkan kenangan lama di benak Mona yang cukup menyakitkan. "Saka," panggil sang ibu dengan wajah serius. Tapi hal itu tak berujung penjelasan. Ia mendongak ke atas. Ia menatap pemuda tampan yang masih menunggu jawaban keluar dari bibirnya. "Kenapa Mama nggak mau jawab pertanyaan Saka?" tanya Arsaka. Mata gelap itu terlalu panas, ada sesuatu yang jauh lebih mengancam daripada amarah di sana. Kebohongan. Rahasia. Dan Arsaka sangat membenci kedua hal tersebut. Ia tak suka dibohongi dan sesuatu yang dirahasiakan. "Bukan maksud Mama untuk nggak menjawab pertanyaan kamu. Tapi…""Tapi apa, Ma?" Arsaka mencoba memberikan pilihan. Ia berusaha menyunggingkan senyum. Ia memaksa dirinya berdiri dengan tenang dan santai. Arsaka tertawa. Tertawa penuh misteri. Ia merasa sakit di saat yang bersamaan. Lalu ia pun mengusap wajahnya yang tampan dengan kedua telapak tangannya. Ia pun menurunkan kembali tangannya. "Aku me
Rasa sakit atas bayangan itu menerjangnya, membuat napas Mona tercekat. Ia harus menjawab apa pada sang putra?Mona tahu, mengelak adalah hal yang sangat bodoh jika ia lakukan saat ini pada Arsaka. Karena Arsaka tidak berada di dalam posisi seorang yang tidak tahu apa-apa dan terus menerus bisa dibodohi. Tapi untuk mengingat semua bayangan masa kelam itu hanya akan membuat dirinya sedih dan sakit hati. Udara terasa menyesakkan. Sekali lagi, amat sangat menyesakkan. Seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya. Seolah-olah udara serapuh perasaannya saat ini. Bayangan itu. Kenangan menyakitkan itu. Tidak!"Saka, apa yang wanita itu katakan sama kamu tentang Mama? Apakah dia yang telah meracuni pikiranmu sehingga kamu berpikir yang bukan-bukan pada ibumu sendiri?" Mona menatap lekat-lekat wajah sang putra. Ia merasa sang putra yang begitu tampan di hadapannya tengah mengintimidasi dirinya sehingga membuat wajahnya memucat saking tak percaya bahwa ini nyata. "Tante Debora tidak mengatakan
"Saya mohon, jangan membuat pasien merasa tertekan. Saya mohon dengan sangat. Seandainya bisa, buatlah pasien lupa akan masalah yang terjadi di dalam hidupnya selama beberapa saat. Kalau begitu, biarkan pasien beristirahat. Saya mohon kesediaan anda sebagai bagian dari keluarga pasien. Permisi," ucap dr. Miley usai memeriksa kondisi Mona. Ia menjelaskan hal itu secara langsung pada putra dari pasien dengan penuh ketegasan. Arsaka merasa berdosa telah melakukan hal ini pada ibunya. Ia merasa telah menjadi putra yang begitu tega menyengsarakan hati wanita paruh baya yang amat disayanginya. Ia pun mengangguk paham walau amat pelan.Dr. Miley dan beberapa perawat yang baru saja memeriksa kondisi Mona pun keluar meninggalkan Arsaka. Arsaka terdiam sejenak. Ia terus memikirkan apa yang terakhir kali ibunya katakan sebelum tak sadarkan diri. Kata-kata itu terus terngiang dalam ingatan. Ia terus menyalahkan diri. Tiba-tiba…Seseorang mengetuk pintu. Arsaka memalingkan wajahnya ke sana. Ia
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "