Menikahlah bukan hanya karena cinta. Tapi karena kamu yakin, bersamanya surga menjadi lebih dekat.
**********Kutatap bayangan diriku di dalam cermin. Sosok yang terlihat di sana begitu berbeda dengan aku yang biasanya. Kebaya putih yang membalut tubuh ini dengan pas, dan makup tipis yang kugunakan, tak mampu menyamarkan kegetiran dalam senyum itu. Mungkin bagi semua wanita, hari pernikahan adalah hari paling sakral dan membahagiakan. Tapi berbeda denganku, yang kurasakan sekarang justru rasa hampa yang teramat sangat.
Tak ada pesta mewah seperti yang kalian bayangkan, tak ada suara suka cita dari semua tamu yang datang. Karena pernikahan ini hanya dihadiri beberapa keluarga dekat. Hanya ada ayahku, orang tua Mas Adit, orang tua Nazwa, dan saksi.
Entah pernikahan seperti apa yang akan kulalui nanti. Sementara kata cinta bahkan tak ada dalam ikatan ini. Aku sama seperti perempuan lain, mendambakan pernikahan yang kujalani kelak dipenuhi cinta di dalamnya. Bukan pernikahan atas dasar keterpaksaan.
Jika bukan karena rasa sayangku pada Nazwa, juga Janjiku padanya untuk menjaga Jovan, aku tak akan pernah mau melakukan ini. Menyakiti semua pihak dan orang yang kucintai.
Kuembuskan napas berat, menghalau kepedihan dalam dada. Mengingat Dimas kekasihku, dan pembicaraan kami kemarin.
Aku dan Dimas duduk di taman dengan pemandangan Air mancur di depan kami. Aku menarik napas dalam sebelum mengutarakan maksudku mengajaknya bertemu di tempat ini.
Selama kami bersama sebagai kekasih, kami lebih sering menjalani LDR. Selain karena jarak yang memisahkan, juga karena profesi Dimas adalah polisi. Tapi laki-laki itu sering bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur setiap ada kesempatan, hanya karena ingin bertemu denganku. Rasanya sulit mengakhiri ini semua, sementara kami memiliki cita-cita yang dulu pernah kami bagi bersama. Tentang impian dan harapan di masa depan. Tapi, aku harus mengahirinya sekarang, atau tidak sama sekali.
"Kay."
Tegurannya mengakhiri lamunanku "Ah ... ya."
"Ck, melamun aja dari tadi. Ada apa kamu meminta bertemu? Apa kamu merindukan aku?" Dimas menggodaku, disertai senyum usil seperti yang biasa dia lakukan.
Dadaku kembali nyeri. Apakah aku tega menghancurkan perasaannya? Sementara bertahun-tahun sudah kami lewati segala hal bersama. Susah atau pun senang. Kusunggingkan senyum getir mengingat segala perlindungan yang telah laki-laki ini berikan padaku. Bahkan sebelum kami tahu apa arti cinta sebenarnya.
"Ada apa?" Laki-laki itu balik bertanya dengan nada khawatir.
Aku terdiam, dan mengamati wajah tampannya, sekali ini saja izinkan aku menatapnya sedekat ini. Apa kalian tahu? Menyembunyikan apa pun di depan Dimas selalu percuma. Karena dia bahkan tahu segalanya mengenai aku.
"Kamu masih ingat pertama kali kita bertemu?" ujar ku setelah keheningan yang cukup lama
"Kay, ayolah, jangan basa-basi seperti ini. Aku tahu bukan hal ini, kan, yang ingin kamu tanyakan padaku?" Dimas mulai tak sabar.
Aku tersenyum getir kearahnya. Meski untuk sekedar menarik bibir ini saja rasanya sudah tak sanggup. Aku bukan jenis manusia yang bisa berpura-pura bahagia. Aku terbiasa menampilkan semua sesuai suasana hati.
"Ck ... percuma saja aku berbohong di depanmu. Karena kamu bahkan tahu aku lebih dari diriku sendiri. Aku tak bisa membayangkan jika aku tak bisa denganmu pada akhirnya," kataku dengan senyum kupaksakan.
"Sayang, jangan bicara seperti itu. Kamu masih ingat, kan, impian kita? Kita ak-"
"Kita sudahi saja hubungan ini." Aku memotong kata-kata Dimas, dan menatap matanya yang kini terlihat kosong. Senyum yang dari tadi tersungging untukku menghilang. Rasanya benar-benar sakit, tapi aku harus mengakhirinya. Sebelum aku benar-benar menghambur ke pelukan laki-laki berkulit sawo matang ini, dan pergi bersamanya.
"Jangan bercanda, Sayang. Ini sama sekali nggak lucu! Ini bukan hari ulang tahunku, ini juga bukan april mop. Jadi berhenti bicara yang tid-"
"Besok aku menikah." Aku memotong kata-katanya lagi. Tak akan ku izinkan Dimas mendebat, sebab jika terjadi aku jelas akan kalah dan luluh seperti biasa. Dimas terdiam, dan menatapku aneh.
"Menikah?" Dimas bertanya sekali lagi, seakan masih tak percaya akan apa yang didengarnya.
Ku pejamkan mata sejenak, mengumpulkan semua keyakinan dalam hati, jika pilihan ini lah yang terbaik. "Ya ... aku akan menikah," jawabku mantap.
Dimas yang masih belum terima dengan keputusan sepihak ku, mengacak rambut frustrasi.
"Nggak! Kamu pasti bercanda!" Dimas bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras. Marah dan kecewa, itu yang aku lihat dari tatapannya. Rasanya sakit sekali melihatnya terluka lagi. Dan kali ini karena aku.
"Aku minta maaf, karena menghianati janji kita dulu. Satu hal yang harus kamu tahu, sampai sekarang pun, rasa ini masih sama untukmu. Tapi Allah tak menakdirkan kita bersama. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini ... aku pergi." Setelah mengatakan itu, aku bangkit, dan meninggalkan Dimas yang terus meneriakan namaku.
Maaf, telah menyakitimu separah ini. Semoga kelak Allah mempertemukanmu dengan perempuan yang tepat. Sementara biarkan aku menjalani takdirku di sini. Menjadi seorang istri dan ibu pengganti.
Tiba-tiba suara pintu dibuka terdengar, kembali menyadarkan aku tentang kenyataan di depan mata yang harus dihadapi meski berat. Buru-buru aku menyeka airmata yang jatuh di pipi karena mengingat Dimas.
"Sudah waktunya ijab qabul, Nak. Ayo kita keluar. Semua keluarga Kaffi sudah menunggu." Ibu Salamah tersenyum, lalu berjalan menghampiriku.
Kusunggingkan senyum kearahnya. berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
"tersenyum lah, Sayang. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jadi berbahagialah." Bu Salamah mengelus pipiku lembut. Sementara aku masih bertahan dengan senyum palsu.
"Kamu tahu, Nak. melihatmu ibu teringat Nazwa. Bagi Ibu, kamu atau pun Nazwa sama-sama anak Ibu. Berkat kamu lah, Nazwa bisa bangkit dari keterpurukan. Ibu tahu, kamu wanita yang baik. Maka Allah pasti akan memberimu yang terbaik,"
Ya ... Nazwa meninggal setelah dia mengutarakan wasiatnya padaku. Dia mengalami pendarahan hebat saat melahirkan.
"Berjanjilah, kamu akan menjaga Jovan dan menyayanginya seperti anak sendiri. Nazwa begitu percaya padamu, seperti itu pula Ibu mempercayai mu. Yakinlah kamu pasti bisa jadi ibu yang baik untuk Jovan."
Aku mengangguk, lalu kupeluk ibu Salamah. Ya, ini demi Nazwa dan Jovan. Tak ada lagi kesempatan untuk mundur sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus kuat. Demi mereka yang mempercayai kehadiranku mengasuh Jovan.
"Menikah lah bukan hanya karena Cinta. Tapi menikah lah karena kamu yakin, bersamanya Surga akan lebih dekat. Karena apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah itu baik untukmu, belajar lah mencintai Adit karena Allah."
Aku kembali mengangguk mendengar nasihat itu. "Ya, Bu."
Aku tahu, segala sesuatu yang tak didasari atas kecintaanku pada-Mu, pada akhirnya tak akan abadi. Maka di sini lah takdirku akan di uji. Apa aku akan sanggup mengemban amanah ini? Semoga Kau selalu menguatkan langkahku Allah.
"Baguslah. Ibu tahu, kamu wanita kuat. Yakinlah jika ini takdir terbaik yang diberikan Allah untukmu. Ibu percaya, Adit bisa jadi imam yang baik."
Kata-kata Ibu Salamah sedikit memberikan kekuatan. Meski jauh di dasar hati, aku benar-benar tak yakin.
Seandainya Ibu kandungku masih ada, mungkin semuanya akan jauh lebih baik. Setidaknya, aku akan memiliki tempat untuk berkeluh kesah.
**********
"Saya terima, Nikah, dan kawinnya, Kayla Asadiel Djalal binti Adnan Asadiel Jalal, dengan maskawin tersebut di atas, tunai!"
"Bagaimana saksi? sah?"
"SAH!"Semua orang mengucapkan syukur untuk pernikahanku dan Mas Adit. Kucium punggung tangannya sebagai simbol penghormatan. Bahwa mulai saat ini, aku menyerahkan seluruh hidupku untuk mengabdi padanya.
Beribu doa kupanjatkan pada Sang Pencipta, agar kehadirannya bisa aku terima walau berat. Agar kelak Dia menghadirkan cinta di antara kami.
Seluruh keluarga tersenyum bahagia, begitu juga Ayahku. Setelah itu Mas Adit membacakan taklik pernikahan di depan semua orang. Taklik yang akan mengikat perjanjian kami dengan Allah. Bahwa dia akan bertanggung jawab sepenuhnya tentang hidupku.
Ini adalah babak baru dari kehidupan yang akan kujalani. Yang berarti aku harus rela mengorbankan segala karir dan pekerjaan, demi janji yang kubuat di hadapan-Nya. Juga demi wasiat Nazwa. Bahwa aku akan memenuhi tugasku menjadi seorang istri dan ibu untuk Jovan. Sesuai pesannya sebelum dia meninggal.
Aku memasuki ruang ICU, aku berjalan mendekati ranjang Nazwa dengan lutut terasa lemas. Mataku buram karena air mata yang terus menetes. Untuk kesekian kalinya, aku harus menyaksikan perempuan ini berjuang dengan rasa sakit. Allah, tak cukup kah Kau beri dia cobaan bertubi-tubi. sementara bahagia yang dirasakannya hanya sesaat. Jika Kau menyayanginya, aku mohon, jangan biarkan dia terus mengalami rasa sakit.
Nazwa tersenyum lemah kearahku, lalu kuraih tangannya yang terdapat selang infus.
"Mbak minta maaf, karena kemarin Mbak membuatmu sakit hati, mbak nggak berniat berbohong soal Mas Adit dan Mbak dulu. Tapi jangan seperti ini caramu menghukum mbak, Na." Nazwa hanya tersenyum lirih. Dia memberi isyarat dengan mengangguk.
Kami sempat bertengkar, karena Nazwa baru mengetahui prihal Mas Adit yang pernah mencoba melamarku. Nazwa tentu saja marah, dan merasa dibohongi. Dan kekecewaannya padaku lah yang membuat dia harus mengalami semua ini.
"Mbak Kay ... aku titip Mas Adit dan Jovan. Aku mohon, menikahlah dengan Mas Adit. Dan jadi ibu untuk Jovan," ujar Nazwa dengan suara lemah. Kugenggam tangannya erat-erat sementara air mata terus menetes dari pipiku. Melihat Nazwa seperti ini, rasanya sakit sekali. Aku merasa jadi orang paling jahat.
"Mbak nggak bisa, Na. Mbak nggak mungkin meninggalkan Dimas." Ku coba memberikan pengertian pada Nazwa agar perempuan itu mau mengerti posisiku.
"Aku mohon, Mbak. Aku hanya punya Mbak yang bisa kupercaya untuk menjaga Jovan, bukan orang lain. Aku tak akan tenang meninggalkan Jovan tanpa seorang ibu disisinya."
"Tapi, aku dan Mas Adit nggak saling mencintai."
"Bukankah mbak dulu bilang, cinta datang karena terbiasa. Aku yakin, mbak bisa jadi pasangan yang serasi untuk Mas Adit. Karena aku tahu, Mbak orang baik. Aku sudah bicara dengan Mas Adit. Tolong penuhi wasiat terahir aku, Mbak." Nazwa terus memohon dengan suara lemah.
"Berhenti bicara yang tidak-tidak. Aku yakin kamu pasti sembuh."
Nazwa hanya tersenyum miris mendengar ucapanku. "Aku sudah berada di ambang batas kesanggupanku untuk bertahan," suara Nazwa semakin lirih, napasnya mulai tak teratur, hingga kemudian mata itu terpejam.
Aku menatap Nazwa degan nanar, begitu sadar tangannya yang kugenggam terasa dingin. Sementara bunyi suara monitor pendeteksi jantung melengking dengan nyaringnya. Dokter dan perawat panik. Mereka berhamburan masuk. Pun samar-samar aku masih mendengar suara tangisan Ibu Salamah di luar sana.
Selanjutnya yang kuingat, Aku terbangun di sebuah ranjang rumah sakit. Dengan rasa bersalah yang mungkin harus aku tanggung sepanjang hidup.
**********
Jujur ya ... aku paling nggak bisa bercuap-cuap terlalu banyak. takutnya kalian juga bakal males bacanya, hihihi
Jangan lupa tinggalkan jejak ... biar aku semangat lanjut. Aku butuh moodboster.
Ayolah ayolaaah jangan velit-velit.
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A'raf: 189)**********Setelah acara ijab, kami bergegas ke rumah Mas Adit. Dan di sinilah aku berada, duduk termenung sambil mengamati kamar yang didominasi warna abu-abu. Dengan ranjang mewah berukuran king size. Ada banyak foto Nazwa di kamar ini.Aku melangkah menghampiri satu foto Mas Adit yang terletak di atas nakas. Di dalam foto terlihat Laki-laki itu sedang mencium kening Nazwa. Aku tersenyum miris, mengingat di tempat ini dulu, Nazwa menghabiskan waktunya.Dan jangan tanyakan tentang Mas Adit, karena laki-laki itu sama sekali tak mau menatapku setelah acara ijab qobul. Dia bahkan masih sibuk mengurus pekerjaannya di hari pernikahan kami.Sadar diri akan p
Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Adil, menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan. Karena Ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya juga butuh kelembutan dan kesabaran. Agar ia tidak patah.***********Sesungguhnya, takdir setiap manusia telah tertulis jauh sebelum kita dilahirkan. Termasuk masalah jodoh.Kita tak bisa memilih dengan siapa kita akan menjatuhkan pilihan hidup.Satu hal yang pasti dalam hidup ini, aku ingin jatuh cinta dan menikah hanya sekali. Tapi harapan itu tak lagi berguna, saat Allah memberiku badai bernama: Cobaan.Allah mengambil Nazwa dari sisiku, dan mendatangkan Kayla di tengah-tengah kami. Kayla, seorang wanita yang dulu pernah membuatku terpesona. Ketika pertama kali aku melihat mata coklatnya Yang memancarkan keberanian.Aku pikir se
Bagian paling menyakitkan dari sebuah pertemuan, adalah perpisahan.********Pernah kah kalian berpikir Allah begitu tak adil? Aku pernah, bahkan sekarang aku sedang merasakan hal itu. Aku tahu ini salah, mengingkari takdir yang telah digariskan adalah dosa. Aku hanya manusia biasa, dan rasa putus asa ini yang membuatku berpikir keliru. Maafkan aku ya Raab.Rasanya baru kemaren kami mengikat janji suci. Tapi dalam hitungan menit, Allah telah membuat kami dalam keadaan seperti ini.Belum lagi memikirkan Anakku harus hidup tanpa Ibu, rasanya berat. Apa aku bisa menjaganya?Suatu saat, akan ada hari dimana dia menginginkan memiliki ibu bukan? Lalu, apa yang harus kujelaskan?Saat pikiranku dipenuhi firasat buruk, dan khawati tentang keadaan Nazwa yang sedang kritis. Suara familiar yang menjadi pemicu pertengkaran kami terdengar. Aku tah
Sudah satu bulan aku menyandang setatus baru sebagai Nyonya Kaffi. Tapi hubunganku dan Mas Adit seakan tanpa setatus. Laki-laki itu selalu bicara seperlunya padaku. Itu pun mengenai Jovan. Hanya saat hari libur Adit ada di rumah. Selebihnya sering dihabiskan di kantor.Pagi ini seperti biasa, sebelum Mas Adit bangun dan keluar dari ruang kerja, aku lebih dulu menyiapkan keperluannya, lalu ke kamar Jovan untuk mengecek keadaannya.Hari ini aku ingin mencoba menyiapkan sarapan, karena Bi Inah sudah kembali ke kediaman Umi. Wanita itu sengaja dikirim ke rumah ini agar bisa membantu Nazwa saat dia hamil.Aku memutuskan akan membuat Nasi goreng ala kadarnya. Jujur, ini pertama kalinya aku mencoba memasak sendiri. Selama ini aku hanya mebantu Bi Inah sebisaku. Jadi, apa yang harus kusiapkan lebih dulu, aku pun tak mengerti. Akhirnya aku memilih mengeluarkan semua yang ada di kulkas.Dalam kebingungan, sebuah suara b
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al-Ahzab:59)***************Aku mematut diri di depan cermin. Kutatap wajah yang kini telah berbalut hijab berwarna pech itu. Ada rasa berdebar saat aku mengenakannya. Wanita di depan sana lebih cantik dari yang biasa aku lihat. Lebih terasa terlindungi dan terasa aman. Tapi disatu sisi, aku belum merasa pantas, sementara akhlakku saja masih jauh dari kata sempurna.Tiba-tiba suara panggilan terdengar. Mas Adit menyuruhku untuk cepat turun."Kay, Cepat! Umi sudah lama menunggu!""Ya, sebentar!" jawabku tergesa.
Sabar memang tak ada batas.Tapi perlu diingat, bahwa manusia juga punya titik lelah dan titik jenuh. Dimana sabar tak bisa lagi mengambil alih.************Sore ini rumah terasa begitu sepi. Hanya ada aku dan Jovan, karena tadi pagi Yani ijin pulang ke Bogor, menengok ibunya yang sakit. Aku memilih di rumah saja untuk menjaga Jovan. Anakku sedang terlelap sekarang. Dia terlihat nyaman berada di dekapanku. Tidurnya bahkan tak terusik sama sekali.Dering phonsel terdengar beberapa saat kemudian, aku yang nyaris tertidur terpaksa bangkit walau enggan. Tertera nama Delilah di layar. Aku tersenyum lebar dan buru-buru mengangkatnya."Asalamualaikum, De.""Waalaikumsalam, Kayla! Bagaimane kabar? Kenapa kau tak balik-balik lagi ke sini?" Suara Delilah ter
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati. Jaga apa yang sudah Allah amanahkan padamu, sebelum kamu menyesal saat dia pergi. Dan berusahalah menerimanya jadi bagian hidupmu. Jika dia tak sesempurna yang kamu mau, maka tugasmu adalah meluruskan. Bukan menghakimi. Perlu kamu ingat, Allah selalu punya alasan terbaik dari setiap takdir-Nya.**********Dua bulan sudah kami menikah. Tapi aku masih bertahan dengan sikap tak acuh. Bahkan aku jarang sekali berbicara pada Kayla, jika bukan karena masalah Jovan.Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mengabaikannya hanya karena rasa bersalah. Tapi aku benar-benar tak bisa berada di dekat Kayla terlalu lama. Karena setiap kali melihat wajah itu, yang terbayang dalam ingatanku adalah tangisan Nazwa. Aku bahkan selalu menghabiskan watu di dalam ruang kerja hingga akhirnya tertidur di sana.
Rumah tangga yang kujalani terasa lebih indah setelah hari itu. Dan semuanya berjalan seperti seharusnya. Mas Adit berubah jadi lebih hangat. Dia bersikap sebagai suami yang baik, seperti janjinya.Rasanya tak ada yang lebih indah selain pemandangan ini setiap pagi. Aku melihat dua jagoanku tertidur dengan posisi yang sangat lucu. Jovan dengan kakinya yang menendang wajah Mas Adit. Dan Suamiku malah terlihat tak terganggu dengan tidur Jovan. Ah, bahagianya sudah bisa menyebut dia suami. Rasanya kata sakinah yang dulu aku impikan kini telah terwujud.Dan ngomong-ngoming soal Jovan, aku dan Mas Adit memutuskan Jovan tidur bersama kami. Kalian jangan berpikir macam-macam. Karena hubunganku dan Mas Adit belum sampai tahap 'itu'. Entahlah, baik aku atau dia masih sama-sama gamang dengan perasaan ini. Jadi biar kami jalani apa adanya dulu.Tiba-tiba Jovan menggerak-gerakan tubuhnya. Oh, bayiku sekarang sudah menginjak usia
Dimas memacu mobilnya menuju perumahan elit daerah Kemayoran. Di sampingnya Adiba duduk dengan tenang tanpa terusik sama sekali. Setelah acara makan siang mereka terganggu dengan kehadiran Aqifa, Dimas mengantar Adiba pulang ke rumah tantenya. "Apa Aqifa itu kekasihmu?" Adiba penasaran dengan hubungan dua polisi itu. Pasalnya semenjak awal Adiba datang ke kantor Dimas, Aqifa selalu memasang wajah judes di depannya. Belum lagi tatapan mata wanita itu pada Dimas yang terlihat jelas menyimpan rasa. Hanya orang bodoh yang tak bisa menyadari itu. Hal itu diperkuat dengan kejadian tadi saat mereka makan. Aqifa bahkan bersikap seolah ia tahu segalanya soal Dimas. Seakan secara tak langsung ingin memberi tahu Adiba jika ia lebih mengenal laki-laki itu. Sebagai sesama wanita, Adiba jelas tahu gelagat seperti itu. Aqifa tengah merasa terancam dengan kehadirannya.“Dari diamnya kamu, aku sudah tahu jawabannya. Dia benar kekasihmu, kan? Sepertinya dia tahu banyak mengenai kamu. Yang Pak Arsen be
Dimas terbangun dari tidur karena merasa ada seseorang yang membelai lembut rambutnya. Ia mengerjapkan mata berusaha melihat siapa gerangan yang mengusik tidurnya tengah malam. Betapa kaget ia mendapati Halimah, almarhumah ibu, sedang tersenyum menatapnya. Pakaian serba putih yang dikenakan wanita itu membuatnya terlihat lebih cantik.Halimah menyentuh bahu putranya. "Ayo, ikut Ibu,” ucap Halimah lembut.Senyum ibunya menenangkan Dimas. Senyum itulah yang dulu selalu menguatkan Dimas saat ia terpuruk dan menemani masa kecilnya. Senyum yang paling Dimas rindukan. "Ke mana, Bu?" Dimas penasaran. "Ibu ingin mengenalkan kamu pada calon istrimu."Jawaban Halimah mengagetkan Dimas. Meski begitu ia tetap mengikuti ibunya. Laki-laki itu merasa dibawa menembus dimensi lain dan tiba-tiba telah berada di sebuah taman yang sangat indah dengan bung-bunga bermekaran sejauh matanya memandang. Seorang wanita mengenakan gaun putih yang menjuntai hingga mata kaki, dengan kerudung besar yang menutupi
Suara tangis kesedihan terdengar memenuhi lorong rumah sakit. Seorang wanita paruh baya menangis di depan jenazah anak perempuannya yang terbujur kaku dengan kondisi mengenaskan karena sudah tak bisa dikenali. Para dokter forensik yang mengelilingi hanya bisa tertunduk, ikut merasakan duka wanita itu. “Aling, bangun! Jangan tinggalkan Mama! Bangun!" May menangis histeris."Sudah, Tante. Ikhlaskan Aling pergi," bujuk Adiba berusaha menguatkan tantenya agar wanita itu tenang."Tante nggak akan pernah tenang sebelum laki-laki brengsek itu mendapat hukuman setimpal!" teriak May lagi. Adiba menarik tantenya ke pelukan. "Ya, laki-laki itu pasti akan mendapat ganjarannya. Tente tenanglah."May berurai air mata dalam dekapan keponakannya. Adiba menepuk-nepuk punggung wanita itu agar tak limbung. Hingga tiba-tiba sepasang suami istri datang dan menginterupsi tangisan mereka."Diba," panggil wanita paruh baya yang mengenakan baju syar'i, lalu berjalan dengan langkah lebar mendekati Adiba dan
Dimas tiba di kantor Bareskrim Mabes Polri. Beberapa anak buahnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Selamat pagi, Pak," sapa anak buahnya, Hendra, yang terlihat sedang sibuk menata beberapa dokumen. "Pagi." Dimas duduk di kursi kebesarannya. Ia meraih sebuah dokumen dan membukanya. “Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur. Manusia sudah mirip binatang sekarang, miris," sambung Dimas dari ruangannya yang disekat dengan kaca transparan.Seorang wanita mengenakan hijab masuk menenteng plastik keresek hitam di tangannya. "Asalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab semua yang ada di sana serentak. "Eh, ada bidadari surga datang," celetuk Anjar yang duduk di sebelah Hendra.Wanita itu tersenyum, lalu berjalan menghampiri meja Dimas. "Saya membawa sarapan untuk Bapak," ujarnya seraya meletakkan bungkusan yang ia bawa di sebelah papan nama bertuliskan AKP. DIMAS ARSENA."Terima kasih, Fa. Tapi maaf, kebetulan tadi saya sudah sarapan."Senyum w
Dua tahun kemudian ...Seorang laki-laki duduk termenung di atas sajadah. Matanya terpejam, sementara pipinya basah oleh air mata. Kedua tangannya menengadah ke atas sebagai wujud penghambaan diri. Ia sadar dirinya hanyalah makhluk-Nya yang lemah dan butuh Dia lebih dari apa pun.Saat seperti inilah yang selalu membuatnya merasa jauh lebih baik. Saat orang lain terlelap dalam mimpi, sementara ia akan bangun lalu menceritakan segala bentuk keluh kesahnya pada Dzat yang telah memberinya hidup hingga hari ini. Meski hidup yang ia jalani hanya dipenuhi rasa hampa, sebisa mungkin Dimas tak mengeluh. Kepasrahannya sedikit mengurangi rasa hampa yang membawa pada kesepian yang terasa menyesakkan dada.Sudah tiga tahun semenjak ibu kandungnya meninggal, Dimas hidup sendiri di rumah dua lantai itu. Rumah yang dibelinya untuk mendiang sang ibu sekaligus ia persiapkan untuk keluarga kecilnya nanti. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Sebab calon istrinya malah menikah dengan laki-laki lain.Dim
PROLOG (Spin Of JoL)Dimas tengah duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Laki-laki itu mengusap wajah gusar, lalu menengadahkan kepala ke atas langit, menatap bulan yang tampak bersinar terang. Malam ini langit begitu cerah, berbanding terbalik dengan hatinya. Tak sebaik yang terlihat, laki-laki bermata tajam itu mengembuskan napas berat. Sudah lima belas hari Kayla dirawat di rumah sakit setelah insiden penculikan. Dimas lega karena setelah semua berakhir, Kayla akan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Lantas, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan tetap seperti ini? Terus hidup dalam kesendirian dan kegelisahan?Saat pikiran laki-laki itu tengah gundah, seseorang menepuk lembut bahunya. Dimas mendengkus begitu tahu siapa gerangan yang mengganggu acara melamunnya.“Hey, Polisi Narsis! Sedang apa bengong di sini?” seru Adiba mengagetkan. “Ck! Kepo.”Jawaban singkat Dimas membuat Adiba mengerucutkan bibir. Namun, wanita yang tampak cantik dengan balutan long dress berwarna p
Sudah dua bulan semenjak Adit dan Kayla keluar dari rumah sakit setelah insiden penculikan itu. Hidup mereka menjadi lebih tenang. Berita terakhirnya, Danu dijatuhi hukuman mati atas kepemilikannya mengenai pabrik narkotika dan juga kasus-kasus yang menjeratnya. Kayla dan Adit bernapas lega untuk hal yang satu ini. Kayla menghela napas lelah untuk ke sekian kalinya, berkali-kali kepalanya melirik pintu depan berharap orang yang dia telepon segera datang menjemput. Merasa lelah, wanita itu memutuskan mengirim pesan pada orang yang ditunggu. Mas dimana? jadi menjemput Kay apa tidak? Beberapa saat menunggu, pesan yang dia kirim tak kujung dibalas, Kayla kembali mengembuskan napas lelah. Benar-benar tak mengerti dengan tingkah suaminya. Pasalnya sudah sebulan ini tingkah Adit mulai aneh, setiap kali ada janji dengannya pasti berakhir tak pernah tepat waktu atau bahkan batal. Kayla mulai curiga, di memutuskan untuk menghubungi nomor suaminya saja. Beberapa saat mencoba tetap tak diangga
Kayla mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus masuk ke dalam retina. Samar-samar dilihatnya langit-langit kamar berwarna putih dengan bau obat yang sangat menyengat. Kepalanya berdenyut, tubuhnya benar-benar terasa remuk seakan baru saja ditindih batu berton-ton beratnya.Wanita yang kini terlihat pucat itu, mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan situasi ini. Pasalnya hal terakhir yang diingatnya adalah saat dia berada di sebuah Villa dengan Danu yang menyekapnya, lalu Adit datang untuk menolong. Hingga dia mendengar suara letusan senjata api. Kayla mulai diserang rasa takut saat mengingat Adit.Menyadari mungkin saja suaminya dalam keadaan tak baik, wanita itu mencoba bangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut."Mas Adit," gumam Kayla dengan suara cukup keras, hingga membuat beberapa orang yang ada di kamar itu terlonjak kaget, dan langsung menghampirinya.
Beberapa jam sebelumnya. Danu menatap Kayla dengan wajah merah padam karena menahan amarah. Wanita di depannya benar-benar tak memiliki rasa takut sedikit pun dengan ancaman pria tua itu. Dia bahkan masih saja mengarahkan mata coklatnya dengan berani meski berkali-kali pria itu memukulnya."Jadi, kau benar-benar tak mau menyembah di kakiku dan meminta ampun?" tanya Danu untuk yang terakhir kali."Cih! Jangan mimpi! Aku tak sudi meminta ampun pada manusia bejat sepertimu! Memang kau ini siapa?! Setelah apa yang kau lakukan pada Nazwa, kau berhak untuk sebuah hukuman!""Dasar jalang sialan!" Danu berteriak marah sambil menampar Kayla kuat-kuat, hingga ujung bibir wanita itu berdarah. Kayla bukanya merasa takut, malah semakin menyunggingkan senyum meremehkan ke arah Danu."Dengar aku, Jalang!" Danu menarik rambut Kayla, tapi wanita itu masih tak bergeming, bahkan tetap setia