"Aku tak akan pernah membiarkan wanita yang menghabisi nyawa istriku bisa menghirup udara segar!" ucap Tama langsung mencengkeram lengan Syera dan menyeret paksa wanita itu keluar dari ruangan.
“Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!” seru Syera dengan suara tertahan.
Syera berusaha meronta dengan sekuat tenaga. Tak peduli dengan perih yang mulai menjalari pergelangan tangannya. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mengusir orang-orang ini sebelum ayahnya menyadari keributan yang terjadi.
Namun terlambat, Kuncoro sudah terlanjur mendengar keributan yang terjadi. Pria paruh baya yang baru keluar dari kamar itu terlihat sangat terkejut melihat banyaknya orang yang berada di rumah sempitnya. Kuncoro langsung menyadari ada yang tidak beres di sini.
“Lepaskan tangan Anda dari putri saya! Apa yang terjadi sebenarnya? Apa kalian tidak memiliki sopan santun sampai menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa izin?” tegas Kuncoro dengan tatapan tajam.
Tama hanya menatap Syera sekilas dengan tatapan membunuh. Cengkeraman lelaki itu pada tangan Syera malah semakin kuat. “Dia sudah menabrak dan membunuh istriku! Dia harus menerima balasan yang setimpal!”
“Apa?! Tidak mungkin! anakku tidak--” Kuncoro terbelalak, namun, ucapannya terhenti karena dirinya merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya sehingga dia terjatuh.
Melihat ayahnya mengerang kesakitan, Syera pun memberontak lebih keras dan menginjak kaki Tama kuat-kuat. Begitu cekalan lelaki itu terlepas, ia langsung berlari menghampiri ayahnya yang sudah terjatuh dari kursi roda.
“Ayah! Tolong jangan dengarkan dia. Aku tidak bersalah, ini hanya salah paham.” Syera berusaha keras menahan isak tangisnya meskipun suaranya sudah berubah serak. Jantungnya mencelos saat menyadari tidak ada pergerakan lagi dari Kuncoro.
“Ayah, tolong buka matamu! Jangan membuatku takut.” Syera mengguncang tubuh ayahnya lebih kuat. Namun, pria paruh baya itu tetap tidak bergerak sama sekali. Desakan air mata yang sedari tadi sudah berkumpul di pelupuk matanya langsung meluncur deras diiringi dengan isakan pelan.Tubuh Syera bergetar hebat. Wanita itu tak berhenti mengguncang tubuh sang ayah. Berharap ada satu saja harapan yang membuatnya sedikit lega. Ia terus meraung, memanggil ayahnya berulang lagi seperti orang gila.Sedangkan Tama dan anak buah lelaki itu yang menyaksikan itu hanya menatap dengan sorot dingin tanpa berniat membantu sama sekali. Seolah-olah yang terjadi di depan mata mereka hanya sekadar akting belaka.Syera mengangkat kepalanya, menatap kumpulan manusia tak beradab yang telah membuat kekacauan di rumahnya. Tatapan penuh kebenciannya menyorot ke arah dalang dari kekacauan ini. Aditama Ravindra. “Apa kalian tidak memiliki hati sama sekali?! Ayahku harus dibawa ke rumah sakit sekarang!”Syera berusaha mengangkat tubuh ringkih ayahnya. Namun, apalah daya tenaganya tidak sekuat itu. Tama yang sudah muak menyaksikan drama menjijikkan di depan matanya langsung meminta salah satu anak buahnya memeriksa kondisi Kuncoro.Syera dipaksa menyingkir dari sana karena dianggap menghalangi. Anak buah Tama itu langsung memeriksa napas dan denyut nadi Kuncoro. “Pria tua ini sudah tidak bernyawa,” tutur lelaki berkepala plontos itu seraya kembali menegakkan tubuhnya.“TIDAK MUNGKIN!” seru Syera dengan tatapan tak percaya.Syera spontan bangkit dari posisinya dan memacu langkah keluar dari rumahnya. Tak peduli anak buah Tama akan mengejarnya karena mengira dirinya kabur, ia hanya ingin meminta pertolongan pada seorang bidan yang kebetulan bertempat tinggal di belakang rumah kontrakannya.Begitu sampai di rumah yang ia tuju, Syera langsung mengetuk sekuat tenaga sembari memanggil-manggil nama sang bidan. Untung saja, orang yang dirinya cari berada di tempat. Wanita itu langsung memohon agar bidan itu dapat membantu ayahnya.Setelah mendapat persetujuan dari bidan itu, Syera segera mengajak sang bidan menuju rumahnya. Kuncoro pun kembali diperiksa dan air mata Syera yang semula sudah mengering kembali keluar dari manik matanya saat bidan itu menggeleng.“Nak Syera, mohon maaf, tapi ayah Nak Syera memang sudah meninggal dunia. Saya turut berbelasungkawa, tolong ikhlaskan beliau. Maaf saya tidak bisa menemani lebih lama, Nak Syera yang sabar ya, saya permisi dulu,” pamit bidan tersebut sembari menepuk bahu Syera.Syera yang terlalu fokus dengan kesedihannya sendiri tak sempat mengucapkan terima kasih. Rasanya benar-benar seperti mimpi, beberapa menit yang lalu ia masih berbincang dengan ayahnya. Dan sekarang sang ayah telah tiada. Satu-satunya keluarga yang wanita itu miliki telah pergi selama-lamanya.Bahkan, Syera belum sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada sang ayah. Ini semua terjadi karena kedatangan Tama. Lelaki itu yang membuat ayahnya terkena serangan jantung dan meninggal dunia.Syera baru bangkit dari posisinya ketika beberapa tetangganya datang. Mereka mengucapkan belasungkawa dan memberikan petuah pada Syera agar mengikhlaskan kepergian Kuncoro. Beberapa orang itu juga membantu Syera mengurus jenazah sang ayah, termasuk mengurus masalah pemakaman.Tama dan anak buah lelaki itu masih berada di sini hingga hari berganti. Seakan tak ingin memberi kesempatan bagi Syera untuk melarikan diri. Setelah semalaman mengurung diri, wanita itu sangat terkejut mendapati Tama masih berada di depan rumahnya.Para tetangga Syera menganggap lelaki itu penagih utang Kuncoro yang tiba-tiba datang dan membuat penyakit ayah Syera kambuh hingga meregang nyawa. Meskipun kenyataan sebenarnya tidak seperti itu.Karena asumsi orang-orang itu, Tama dan anak buah lelaki itu ditatap penuh kebencian oleh semua orang. Setidaknya itu bisa mengurangi setitik kesedihan yang Syera rasakan. Sebab, orang yang menghancurkan hidupnya dalam sekejap telah mendapatkan sedikit balasan.“Apa Anda sudah puas menghancurkan hidupku, Tuan?” tanya Syera pada Tama yang tanpa tahu malu sudah kembali memasuki rumahnya.Sepertinya, hati nurani seorang Aditama Ravindra memang telah mati. Sampai-sampai tidak peduli sama sekali pada apa yang terjadi pada Syera. Mungkin akan jauh lebih baik jika lelaki itu bersedia membantu. Sayangnya, itu tidak terjadi.Sekarang Syera hanya ingin menenangkan diri. Menangis nyaris semalaman masih belum membuatnya puas. Ia tidak ingin mendapat gangguan dari siapa pun, terutama lelaki yang tanpa tahu malu masih berada di rumahnya ini.“Puas?” sahut Tama setengah mencibir. “Bukannya ini adalah salah satu akibat perbuatan busukmu pada istriku?! Kamu sudah melenyapkan nyawanya dan sekarang kamu juga kehilangan orang yang kamu sayangi. Semuanya sudah jelas sekarang, kamu memang bersal—”PLAK!Telapak tangan Syera yang baru saja mendarat di wajah Tama terasa panas. Bisa dibayangkan seberapa keras tamparan tersebut. Meski menyadari kalau tindakannya semakin menyulut api permasalahan di antara mereka, Syera tidak peduli lagi.Syera sudah tidak bisa menahan luapan amarahnya lagi. Apa yang Tama lakukan padanya sangat keterlaluan. Bahkan, di saat dirinya masih dalam keadaan berduka seperti ini, lelaki itu tetap tidak memiliki belas kasihan sama sekali.“Perlu aku katakan berapa kali lagi kalau aku tidak bersalah?! Memangnya kalau orang yang menabrak istrimu mirip denganku, berarti aku pelakunya?! Berhenti memfitnah diriku! Aku tidak pernah mencelakai istrimu! Apa masih belum cukup Anda membuatku kehilangan satu-satunya keluarga yang aku miliki?” raung Syera dengan suara serak.Sebutir cairan bening lolos dari manik matanya dan langsung ia hapus dengan gerakan kasar. Sorot matanya menatap Tama dengan tatapan nyalang. Deru napasnya pun memburu. Wanita itu mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya.Tama berdecih sinis sembari mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. “Beraninya kamu menamparku?!” Lelaki itu merangsek maju dan langsung mencengkeram pergelangan tangan Syera.“Anda pantas mendapatkannya! Bahkan, lebih dari itu! Sekarang tinggalkan rumah ini! Jangan ganggu hidupku lagi!” usir Syera tanpa basa-basi. “Dan berhenti menganggap diriku sebagai pembunuh istrimu! Jika Anda termasuk orang yang cerdas, harusnya Anda tidak langsung mengambil kesimpulan begitu saja!”Orang sekelas Aditama Ravindra pasti bisa menemukan informasi sedetail apa pun yang mereka inginkan. Bahkan, mungkin juga termasuk yang sulit dilacak oleh orang lain. Tetapi, lelaki di depannya ini malah langsung asal tuduh tanpa bukti yang kuat.“Kamu yang seharusnya berhenti mengelak! Aku yakin pasti ada seseorang yang menggerakkanmu untuk mencelakai istriku! Berapa banyak dia membayarmu sampai kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya? Aku bisa membayarmu jauh lebih mahal! Katakan nominal yang kamu inginkan!” balas Tama sinis.Syera menyentak keras cekalan Tama hingga terlepas. “Aku tidak tahu siapa yang mencelakai istrimu! Kalau kamu menjebloskan aku ke penjara. Kamu yang akan menyesal karena aku tidak bersalah!”“Memangnya siapa yang akan menjebloskan kamu ke penjara?” sahut Tama seraya bergerak maju yang otomatis membuat Syera melangkah mundur. Lelaki itu mengunci pergerakan Syera yang sudah terhimpit di tembok. “Bayar dengan hidupmu!”“Apa maksudmu, Tuan?!” sahut Syera tajam. Ia terkejut mendengar kata-kata terakhir yang Tama lontarkan, tetapi tetap memasang ekspresi tegasnya. “Jangan bersikap seenaknya! Dan perlu Anda tahu kalau aku tidak bersalah!” Wanita itu ingin mengurai jarak di antara dirinya dan Tama yang terlalu dekat. Namun, ruang geraknya benar-benar terbatas. Semakin ia berusaha mendorong lelaki itu, Tama malah sengaja mempertipis jarak di antara mereka. Syera tidak tahu makna kata yang Tama maksud sebenarnya. Namun, apa pun maksud dari kata-kata tersebut, sudah pasti akan merugikannya. Wanita itu sudah sangat frustasi. Segala pembelaan yang dirinya lontarkan sama sekali tidak berarti di mata lelaki itu. Padahal dirinya tidak berbohong. Setelah Syera tidak memberikan perlawanan lagi, barulah Tama mengurai jarak di antara mereka dengan mundur selangkah. Tentu saja kesempatan itu segera Syera manfaatkan sebaik mungkin dan mencari jarak paling aman. “Aku ingin kamu mengabdikan seumur hidupmu padaku. Ka
"Apa pernikahannya akan dilangsungkan di sini, Tuan?" Entah dari mana, tiba-tiba seorang pria paruh baya dengan seragam khas pegawai kantor urusan agama muncul di ruangan. Sementara Tama menyapa pria tak dikenal itu dengan senyuman, setelah berseringai kepada Syera yang masih kebingungan. "Iya, lakukan sekarang karena pengantin wanitanya sudah siap." Saat itu, rasa takut langsung memenuhi sekujur tubuh Syera ketika tersadar Tama akan menikahinya. Wanita itu baru menyadari, bahwa pria yang saat ini sedang mencengkeram tangannya dengan kuat memang seorang pria gila! Merasa panik, sehingga hanya satu hal yang ada di pikiran Syera, yaitu kabur! Memanfaatkan Tama yang saat itu sedang terfokus ke arah petugas yang akan menikahkan mereka, Syera pun langsung mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menghempaskan cengkeraman di tangannya untuk lari. Netra wanita itu terarah ke sebuah jendela besar yang terbuka, sehingga dia hanya bisa lari dengan kencang demi mencapai jendela itu. "Lebih
Syera mengerutkan kening dan spontan membuka mata ketika merasakan sesuatu yang terciprat di wajahnya. Manik matanya yang sayu menatap bingung ke arah seseorang dengan pakaian hitam putih khas pelayan yang berkacak pinggang di sampingnya. “Akhirnya kamu bangun juga. Membuang-buang waktu saja menunggumu di sini. Kalau bukan karena perintah, aku tidak akan sudi menunggumu sampai bangun!” gerutu wanita muda berseragam pelayan itu sembari meletakkan segelas air yang sudah berkurang setengahnya di atas nakas. Sebelum Syera sempat membuka mulut dan menanyakan sesuatu, wanita itu sudah lebih dulu keluar ruangan. Syera memaksa mengubah posisinya menjadi duduk meski tubuh masih lemas. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tampaknya ruangan tempatnya berada saat ini adalah sebuah kamar. Ruangannya tidak terlalu luas, hampir seukuran dengan kamarnya, tetapi tempat ini jelas lebih baik. Syera meraba wajahnya yang terasa basah, kemudian menoleh ke arah gelas air yang diletakka
“Bukannya Tuan menganggapku sebagai pembunuh istrimu? Dan bagaimana dengan bayi mungil ini? Bukankah aku bisa lebih mudah lagi menghabisinya jika aku mau? Bahkan, dia tidak bisa melawan saat aku—aakhh!” Dalam hitungan detik, Tama bergerak maju dan mendorong tubuh mungil Syera ke dinding. Kobaran amarah terpampang jelas dari manik matanya yang tampak datar. “Berani kamu melakukan itu, aku pastikan hidupmu akan jauh lebih menderita dari sekarang!” Mengabaikan nyeri yang menyerang punggungnya, Syera tetap mempertahankan senyum angkuh yang terpatri di wajahnya. “Silakan saja jika Anda ingin melakukan itu, Tuan. Tapi, bukankah itu tidak akan berguna lagi jika aku benar-benar melenyapkan putri kesayanganmu?” Segila apa pun dirinya, sudah jelas Syera tidak akan pernah melakukan itu. Mengorbankan bayi yang tak berdosa dan belum mengerti apa-apa demi dendam semata. Ia hanya sedikit menggertak, namun bisa dipastikan tepat sasaran melihat bagaimana ekspresi murka di wajah Tama saat ini. Orang
Tama kembali menarik diri tak lama kemudian. Seulas senyum sinis tersungging di bibirnya melihat wanita di bawahnya yang tampak ketakutan. Tak terlihat rasa bersalah sedikitpun dari wajahnya, bahkan lelaki itu sengaja menatap Syera dari atas sampai bawah dengan sorot menilai. “Apa kamu pikir tubuhmu menarik di mataku?” Pertanyaan sinis itu berhasil menggores harga diri Syera sebagai wanita. Ditambah lagi dengan tatapan kurang ajar lelaki itu yang seakan sedang menelanjanginya. Setelah Tama tidak lagi mengunci tubuhnya, ia bergegas bangkit dari posisinya. Kemudian, merapikan pakaian yang melekat di tubuhnya. Syera bersumpah tidak akan menggunakan pakaian ini lagi maupun pakaian sejenisnya. Syera menatap Tama yang berdiri angkuh di hadapannya dengan sorot penuh kebencian. Wanita itu langsung mengelap bibirnya yang basah karena ulah Tama. Ia benar-benar tidak rela ciuman pertamanya diambil oleh seseorang yang sangat dibencinya. Tama yang sedari tadi memperhatikan Syera berdecih sinis.
“Apa? Kalung yang sama? Apa yang Tuan maksud sebenarnya?” sahut Syera seraya memutar tubuhnya menghadap Tama. Kemudian, melirik kalung di yang ada tangannya. “Tidak mungkin aku memiliki kalung yang sama dengan istrimu, Tuan.” Meskipun kalung miliknya memang memiliki desain yang unik, namun tidak mungkin sama dengan milik mendiang istri Tama. Kalaupun memang mirip, sudah pasti harganya berbeda sangat jauh. Bukannya ia meragukan pemberian orang tuanya, tetapi barang milik orang kaya pasti memiliki harga yang fantastis. “Kalung seperti ini mungkin dimiliki banyak orang, Tuan. Desainnya memang mirip, tapi bukan berarti hanya satu orang yang memilikinya. Kalung ini pemberian ibuku, hanya kalung biasa. Tidak mungkin sama dengan kalung yang istri Tuan miliki!” sambung wanita itu tanpa ragu. Tama melangkah maju dan menarik tangan Syera yang sedang menggenggam kalung itu. “Biasa? Apa kamu tidak bisa membedakan mana berlian langka dan berlian biasa? Lihat sendiri! Dan perlu kamu jika kalung
Ringisan pelan lolos dari bibir Syera yang spontan menyentuh keningnya. Manik matanya menatap lurus-lurus ke arah wanita paruh baya yang tampak ingin menelannya hidup-hidup itu. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu tiba-tiba menyerangnya. Namun, sepertinya mereka pernah bertemu sebelumnya. Pelan-pelan Syera berusaha bangkit dari posisinya dengan tatapan waspada. Khawatir wanita paruh baya di hadapannya ini kembali menyerangnya. “Kenapa Anda tiba-tiba menyerangku? Apa salahku, Nyonya?” tanya wanita itu bingung. Di detik berikutnya, Syera langsung mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan wanita paruh baya ini. Di rumah sakit tempo hari. Dan barusan wanita paruh baya ini juga menyebut ‘anakku' dan ‘menantuku'. Sepertinya wanita ini adalah ibu kandung Tama. “Kamu masih bertanya apa salahmu? Kamu benar-benar tidak tahu diri! Setelah membunuh menantuku, kamu berani menginjakkan kaki di rumah ini, hah?! Harusnya kamu sudah membusuk di penjara!” bentak wanita paruh baya bernama Rebe
Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar itu membuat Syera terlonjak. Buru-buru ia menyimpan kembali figura foto mendiang istri Tama itu. Namun … PYAR! Syera yang panik hanya menyimpan asal figura tersebut dan akhirnya benda itu malah jatuh di samping nakas dan pecah. Syera semakin panik dan langsung berjongkok untuk mengambil benda tersebut. Tama pasti mengamuk karena dirinya telah menghancurkan benda yang sangat berharga. “Aw!” Ujung telunjuknya tak sengaja tergores serpihan kaca figura yang telah hancur itu. “Apa yang kamu lakukan?! Minggir!” sentak Tama yang langsung mendorong Syera menjauh dari sana. Ia langsung mengambil foto Kirana—mendiang istrinya dari serpihan figura tersebut dan memastikan foto itu tidak rusak. Dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, Syera bangkit dari posisinya. Mengabaikan jemarinya yang terluka dan masih mengeluarkan darah, ia lebih takut mendapat hukuman tidak masuk akal lagi dari lelaki di hadapannya yang tampak sangat murka itu. “Siap
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas