Biasanya Syera akan terkejut ketika mendapati posisinya dengan Tama cukup intim. Namun, saat ini berbeda, tidak ada keterkejutan di wajahnya yang bersemu merah membayangkan sesuatu yang terjadi beberapa jam lalu. Syera akui cara yang Tama lakukan benar-benar berhasil mengalihkan pikirannya meski hanya sejenak. Ia mengira dirinya akan terlelap nyenyak sampai matahari terbit. Tetapi, ternyata dirinya harus terbangun karena sesuatu dan memiliki kesempatan untuk mengamati wajah damai Tama yang terlelap di sampingnya. Syera harus banyak-banyak berterima kasih pada Tama yang tak disangka bersedia menemaninya. Lelaki itu memang tidak memberikan solusi atau banyak berkomentar. Namun, kehadirannya saja sudah cukup menghibur Syera. Walaupun kemungkinan besar alasan Tama berada di sampingnya hanya karena kasihan. “Tuan, boleh aku minta tolong?” gumam Syera sembari mengguncang pelan bahu tegap Tama. Syera tak terlalu berharap Tama akan bangun apalagi bersedia memenuhi keinginannya. Tetapi
Syera mengerjapkan matanya, seakan tak mempercayai kata-kata terakhir yang Tama katakan. Wanita itu membeku selama beberapa saat dengan manik mata membulat sempurna. Ia menunggu lelaki itu meralat kalimat sebelumnya, barangkali ia salah mendengar atau Tama yang salah ucap. Namun, Tama hanya diam dan berbalik menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. “Tidak ada model yang kamu sukai di sini?” tanya Tama sebelum mengalihkan pandangan ke arah sang manajer toko yang duduk di hadapannya. “Bawakan semua desain cincin terbaik yang kalian miliki.” Syera gelagapan. Sebenarnya maksudnya bukan seperti itu. Ia ingin menolak, namun bingung harus mengatakan apa. Sungguh, dirinya benar-benar tak menyangka Tama akan memberikan sesuatu yang bahkan tidak pernah lelaki itu bahas sejak hari pertama pernikahan mereka. Syera mengira Tama hanya ingin membelikan perhiasan untuk Elvina. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya mengharapkan lelaki itu membelikan perhiasan untuknya. Apalagi samp
“Apa maksudmu, Tuan? Apa Anda sudah tidak menganggapku pembunuh Nyonya Kirana lagi?” sahut Syera yang tampak sedikit berbinar. Ia selalu menunggu saat di mana dirinya tak akan lagi dituduh pembunuh. “Jika iya, apa Tuan akan segera melepasku?” Pertanyaan antusias Syera malah dibalas tarikan cukup kuat pada lengannya. Mulutnya spontan memekik dan tubuhnya limbung tanpa bisa dicegah. Wajahnya berubah merah padam saat menyadari dirinya sudah berada dalam pangkuan Tama. Belakangan ini, sikap Tama selalu membuat jantungnya nyaris lepas dari sarangnya. Walaupun saat ini suaminya lebih banyak menunjukkan sikap manusiawi, tetapi itu malah berbahaya baginya. Sebab, lelaki itu selalu berhasil membuatnya ketar-ketir. Syera malah lebih suka Tama menjaga jarak dengannya. “Apa Anda tidak bisa memberi aba-aba dulu sebelum melakukan sesuatu, Tuan? Bagaimana kalau aku terjatuh dan itu semakin membahayakan kami berdua?” protes Syera yang masih berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Aku tidak akan mem
“Untuk apa membuat kue sebanyak ini? Apa kamu berencana ingin membuat pesta untuk merayakan kepergianku? Merasa bisa lepas dariku?” sindir Tama yang telah tampil rapi dalam balutan setelan kantoran serba hitamnya. Tama yang seharusnya sudah berangkat ke kantor itu malah berbelok ke dapur karena menangkap aroma cake yang menyebar di seluruh penjuru ruangan. Ketika melangkah ke dapur, ia mendapati Syera yang tengah berkutat di sana dengan beberapa macam cake. Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar membuat Syera terkesiap. Akibatnya, punggung tangan wanita itu tak sengaja bersentuhan dengan bagian oven yang panas. Ia spontan meletakkan loyang yang diambilnya di sembarang tempat sembari meringis kesakitan. Decak samar lolos dari bibir Tama. Lelaki itu bergegas menyebrangi dapur dan memeriksa luka bakar yang tercipta pada punggung tangan Syera. Kemudian menarik wanita itu mengikuti langkahnya menuju tempat penyimpanan kotak obat. Luka tersebut memang tidak terlalu besar, namun t
Udara sejuk yang menerpa punggungnya menyebabkan Syera terjaga. Rengkuhan erat Tama hanya mampu memberi kehangatan di satu sisi saja. Sementara dingin itu tetap terasa di sisi lainnya. Menguatkan bukti jika di balik selimut yang sudah melorot ke pinggangnya ini, ia tidak mengenakan apa pun lagi. Kantuk yang semula masih samar terasa kini hilang tak bersisa. Wanita itu mengubah posisinya menjadi telentang dan menatap nyalang ke depan. Mereka ulang kejadian yang beberapa jam lalu terjadi. Setelah sekian kali tertunda, akhirnya ia dan Tama kembali melakukannya semalam. Tama sempat berbisik padanya, mengatakan akan memberi kenangan baru untuk menghapus trauma pada kejadian di club malam itu. Nyatanya, lelaki itu memang berhasil, menggeser kenangan kelam itu dengan apa yang terjadi semalam. “Kamu sudah bangun? Lapar, hm?” Tama yang terbangun karena pergerakan Syera kontan kembali mengeratkan rengkuhannya. “Sepertinya iya. Apa Tuan mau membuatkan sesuatu untukku?” gurau Syera sembari ter
Syera yang sedang menyesap orange juicenya langsung tersedak mendengar bisikan Utari. Wanita itu spontan bangkit dari posisinya dan bercermin pada spion mobil yang kebetulan terparkir tak jauh dari sana. Ia ingin mengecek sesuatu, dan ternyata benar saja, bercak kemerahan yang memenuhi leher dan dadanya masih tampak samar-samar. Padahal sebelum keluar kamar untuk mencari sarapan tadi, Syera telah menutupi semuanya menggunakan makeup. Ia juga sudah memastikan jika tidak ada lagi yang terlihat. Namun, ternyata masih ada beberapa bagian yang kurang merata dan Tama tidak mengatakannya sama sekali. Pantas saja beberapa orang yang berpapasan dengannya menatapnya dengan sorot aneh. Syera menarik ikat rambutnya, membiarkan rambut hitam legamnya tergerai indah dan menutupi lehernya sampai ke bahu. Kalau bukan karena gerah, Syera tak akan mengikat rambutnya dan secara tidak langsung membuat dirinya menjadi tontonan orang lain. “Syera, tidak perlu panik. Kalau tidak dilihat dari jarak yang cuk
Syera yang berbaring telentang di atas ranjang masih menatap jam di dinding kamarnya dalam cahaya remang-remang. Malam semakin larut dan seharusnya ia sudah terlelap sekarang. Namun,matanya masih terbuka lebar dan tak ada tanda-tanda kantuk akan datang. Alasannya sederhana tetapi cukup sulit terwujud dalam keadaan seperti ini. Entah kenapa, Syera begitu menginginkan Tama memeluknya sekarang. Seperti yang biasa lelaki itu lakukan di malam-malam sebelumnya. Namun, jelas saja ia tidak berani untuk sekadar meminta. Sejak sikap Tama berubah drastis beberapa jam lalu, mereka benar-benar saling bungkam satu sama lain. Tak mungkin Syera tiba-tiba meminta permintaan konyol semacam itu. Bisa-bisa suaminya malah akan semakin mengamuk dan berkata kasar. “Tuan.” Syera berbisik samar. Namun, suaranya pasti masih bisa terdengar jika Tama yang berbaring di sampingnya belum tidur. Karena tak ada jawaban sama sekali, Syera bergeser pelan-pelan mendekati Tama dan menyentuh bahu lelaki itu. Namu
Syera spontan bersingkut mundur setelah tak ada lagi yang menyeret tubuhnya. Selama beberapa saat wanita itu masih menunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan saat itu pula netra hazelnya bertabrakan dengan manik hitam legam suaminya yang sedang melawan para lelaki cabul itu. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan sosok yang tengah bergulat dengan ketiga lelaki mabuk itu. Ia tidak mungkin salah, lelaki itu memang Tama. Namun, bagaimana caranya lelaki itu menemukan keberadaannya? Syera menyeret langkah menjauh dari sana hingga punggungnya menabrak tembok pembatas di belakangnya. Sorot matanya tak lepas dari sosok Tama yang sangat lihai melawan 3 orang sekaligus. Namun, tetap saja hal itu tak membuat kekhawatirannya berkurang. Sayangnya, ia tak bisa membantu sama sekali. “Awas di belakangmu, Tuan!” pekik Syera spontan saat salah satu di antara orang-orang itu nyaris memukul Tama dari belakang mengunakan batu besar. Beruntung, Ta
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas