Delisha memandang pemandangan hamparan hijau yang meluncur cepat di luar jendela mobilnya. Pikirannya melayang, terbagi antara keindahan alam dan masalah yang mengganggu ketenangannya.Dia merasa geram melihat bagaimana Erlin selalu saja mendekati suaminya, Rey. Hatinya begitu sakit, ia tidak akan membiarkan Erlin merebut Rey-nya lagi. Kali ini, Delisha bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Erlin mengambil suaminya.Rey melihat ke arah Delisha yang ada di sampingnya, ia pun begitu bingung mengapa sedari tadi Delisha terdiam."Sayang," seru Rey pelan sambil menggenggam setir mobilnya."Hmm …" Delisha menjawab melalui dehemannya tanpa menoleh ke arah Rey, entah mengapa kali ini ia merasa bad mood."Kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kamu hanya diam saja?"Delisha menghembuskan napas pelan sambil memainkan jari jemari lentiknya. "Aku … aku hanya memikirkan beberapa hal, Rey," jawabnya, mencoba menyembunyikan perasaan gelisahnya terhadap Rey."Ada apa? Aku merasa ada
Hari ini Rey duduk di ruang kerjanya, menatap layar monitor yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tangannya bekerja dengan cepat, mencoba menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk. Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan gesekan pena di atas kertas dan bunyi tik-tak jam dinding. Namun, tiba-tiba, teleponnya berdering begitu sangat nyaring, seketika mengusik ketenangannya.Rey mengangkat panggilan tersebut, suara dokter dari Rumah Sakit Citra Medika terdengar di seberang sambungan."Rey, hasil tes DNA sudah keluar. Saya sarankan kamu segera datang ke rumah sakit hari ini juga untuk mendiskusikannya," ujar Dokter Ardi dengan serius.Rey bisa merasakan detak jantungnya berpacu kencang kala mendengar bila hasil tes DNA yang ia nantikan selama ini telah keluar. Ia mengangguk dengan tidak percaya. "Baik, Dokter. Saya akan segera ke rumah sakit," jawabnya dengan nada suara yang serius.Setelah menutup telepon, Rey berdiri dari kursinya, untuk meninggalkan ruang kerjanya denga
Ketika sudah memiliki bukti bila anak yang dikandung Delisha itu adalah anaknya, Rey segera bergegas pergi menuju Mansion Maduswara untuk memberi tahu keluarganya. Rey berharap sikap keras kepala dan dingin ayahnya akan melunak, dan mau menerima anak yang dikandung Delisha sebagai cucunya, dan juga Delisha sebagai menantunya."Semoga Papa dan Mama mau menerima Delisha dan juga calon cucu mereka," monolog Rey.Rey memasuki mobil, lalu memutar kunci mobil dengan cepat, ia sudah tidak sabar ingin segera memberi tahu kabar baik ini kepada keluarganya. Rey mengendarai mobilnya begitu santai, ia melihat langit senja yang berwarna-warni begitu hangat di ufuk barat saat Rey memulai perjalanannya menuju Mansion Maduswara. Jalanan yang biasanya padat kini sedikit lengang. Saat Rey sedang dalam perjalanan menuju Mansion Maduswara, ia mendengar ponselnya berdering begitu nyaring. Rey segera meraih ponselnya, ia melihat ada nama Abbas yang terdapat pada layar ponselnya. Rey segera mengangkat pang
Delisha mencoba untuk tidak meladeni terhadap perkataan dan sikap mereka. Ketika Delisha akan keluar dari toilet. Namun, tiba-tiba, seorang dari mereka mendorongnya dengan kasar, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai toilet yang dingin.Aaaahhhh …!Delisha terkesiap, ia merasa sakit yang teramat dalam pada perutnya, memaksa dirinya untuk menopang tubuhnya dengan hati-hati. Ia tidak pernah menyangka bahwa situasi ini akan berubah menjadi begitu tidak menyenangkan.Delisha yang masih terduduk lesu di lantai, mencoba untuk mengatasi rasa sakit di perutnya. "Ya Tuhan, perutku!"Delisha menyentuh perutnya, rasanya begitu sakit. Ia merasakan sakit yang menusuk di perutnya, membuatnya memegang perut dengan erat. Raut wajahnya terlihat kesakitan. Ia mencoba untuk bernapas dalam-dalam, berharap rasa sakitnya akan segera mereda."Sekarang kau bisa merasakan apa yang seharusnya kau dapatkan!" ujar Hana, wanita yang sudah mendorong Delisha, ia berkata dengan nada yang b
"Delisha sedang berada di rumah sakit, Rey! Kandungannya lemah dan butuh perhatian ekstra. Kamu harus segera ke sini," suara Abbas terdengar gemetar.Rey terdiam sejenak, kebingungannya mencuat ke permukaan kala mendengar perkataan dari Abbas tentang kondisi istrinya kini. "Apa? Apa yang terjadi? Kenapa bisa Delisha di rumah sakit? Dan kenapa kandungannya lemah?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Rey tanpa henti.Begitu banyaknya pertanyaan dari Rey, sampai Abbas pun bingung sendiri untuk menjawabnya. "Delisha terjatuh di toilet, Rey!" ucapnya, mencoba memberi penjelasan singkat terhadap Rey. Abbas tahu, ini semua pasti membuat Rey begitu sangat khawatir."Apa? Kenapa bisa Delisha jatuh di toilet?" Rey tidak bisa menahan kebingungannya lagi, ia tidak tahu dan tak pernah mengira kalau istrinya terjatuh di toilet."Sudahlah, lebih baik kamu ke rumah sakit dulu, Delisha sedang membutuhkan kamu sekarang." Abbas begitu khawatir. Ia berharap Rey akan segera ke rumah sakit untuk menemui Delish
Jonathan, seorang pria paruh baya yang tengah menikmati malamnya dengan duduk santai di ruang tamunya. Ia duduk di kursi favoritnya dengan selembar koran yang terbentang di pangkuannya.Aromanya yang khas dari secangkir kopi hangat yang diletakkan di atas meja kecil di depannya, mengisi udara malam yang sejuk. Sinar lampu perlahan menembus jendela dan menyinari wajahnya saat ia tenggelam dalam bacaan koran tersebut.Jonathan begitu antusias membaca berbagai topik yang hangat di lembaran koran. Ia terdiam sejenak, menikmati keheningan malam dan informasi yang tersaji di depannya. Artikel-artikel tentang berita terkini, politik, dan bahkan artikel hiburan semua tertuang dalam lembaran koran tersebut.Namun, ketenangannya tiba-tiba terganggu oleh bunyi nyaring dari ponsel yang tergeletak di atas meja. Jonathan menoleh ke arah ponselnya dan melihat nama menantunya yang terpampang di layar. Sebuah perasaan bingungnya merayap dalam benaknya saat ia meraih ponselnya."Rey, ada apa dengannya?
Bella yang sedang mengemudikan mobilnya di jalan raya. Tiba-tiba, sebuah mobil muncul dari kejauhan, melaju dengan cepat dan sengaja menabrak mobil Bella. Akibatnya, Bella kehilangan kendali atas mobilnya dan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya terguling-guling.Brak!Brak!"Aaahhhh ….!"Suara gesekan ban mobil dan aspal sudah terdengar di udara. Bella berteriak dari dalam mobil, kesadarannya sudah menghilang. Darah segar pun sudah mengalir dari tubuhnya. Kondisi Bella tampak kritis.Setelah mobil itu menabrak Bella, pengemudi mobil itu dengan cepat melarikan diri dari tempat kejadian. Mereka meninggalkan Bella terluka dan tersungkur di tengah jalan. Bella berusaha untuk tetap sadar meskipun rasa sakit yang luar biasa pada tubuhnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang tergeletak di sampingnya dan dengan gemetar mencoba menelepon nomor darurat."Saya butuh bantuan! Saya mengalami kecelakaan parah di Jalan Raya Utama. Tolong cepat, saya sangat terluka!" ucap Bella dengan napas ter
"Apakah ada yang bisa saya lakukan, Dokter?""Kami membutuhkan transfusi darah segera. Bella membutuhkan persediaan darah tambahan untuk menggantikan yang hilang selama kecelakaan ini. Sayangnya stok darah di rumah sakit sedang habis.""Apa?" Jonathan terperangah mendengar perkataan dokter tentang kondisi anaknya, Bella.Wajah Jonathan pucat pasi, matanya terbelalak. Ia segera mengangguk, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya. "Dokter bisa cek golongan darah saya dan anak saya, siapa tahu golongan darah kami cocok," kata Jonathan."Baik, Pak Jonathan."Dokter mengangguk mengerti dan segera memanggil perawat, untuk mengambil sampel darah Jonathan dan Bella untuk diperiksa golongan darahnya.Setelah dokter dan perawat mengambil sampel darah Jonathan, Jonathan kembali duduk di kursi tunggu, ia berharap golongan darahnya dengan golongan darah putrinya, Bella sama."Ya Tuhan, kenapa cobaan silih datang bergantian kepada keluarga hamba?" Jonathan mengusap kasar wajahnya, hatinya terluka keti
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe