Leon menatap rumah di hadapannya yang terlihat kosong, sejak kemarin Leon tak melihat satu orang pun yang keluar dari rumah itu. Entah Rania, Abrisam atau mungkin pembantu rumah ini. Biasanya, jika Leon lewat depan rumah ini, dia biasanya melihat Rania yang berada di depan rumah sambil menyirami beberapa bunga. Atau mungkin melihat Rania yang tengah memetik bunga mawar di dekat pagar. Dan sekarang …Memijat pelipisnya, Leon pun terlihat sangat pusing. Baru kemarin dia mengirim bunga pada wanita itu dan sekarang malah tidak melihatnya. Belum lagi kuris yang disuruh mengantar bunga memberitahu Leon jika rumahnya kosong. Awalnya, Leon juga tidak percaya, dia berpikir kurir itu salah alamat atau bagaimana. Taunya pas datang kemari rumah ini benar-benar kosong. Dimana Rania berada? Pikir Leon. Mengambil ponselnya, Leon pun langsung menghubungi salah satu orang yang menangani kerjasama antara perusahaan Leon dan juga Abriam. Dia ingin tahu apa Abrisam ada di kantor atau tidak. Dan jawaban
Menundukkan kepalanya malu, Rania pun bersembunyi di balik punggung Abrisam. Dia pun menarik ujung baru Abrisam, dan memintanya untuk cepat keluar dari rumah ini. Sungguh, Rania ingin menenggelamkan dirinya di tengah gurun pasir jika melihat wajah Selena yang menyebalkan. "Kalian mau kemana?" tanya Kara. "Heh Kara … kamu kenapa banyak tanya sih. Mereka itu mau jalan-jalan, kalau kamu pengen sama Bagas aja tuh nganggur." jawab Selena. Karaw memutar bola matanya malas. "Apa sih Mi. Orang Kara cuma tanya doang kok, nggak ada niatan juga mau ikut mereka." "Mami pikir juga mau ikut. Dari pada jadi obat nyamuk mending sama Bagas aja nggak masalah." Memutar bola matanya malas, Kara menolak. Jika dia ingin jalan-jalan, dia bisa melakukannya sendiri nanti. Untuk saat ini Kara sedang malas keluar rumah, selain hawanya dingin ada sesuatu yang harus dijaga agar tidak ada orang yang tahu. Ya, ini semua karena ide gila Selena sebelum berangkat ke puncak. Awalnya, Selena yang menarik koper baj
Selena cemas-cemas harap, ketika melihat Rania pulang dalam keadaan pingsan. Abrisam meminta bantuan warga setempat untuk mengantar mereka pulang. Dan tentunya, warna juga kaget ketika lihat Abrisam yang tidak bisa melihat sama sekali. Untung saja tempat tinggal sementara ini tidak jauh dari pemukiman warga. Hingga beberapa warga mendatangkan bidan desa tempat ini untuk memeriksa Rania. Dalam hati, Selena berharap pingsannya Rania ini karena hamil. Tapi yang ada, bidan desa itu mengatakan jika Rania merasa lelah dan juga maag naik, itu sebabnya dia pingsan. Bukan karena tanda-tanda orang hamil. Bidan desa juga hanya menemukan satu nadi, perut Rania juga lembek. Tidak ada yang keras dibagian bawah. Mungkin memang belum saatnya Rania hamil. Selena sempat kecewa, pernikahan Abrisam dan Rania sudah terbilang cukup lama jika dihitung dari tanggal mereka menikah. Tapi sampai sekarang Rania juga belum hamil anak Abrisam. Apa dia tidak tahu, jika Selena sudah ingin sekali menggendong cucu
Leon tersenyum lebar ketika melihat rumah di depannya. Pria itu memutuskan untuk pergi ke puncak untuk menyusul Rania. Untung saja salah satu tangan katakan Leon cepat menemukan keberadaan Leon dan juga Abrisam. Dan sekarang jarak antara penginapan Leon dan juga Rania hanya berjarak dua rumah. Itu tandanya Leon bisa melihat Rania apapun yang wanita itu lakukan setiap harinya. Pria itu menarik kopernya untuk membawanya ke kamar, menata semua bajunya ke sebuah lemari kecil di ujung ruangan. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya ada satu lantai dengan banyak penyekat ruangan. Dapur dan juga ruang tengah, dihalangi oleh satu bufet kaca tinggi yang tidak memiliki isi apapun. Lalu dari pintu dan sebelah kiri pintu, langsung ke ruang tengah. Depan rumah juga ada taman sedikit, dan juga teras yang minimalis yang indah. Leon keluar dari kamarnya, dia pun memutuskan untuk menikmati udara di puncak. Agak dingin, tapi tidak masalah. Menggunakan syal untuk menutup lehernya, Leon pun berjalan di d
Bangun lebih dulu, Rania pun memutuskan untuk membantu Mbok Atun memasak di dapur villa. Hari ini akan ada pertandingan sepak bola antara team Rania dan juga Selena. Ya, semalam Selena mengumpulkan seisi rumah ini untuk berunding. Selena menginginkan permainan selama mereka liburan, anggap saja hiburan sementara ini untuk menghibur Selena yang sempat kecewa dengan keadaan. Dimana Rania tidak kunjung hamil.Pagi ini dengan membuatkan nasi goreng telur mata sapi, Rania pun menatap semua masakannya di atas meja. Hingga satu persatu orang keluar dari kamar mereka, termasuk Abrisam. "Selamat pagi." sapa Rania ketika melihat Kara yang baru saja datang dan duduk. "Pagi Kak. Kita jadi main bolanya? Aku nggak jago loh." kata Kara. Rania mengangguk, "Jadi dong. Kamu team aku." Kara mengangguk, dia pun menatap Selena yang sudah siap dengan baju olahraganya. Begitu juga dengan para pria yang datang satu persatu dengan rasa malasnya. Rania langsung berlari kecil ke arah Abrisam, dan menuntunn
Suara peluit berbunyi dengan kencangnya. Satu persatu bola masuk ke gawang lawan dan mencetak gol. Permainan dimulai dua jam yang lalu, dimana team Kara dan juga Rania unggul dengan delapan poin. Sedangkan team Mbok Atun dan juga Selena unggul dengan lima poin. Susah dipastikan team Rania dan juga Kara yang memenangkan tantangan kali ini. "Astaga capek banget." keluh Rania dan duduk di samping Abrisam. "Seru mainnya?" tanya Abrisam bersemangat. Rania mengangguk, dia pun menerima satu botol minum yang diberikan Abrisam. Meneguk nya hingga setengah, Rania pun dengan iseng melempar bola itu ke sembarang arah. Hingga dia mendengar suara rintihan yang kencang. "Ehh siapa itu?" pekik Rania kaget. "Ada orang kah?" teriak Kata kencang. Rania menatap setiap penjuru arah, sambil mewanti-wanti jika itu adalah monster hutan, atau mungkin orang jahat. Selena dan yang lain pun bisa langsung kabur jika ada yang mau mencelakai mereka. Dan ternyata, orang itu keluar dari arah samping kanan denga
Kara menatap Rania yang mondar mandir di depannya dengan jengkel. Baju tipis itu bergoyang kesana kemari seiring mengikuti arah angin. Belum lagi disini ada tiga pria, yang otomatis juga pasti akan paham dengan situasi seperti ini. Wanita itu masuk ke dalam kamar penginapannya, mengambil beberapa potong baju miliknya lalu dia berikan pada Rania. Meminta kakak iparnya untuk mengganti bajunya yang lebih tebal. Lagian, Kara juga tidak ingin kakak iparnya itu sakit kembali. Jika kemarin kakak iparnya bisa sakit masih, mungkin saja setelah ini kakak iparnya bisa masuk angin. "Kamu serius minjemin baju ini buat aku, Kara?" tanya Rania memastikan. "Iya. Aku pikir-pikir takut Kakak sakit lagi aja." Rania melompat kegirangan layaknya anak kecil. Dia pun buru-buru mengganti baju tipisnya dengan baju tebal milik Kara. Tidak masalah kebesaran sedikit, toh Rania juga suka baju dengan size yang besar. Tidak hanya itu, sangking senangnya dengan baju yang Kara bagi. Rania langsung menemui Abrisa
Leon pulang dengan perasaan kesal. Makan siang tadi membuat dirinya ingin sekali marah. Dia harus melihat kemesraan Abrisam dan juga Rania yang ditunjukkan di depan publik. Bisa dibilang sengaja membuat Leon marah. Pria itu masih ingat betul, jika dulu ketika Abrisam memiliki kekasih pria itu tidak seperti ini dengan kekasihnya dulu. Bahkan kebanyakan kekasih Abrisam sekali mengeluh memilih kekasih macam Abrisam yang terkesan cuek dan tidak peduli dengan kekasihnya. Itu sebabnya mereka lebih suka menjalin hubungan dengan Leon karena apa yang mereka dapatkan selalu ada di diri Leon. Perhatian, kasih sayang, dan waktu. Empat hal yang selalu diinginkan wanita ketika memiliki kekasih.Duduk di sofa cream pria itu menatap langit-langit rumahnya dengan mata terpejam. Dalam bayangannya, Leon membayangkan ucapan Rania yang dia dengar tadi. Permainan memakan permen, menjilatinya hingga menggigit. Entah kenapa Leon membayangkan hal yang mengarah pada adegan dewasa. Dimana Rania yang mulai memai
Guling ke sana guling kemari, akhirnya Rania pun merasa bosan. Dia bangun dari rebahannya dan memutuskan untuk keluar kamar. Ternyata diluar sana sedang hujan deras tambah ada nagin. Sedangkan rania yang kameranya di depan harusnya tau dong kalau tengah hujan? tapi sayangnya telinga wanita itu dengan cantiknya tertutup earpods, hingga suara air jatuh di samping kamarnya tidak tau, belum lagi gorden kamar nya juga tertutup begitu juga jendela kacanya. Sehingga angin dingin tak mampu dia rasakan. Adhitama yang melihat putrinya keluar kamar pun menatap Rania dengan heran. Dia meminta Rania untuk duduk di sampingnya, dimana Adhitama telah menyiapkan makanan untuk putri kesayangannya. Ya, setelah berbicara dengan Abrisam jika dia akan pergi gym, Rania tak sungguh-sungguh pergi nge gym. Dia hanya pergi ke rumah Adhitama dan numpang tidur. Terus, ketika Rania bilang jika dia berangkat dengan Leon itu juga berbohong, karena nyatanya Rania malah lebih memilih naik taksi online saja. Dan kali
"Nona Rana mau kemana?" tanya Bagas yang minat Rania turun dari tangga. Rania yang menenteng tas besar pun menghampiri Bagas sambil mengundurkan rambutnya. "Mau nge gym." Alis Bagas mengkerut, dia lihat Antosan yang hanya diam saja sambil menikmati kopi susu buatan mbok Atun. Semenjak hal itu, dimana Abrisam yang marah karena Rania lebih perhatian dengan Leon. Mengantarkan pria itu ke rumah sakit, sampai membantu Leon minum obat pula. Siapa juga yang tidak kesal dengan sikap itu. Baik sih boleh tapi ya dilihat dong baiknya sama siapa dulu, masa iya sama semua orang juga!! "Kok tumben banget, biasanya diajak jalan pagi sama Tuan Abri nggak mau." "Kenapa? Nggak boleh lagi!!" sentak Rania. Bagas menggeleng, bukan tidak boleh. Hanya saja kan masalahnya Rania itu malas olahraga. Mendadak pengen nge gym kan aneh, tau kan dunia gym itu kayak apa? Sudah dipastikan Rania juga tidak memiliki member untuk masuk. "Biarkan saja Gas. Kalau perlu kamu antara dia." kata Abrisam tenang. Rania s
Mata Leon mendelik sempurna ketika Rania beradaptasi di hadapannya, wanita itu juga meminta sopir taksi online untuk berhenti sejenak. Selain tidak ingin terjadi insiden yang tak dii ginian Rania, wanita itu juga tidak ingin menyiksa Leon dengan lama. Ya, Rania menjejalkan obat itu untuk masuk ke dalam mulut Leon dengan paksa. Jika tidak begini, Rania yakin Leon tidak akan sembuh tanpa minum obat. Rontaan Leon yang lebih kuat dari nya tak membuat Rania menyerah. Dia sama sulitnya seperti Abrisam. Jika minum vitamin dia akan cepat, tapi jika obat … sudah dipastikan Rania harus turun tangan agar obat itu bisa masuk ke dalam mulut Abrisam.Leon sempat kaget dengan sikap Rania yang bar-bar dan berani melakukan itu pada Leon. Padahal jika dilihat doa sangat kalem dan tidak banyak tingkah. Tapi kali ini sungguh, Leon terkejut dengan sikap Rania yang tadi. Obat itu masuk dengan sempurna di mulut Leon. Bahkan ketika Leon memeluk pinggang wanita itu dan meremas nya, dia sama sekali tidak mer
Kembali menebus obat, Rania sudah melihat Leon yang duduk dengan wajah cemberut nya. Wanita itu mendekat, sambil membawa satu kantong plastik berwarna putih gelap dan dia berikan pada Leon. "Ayo sini ponselku." tagih Rania. Leon memberikan ponsel itu dengan cepat. "Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Leon. Sungguh, dia sendiri juga tidak tahu kata maaf itu untuk apa. Yang jelas, jika tadi dia tidak mengambil ponsel Rania, mungkin hal ini tidak akan terjadi dengan dirinya. "Gak papa." jawab Rania seadanya, sambil melihat ponselnya yang sepi layaknya kuburan. Abrisam tak menelponnya, begitu juga dengan Bagas yang tak menelponnya balik juga. "Kamu udah gak papa?" Rania menatap Leon dengan tatapan memohon, lebih tepatnya, memastikan jika pria itu baik-baik saja dan tidak ada luka dalam."Aku gak papa. Cuma ini pusing aja kepala aku." Tentu saja pusing, jangankan kebentur motor. Itu jidat kalau kebentur meja atau yang lain aja pusingnya minta ampun, apalagi ini. "Bisa p
Lagi, lagi Rania harus kembali berurusan dengan Leon. Entah datangnya dari mana pria itu mendadak muncul di hadapannya layaknya jelangkung. Dan pada akhirnya Rania pun tersenyum paksa sambil menikmati es coklat yang ada di tangannya. "Kita ketemu lagi." katanya dengan penuh percaya diri. "Kebetulan sekali, kamu lagi apa disini?" tanyanya. Ini tidak kebetulan, dimana ada Rania selalu saja ada Leon. Bahkan Rania sempat berpikir jika Leon sekali mengikuti kemanapun Rania pergi. Pergi belanja, pergi ke rumah ayah dan ibunya, atau mungkin pergi kemanapun Rania inginkan dan selalu ada Leon. Sebenarnya dia itu punya kesibukan lainnya tidak sih? Mungkin kalau satu atau dua kali Rania masih bisa memaklumi. Tapi kalau berkali-kali mana bisaaaaa!!! Yang ada Rania mendadak curiga dia menjadi penguntit Rania. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari Rania. "Iya kebetulan nya berkali-kali ya." ini bukan sebuah jawaban, tapi sebuah sindiran agar Leon tahu jika apa yang dia lakukan itu salah.
Rania meremas kertas yang ada di tangannya, jantungnya kembali berdebar kencang ketika melihat Abrisam dan juga Bagas sedang dalam mode serius. Wanita itu akhirnya membalik badannya dan hendak pergi, mungkin bukan saatnya dia membicarakan hal ini. Tapi … "Nona Rana … " panggilan itu langsung membuat Rania memoleh, dia pun tersenyum ketika Bagas yang memanggilnya. "Mau ada penting dengan Tuan Abri?" ujarnya. Rania menggeleng. "Aku aku ada penting sama kamu." "Sama saya?" beo Bagas menunjuk dirinya sendiri. Abrisam berdehem, dia pun bangkit dari duduknya dan mengambil tongkat miliknya. "Kalau begitu aku pergi dulu." "Mas Abri jangan pergi!!" seru Rania mendadak. "Katanya mau ada penting sama Bagas?" Bukan berarti Abrisam harus pergi kan? Dia hanya meminta bantuan Bagas untuk mengambilkan surat motor milik Gaby. Siang tadi ketika dia mengantar Gaby belanja ada beberapa polisi yang menghentikan banyak pengendara roda dua. Rania pikir apa, taunya malah mereka memberi surat cinta pad
Gaby melihat kertas cinta ini dengan pasrah, duit mana lagi nanti untuk mengambil STNK nya. Sedangkan hari ini dia sudah merilis apa saja yang akan dibeli di pusat belanja ini. Tapi yang ada … "Nanti biar aku aja uang ambil. Kan aku yang salah bukan kamu." kata Rania. "Tapi Ran masalahnya itu kan motor aku." Masalah motor siapa itu gak penting. Rania mengambil surat cinta itu dan menyimpannya. Dia akan meminta Bagas untuk mengambil surat ini nanti atau besok, agar bisa diantar ke rumah Gaby dengan cepat. Sekarang yang harus mereka lakukan hanya satu, masuk ke pusat belanja ini dan membeli apapun yang Gaby inginkan. Gaby masih menunjukan wajah cemberut nya, tapi disini Rania mencoba untuk menghibur nya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Gaby tidak perlu khawatir atau apapun itu, semuanya akan teratasi dengan benar. Abrisam juga tidak akan marah, siapa tahu saja setelah ini Abrisam mau mengeluarkan surat mengemudi untuk Rania. "Yaudah kalau begitu. Ayo kita belanja." Ber
Mumpung lagi libur kerja, Gaby meminta Ranka untuk menemaninya belanja. Tentu dengan izin Abrisam, wanita itu sudah menunggu Gaby di depan rumahnya sambil membawa helm. Tersenyum sumringah ketika melihat Gaby dari kejauhan yang terlihat mencolok, Rania pun langsung melambaikan tangannya ke arah Gaby. "Akhirnya sampai juga." keluh Gaby yang terlihat lelah di hadapan Rania. "Mau masuk dulu, Gab? Minum atau apa gitu." tawar Rania. Gaby menggeleng. "Gak deh, nanti kita bisa beli teh cup disana." Rania terkekeh, dia pun langsung duduk di boncengan Gaby dan memakai helmnya dengan benar. Tapi yang ada Gaby malah meminta Rania untuk turun. "Kenapa Gab?" "Bonceng Rania." "Oalah, bilang dong kirain ada apa." Tertawa kecil, Gaby pun menggeser duduknya ke belakang. Hingga Rania duduk di depan dan mulai menjalankan motornya dengan pelan. Untung saja pusat belanja yang ada diskonnya itu tidak jauh dari rumah Rania. Tapi lumayan jauh dari rumah Gaby, yang harus ngebut dulu baru sampai di rum
Pertarungan itu begitu panas dan cukup memakan waktu yang cukup lama. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi berkali-kali hingga membuat kedua belah pihak merasa lelah dengan nafas yang nyaris putus. Mengabaikan teriakan banyak orang hanya untuk meminta mereka makan malam bersama. Kali ini, ketika mereka turun tak ada satupun lampu yang menyala, tidak ada satu orangpun yang keluar dari kamar mereka. Menutup kembali pintu kamarnya, Rania kembali mendekati Abrisam. "Mas sepi banget." kata Rania berbisik, seolah dia takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya. "Kamu udah turun ke bawah?" Rania menggeleng. "Nggak aku cuma ngintip dari pintu." Abrisam mendengus, harusnya Rania turun kebawah memastikan jika ada orang dibawah sana atau tidak. Atau mungkin … ada makanan malam yang mereka susakan untuk Rania dan juga Abrisam. Tapi nyatanya Rania malah hanya menyembuhkan kepalanya tanpa mau turun ke bawah dan melihat situasi rumah. Rania meringis, dia pun menggunakan baju yang tadi y