Yusti mengamati dua tamunya dengan mata yang menyipit. Ia tampak tak suka dengan kedatangan keduanya.
"Kalian mau ngapain nungguin Tantri? Lebih baik kalian pulang saja! Percuma!" usir Yusti sekali lagi. Tampaknya ia benar-benar tak mau di rumah kecilnya terisi dua orang ini.
Arsaka menatap penuh keheranan pada Yadi dan Yusti silih berganti.
"Bibi, saya ke sini ingin meminta maaf dan berbicara langsung pada keponakan bibi! Tolong biarkan saya bertemu dengannya! Setelah itu saya akan pergi dari sini," tegas Arsaka.
Yusti mengerucutkan bibirnya sambil sesekali melirik jarum pendek jam dinding yang baru saja berpindah posisi ke angka sebelas.
'Tantri, kamu di mana, sih? Cepatlah pulang, Nak!" batin Yusti khawatir.
Yadi terbatuk-batuk. Sesuatu nampaknya baru saja melintasi kerongkongannya hingga membuatnya tersedak.
Air!
Pria itu butuh air!
"Yusti, bisakah aku minta air m
Arsaka beranjak dari tempat duduknya sembari memperbaiki kerah kemeja beserta jas mahalnya.Lelaki tampan itu melihat ke arah sang gadis manis yang memakai tampilan khas orang pencari kerja dengan balutan kemeja serta padupadannya.Tatapan Arsaka kini mengarah pada siku gadis itu, tak mau membuang waktu ia meninggalkan Yusti yang masih kesal padanya dan mendekati Tantri."Hei mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara sama kamu! Dasar anak muda nggak punya sopan santun!" umpat Yusti tak terima ditinggalkan begitu saja oleh Arsaka.Hendak menghadang Arsaka yang berusaha mendekati Tantri, Yadi terlebih dulu pasang badan membela sang majikan."Yusti! Udahlah biarkan mereka bertemu dan bicara terlebih dahulu! Biarkan yang muda yang bercinta, sekarang kita menunggu di sini saja, ya?" ucap Yadi yang seketika mendapat tatapan tajam dari Yusti."Sorry, ya! Cuih!" pekik Yusti yang langsung meninggalkan Yadi di ruan
"Kalau bapak beranggapan uang dapat menyelesaikan segalanya, berarti dugaan bapak salah! Saya hanya ingin bekerja di tempat yang bisa menerima dan mempercayai kerja keras saya!" tegas Tantri pada Arsaka.Arsaka geram mendengarnya. Ia menatap tak suka pada gadis muda di hadapannya."Berani sekali kamu membantah ucapanku! Sombong sekali, baru juga diterima bekerja udah sok! Gimana nantinya? Paling besar kepala nantinya selama kerja di sana! Kamu orang yang suka melakukan banyak cara untuk mendapatkan keinginanmu, iya, kan?" tuduh Arsaka dengan tatapan remeh."Sepertinya nggak ada gunanya saya menjelaskan sama bapak! Silakan bapak pulang, pagar kayu rumah saya sudah terbuka lebar dan cukup untuk dilewati mobil anda! Permisi!" pamit Tantri penuh ketegasan.Sumpah demi apa pun, gadis itu menahan kesal yang berkecamuk di dalam dada.Apakah karena dirinya orang miskin lalu bisa seenaknya saja dihina seperti ini?
Yusti menyorot tajam ke arah Yadi berdiri sekarang. Wanita paruh baya itu berkacak pinggang di hadapan Yadi.Yadi bukannya ketakutan, ia malah memalingkan wajahnya karena melihat sesuatu di luar nalar. Tanpa sengaja ekor matanya tertuju pada belahan samar yang tampak menyembul karena ulah salah satu kancing yang sengaja dibuka Yusti beberapa saat sebelumnya."Aaaah!! Dasar pria tua mesum!" teriak Yusti pada Yadi saat mengetahui gelagat aneh pria tersebut dan apa yang tak sengaja dilihat olehnya.Yusti meletakkan ulegan dan beralih pada raket pemukul nyamuk yang berada tak jauh darinya. Alat itu sepertinya jauh lebih menyakitkan jika mengenai kulit pria menyebalkan tersebut.Tangan satunya ia gunakan untuk memasukkan kancing ke dalam lubang. Ini semua karena efek gerah sehingga seperti biasa ia akan membuka kancing baju paling atas supaya tidak terlalu banyak berkeringat saat mengolah jejamuan."Pergi nggak kamu dari si
"Hatiku yang tertinggal di sini, Yusti!" ucap Yadi tiba-tiba dengan wajah serius tanpa candaan di sana sambil menunjuk ke arah dadanya.Yusti mendelik tajam."Ngomong apa kamu? Buruan pergi dari sini! Satu, dua, tiiii..gaaa…." usir Yusti sembari mengayunkan raket nyamuk.Yusti berhenti dan melihat gerak-gerik pria di hadapannya."Ampuuuun! Iya aku balik sekarang, tapi kali ini beneran, ada yang ketinggalan!" ucap Yadi ketakutan. Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada meyakinkan wanita paruh baya tersebut."Ya udah sana diambil! Cepetan!" tegas Yusti."Nggak bisa diambil sekarang!" jawab Yadi cepat."Kenapa memangnya?" tanya Yusti seraya menyipitkan mata."Karena kita belum sah secara agama dan negara, masa mau asal ambil aja?" celetuk Yadi tak berfaedah."Yadi!!! Dasar gila!! Nggak ingat umur!" umpat Yusti dan seketika membuat Yadi kocar-kacir tak
'Kayak polisi aja, nanya mulu! Interogasi mulu! Bawel amat, sih?'Yakinlah, bahwa ini bukan keluhan Arsaka melainkan Yadi!Pria paruh baya itu mau tak mau mendengar percakapan mereka berdua.CiiiittttYadi menginjak pedal rem kuat-kuat. Mobil berhenti tepat di tepi jalan.Tanda tanya besar berkumpul di kepala Arsaka."Kenapa berhenti, Pak Yadi?" tanya Arsaka bingung."Saya nunggu di luar saja, Den Saka! Siapa tahu Den Saka sama non Aleta ada yang mau dibahas agak privasi, saya-nya yang nggak enak dan memilih di luar saja, Den Saka!" ungkap Yadi jujur.Arsaka menimang-nimang sebentar lalu berkata, "Nggak usah, Pak! Kita jalan lagi aja, aku udah ngantuk dan juga capek!"Lelaki muda itu seketika menolak dan mengarahkan pandangannya pada sang kekasih yang sedang didempul sana sini oleh seorang make up artist dan dibantu para asisten memakai kostum untuk sebuah adegan film yang ia bin
Yadi tersenyum kikuk di posisinya. Ia seperti sedang menguji kesabaran tuan mudanya.Syukurlah, Arsaka tak memarahinya usai berkata seperti itu padanya. Dari cara bicara yang begitu tegas seorang Arsaka, Yadi segera ambil kesimpulan dalam hati dengan membungkam mulutnya secepat kilat. Daripada mencari masalah, lebih baik ia tak ikut campur dan fokus mengendarai mobil saja.Kembali ditatapnya jalanan yang tampak lengang karena tiba-tiba tanpa diduga hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Tampak di luar sana, hampir sebagian besar orang yang menggunakan kendaraan roda dua mengeluarkan jas hujan dan segera memakainya demi menutupi tubuh masing-masing."Pak Yadi!" panggil Arsaka pada Yadi yang fokus menatap jalanan di hadapannya.Yadi menoleh sekilas dan mengulas senyum tipis ke arah majikan mudanya."Iya, Den Saka! Ada apa?" tanya Yadi cepat. Tak lama kemudian ia kembali menghadap ke depan."Memangnya pak Yadi
"Mas Banyu!" pekik Tantri yang tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Di depan mereka saat ini terdapat seorang pemuda tampan berlesung pipi yang tubuhnya basah dari atas sampai bawah. Tantri merasa heran dan hal itu nampak jelas di wajahnya. "Mas kenapa begini? Mas hujan-hujanan, ya? Ayo masuk ke dalam! Astaga, Mas Banyu kenapa bisa kayak gini, sih? Nanti Mas pasti sakit!" gerutu Tantri begitu melihat penampilan Banyu yang tak seperti biasanya. Sambil memegangi sikutnya yang terluka, ia meminta Banyu mendekatkan langkahnya menuju ruang tamu. "Hatchii! Hatchii!" Pemuda itu bersin-bersin. Benar dugaan Tantri. Ia hanya bisa menghela napas panjang melihat hal itu. Yusti menyuruhnya masuk dan tanpa berlama-lama di ambang pintu Banyu pun segera duduk di sofa setelah menerima handuk panjang berukuran besar dari bibi Tantri tersebut. "Terima kasih, Bi!" ucap Banyu sungkan. Yusti men
Sepasang manusia muda berlawanan jenis itu tampak panik dan serta merta melepaskan pelukan yang sempat terjadi selama beberapa saat. Dengan santainya Yusti berjalan mendekat dan meletakkan nampan berisi minuman berwarna coklat bening yang masih mengepulkan asap putih di atasnya lalu duduk di sekeliling mereka berdua. "Kalian ini akrab sekali! Jangan sampai orang salah duga kalau kalian itu pacaran, persahabatan kalian yang seperti saudara ini membuat bibi terharu!" ucap Yusti mengomentari kedekatan mereka. Degg Degg Degg Suara jantung siapakah ini? Bukan hanya Banyu, melainkan Tantri pun ikut merasakan hal itu di bagian dalam dirinya. Bibinya menganggap kedekatan mereka hanya sebuah rasa persahabatan? Benarkah? Kedua manusia itu tampak kalut dengan komentar yang keluar begitu santai dari seorang Yusti. "Karena aku udah tahu kalau kamu baik-baik aja, besok kam
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "