"Puzzle?" gumam Anjas setelah melihat sebuah puzzle di atas meja. "Punya siapa ini?" "Punyaku, Mas." Nasya tiba-tiba muncul dengan snack dan beberapa makanan yang lainnya berada di tangan miliknya. "Aku mencoba mempertahankan ingatanku," ucap Nasya yang semakin membuat Anjas tidak senang. "Apa maksud kamu, Nasya? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Memangnya siapa yang ngasih tahu kamu soal ini, ha?" Nasya lalu mengangkat pandangannya ketika dia sudah duduk di atas sofa, menatap sang suami dan berkata, "Ini terapi Mas, aku lihat catatan aku di lemari kalau puzzle bisa membantu mempertahankan daya ingat. Aku tidak tahu kapan aku tulis catatan itu. Jadi setelah aku baca mungkin saja aku langsung pesan di olshop. Kurirnya udah datang tadi, tapi aku bahkan tidak ingat kapan aku pesan puzzle ini seandainya nggak ada catatan di lemari." Nasya siap-siap membuka puzzle yang baru didapatkannya itu, kurir juga baru saja datang ke rumah dan saat itu Nasya bahkan tidak ingat bahwa memesan puz
Ruangan sejuk nan rapi, dengan dinding cream yang terang dan pria berjas hitam duduk di belakang meja. Matanya fokus ke depan ke arah layar komputernya, dia di sini memandangi semuanya.Ya dia sudah bekerja sama dengan ayah Nasya untuk memasang kamera tersembunyi di rumah itu sehingga Jaka bisa memantau apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang dilakukan oleh Nasya di dalam rumah itu. Serta akan banyak bukti untuk melawan Anjas nanti, satu-satunya hal yang diinginkan Jala saat ini adalah mendapatkan Nasya dan bagaimana Nasya bisa berpisah dengan Anjas. Dia juga melakukan apa pun agar dia tahu jadwal Anjas, kapan dia keluar dan kapan Anara tidak berada di rumah sehingga Nasya hanya sendirian di rumah itu. Hal itu tentu diharapkan oleh Jaka dan semua aktivitas sudah tertulis di kertas-kertas yang terlihat rapi di atas meja Jaka si pengusaha sukses. "Jadi ini yang kamu lakukan Anjas, ini yang kamu lakukan kepada Nasya?" Jaka sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dan pada akhirnya dia be
Lihat mereka berdua, berada di pantai dan jujur saja Nasya tampak jauh lebih segar, dia keluar rumah dengan kepala yang kosong dan sekarang kebebasan terasa sangat jelas baginya. Kedua kelopak mata itu menatap ke arah barat di mana matahari akan segera terbenam, dan tatapan itu merasakan kelegaan yang sempurna ini adalah terapi yang diberikan oleh Jaka. Banyak sekali kenangan Jaka dan Nasya di pantai yang mereka saat ini kunjungan, kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh Jaka, dan Nasya mungkin sudah melupakan momen itu. Tatapan Nasya mengarah ke barat sementara Jaka mengarah kepada Nasya. Dia menatapnya dengan ketulusan sempurna dan hanya ingin menatap wajah itu untuk sisa hidup Jaka. "Aku ... Berharap kamu masih ingat semua ini, pantai, angin, hari, dan bagaimana aku menatap mu, Nasya." Lalu Nasya yang masih merasakan angin laut itu memalingkan pandangan kepada Jaka, dia menatap Jaka dengan tatapan yang tulus pula. "Aku tidak apa yang Anjas lakukan padaku, sehingga aku mau iku
"Mas Jaka ...." Nasya menyandarkan diri di sandaran pintu mobil, saat ini mesin mobil sudah dinyalakan dan mereka akan segera melakukan perjalanan pulang. "Iya?" "Aku sepertinya sudah lupa bagaimana aku bertemu kamu, mas. Bagaimana semua ini terjadi, bagaimana aku berkahir seperti ini."Suara itu melemah dan Jaka tentu ingin menceritakan semuanya, dan bagaimana semua itu dimulai. "Sangat panjang dan singkat, panjang jika dijelaskan tetapi terlalu singkat untuk aku rasakan, aku dengan kamu, Nasya. Hubungan kita terlalu singkat." Nasya yang merasa sangat penat, dan juga berpikir bahwa perjalanan mereka masih jauh dari pantai ke rumah. "Aku punya beberapa menit, untuk Mas Jaka menceritakan semuanya. Mungkin dengan cerita itu, aku bisa mempertahankan ingatanku lebih lama." Mendengarkan cerita memang cukup ampuh dalam mempertahankan ingatan, karena dengan terus mengikuti alur ceritanya maka Nasya bisa terus mengingat apa yang terjadi. "Baiklah akan aku ceritakan semuanya, saat perta
Semuanya terus terjadi, Nasya berusaha untuk terus menerus mengingat dan melatih ingatannya, Anjas yang tidak lagi sering berada di rumah dan hanya berada ketika malam dan pagi saja, membuat Nasya lebih leluasa untuk memulihkan ingatannya, walaupun memang sangat sulit untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, atau bahkan saat ini memang belum ditemukan obat untuk penyakitnya. Bagaimana dengan Anara, apa dia berada di rumah, Anara hanya ada di rumah pada pagi dan siang, ketika sore, Anara menghilang dan Nasya ditinggalkan sendirian di rumah itu, hanya dia dan ingatan yang terus menghilang, atau ingatan yang perlahan kini kembali, satu persatu. Lalu bagaimana cara Nasya melakukan terapi? Dokter Afia menyarangkan untuknya membaca buku atau menonton film misteri, yang membutuhkan sebuah ingatan yang lebih kuat. Dan juga bermain teka-teki, walaupun kadang itu sangat menyiksanya, bagaimana tidak, jika dia berusaha untuk terus mengingat maka dia akan pusing dan jika memaksakan pikirann
Aku merasakan air mataku menetes membasahi pipiku, taruman yang begitu jelas, dosa yang begitu mutlak, mereka bercumbu di hadapanku tanpa sadar bahwa aku pasti akan sembuh. Nasya terus mengerang dan Anjas terus memberikan Nasya alasan untuk mendesah, terus menerus, dan mata ku satu, mataku merasa lelah, telingaku akan segera meledak. Bagaimana Anjas melakukan ini semua? Kepadaku dan kepada calon anaknya? Bagaimana dia bisa meremehkan ingatanku? Bagaimana dia menganggap bahwa aku tidak akan mengingat semuanya? "Mas Anjas, Anara ... Tolong hentikan, tolong hentikan!" Aku memohon dengan tubuh gemetar dan mematung, kalian tidak akan bisa membayangkan rasa sakit ku, air mata ku, dan kekejaman ini, bagiamana ... Bagiamana aku bisa melewati kejahatan ini? "Lupakan mbak Nasya ... Akh akh akh, Mas, ya ... Argh, lupakan bahwa dia ada di sini Aaaa!" Kedua kaki Anara berada di leher Anjas, dan dia terbaring di atas sofa, tepat di hadapanku, di hadapan wanita yang sedang hamil ini. Nafas Anja
Dia takut dan gemetar setelah membaca catatannya sendiri, air matanya tak berhenti mengalir, Nasya betul-betul dihantui dengan tulisan yang dia miliki sendiri. Entah apa yang telah dia lalui selama ini sehingga dia mengalami depresi yang membuat dia kehilangan ingatannya. Entah bagaimana dia akan mengabaikan apa yang telah terjadi padanya. Entah apa yang akan dia lakukan. Seberapa kali dia membaca catatan yang dia tulis tapi untuk saat ini, dia tidak ingin menemukan catatan itu lagi sehingga hal yang dilakukan Nasya adalah menyobek catatan itu dan memasukkannya ke tempat lain, dia merasa jika Anjas mengetahui semua itu dan membacanya maka dia mungkin akan berada dalam masalah. Lagi pula hal yang ditakuti oleh Nasya saat ini adalah kehilangan Anjas, karena dia sedang mengandung dan tinggal beberapa bulan lagi atau tidak cukup tiga bulan dia akan melahirkan. Dia mungkin bisa menceraikan Anjas setelah dia melahirkan atau bisa meninggalkan suaminya itu setelah nifas. Dia tidak bisa te
Roy, dia adalah salah satu guru yang mengajar di sekolah tempat Nasya mengajar sebelumnya. Dia memiliki usia yang lebih muda dari Nasya, sedikit lebih muda. Dia juga punya kedekatan dengan Nasya tetapi Nasya tidak terlalu menyukainya. Alasan Nasya tidak menyukai Roy tentu saja adalah sifat genitnya dan selalu menganggu Nasya. Dia bukan tipikal orang yang sopan dan selalu mencari kesempatan untuk bersama Nasya, atau sendirian bersama Nasya. Mungkin cukup aneh kenapa pemuda sepertinya begitu tertarik dengan seniornya sendiri, yang tentu saja dia tahu bahwa Nasya adalah wanita yang sudah bersuami. Tetapi Roy terus saja mendekatinya. Semenjak masih mengajar, Nasya sering kali membantu Roy dan mungkin karena itu lah Roy berpikir bahwa Nasya menyukainya. Sayangnya ketika Roy menunjukkan kedekatannya dan sifat genitnya pada Nasya membuat Nasya semakin menjauh dan tidak suka kepadanya. Dan saat ini, Roy tengah berdiri di hadapan bingkai pintu rumah milik Nasya dan Anjas sambil tersenyum.
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa