Rara sedang berada di perjalanan untuk kembali ke kota. Dia sengaja mencari jadwal Bus paling pagi, agar segera pergi dari rumah Ibunya. Nanti sore saat sampai di kota, Rara harus segera pergi ke butik untuk mencoba gaun pengantinnya.
Mama mertuanya memilih untuk memesan gaun pengantin baru untuk Rara. Beliau tidak mau Rara menggunakan gaun yang sudah pernah dipakai orang lain sebelumnya. Rara sangat bersyukur, karena meskipun Joe tidak memperlakukannya dengan baik, setidaknya orang tua Joe sangat menyayangi Rara.
Saat masih di perjalanan, Rara mengirimkan pesan pada Joe. Dia mengingatkan Joe untuk menemaninya ke butik. Namun, dia kembali dibuat kesal oleh balasan pesan dari Joe.
[Pergi saja sendiri, jangan manja! Kamu belum menjadi istriku, jadi aku tidak harus mengantarmu! Naik taksi saja!]
Rara hanya bisa menghela nafas saat membaca pesan dari Joe. Dia enggan membalas pesan dan berdebat dengan cslon suaminya. Rara memilih untuk kembali memasukkan ponselnya kedalam tas.
***
“Rara, Mama dengar Joe ada pekerjaan penting sore ini. Jadi, biar Mama yang menemanimu ke butik, ya,” ujar mama Joe yang menelepon Rara saat dia sedang bersiap untuk pergi ke butik.
“Tidak usah, Ma. Biar Rara pergi sendiri naik taksi,” jawab Rara lembut. “Jangan menolak, Ra. Mama sekalian ingin jalan-jalan denganmu.” “Baiklah, Ma. Terimakasih.” “Sebentar ya, Mama akan segera menjemputmu.”“Wah, Joe memang jago dalam berpura-pura,” gumam Rara, saat Mama Joe sudah mematikan sambungan teleponnya.
Rara mengutuk Joe dalam hati. Dia berharap bertemu dengan Joe dan kekasihnya saat berjalan-jalan nanti, agar mamanya tahu kelakuan Joe yang menyebalkan itu.
***
Rara sudah selesai mencoba gaun pengantin yang akan dipakai saat pernikahannya nanti. Mama Joe sangat senang, karena Rara terlihat sangat cantik mengenakan gaun pengantin pilihannya. Beliau bilang bahwa Joe sangat beruntung mendapatkan Rara sebagai calon pengantinnya. Meski senang mendengarnya, jauh di dalam lubuk hati, Rara ingin mendengar ucapan itu dari Joe.
Rara dan Mama Joe pergi ke salah satu mall terbesar di kota. Mama Joe membelikan banyak sekali pakaian baru untuk Rara. Tidak hanya pakaian, beliau juga membelikan beberapa sepatu dan tas untuk Rara.
Dari kejauhan, Joe dan Clay melihat keberadaan mereka. Joe segera menarik Clay ke arah yang berlawanan, agar mamanya tidak melihat Joe.
“Jadi, itu tadi calon istri kamu?” tanya Clay dengan wajah cemberut.
“Iya, namanya Rara.” “Cantik, ya.” “Kamu jauh lebih cantik dibanding Rara, Sayang,” Joe menggenggam erat tangan kekasihnya. “Dia beruntung, bisa akrab dan pergi belanja dengan Mama kamu.” “Sayang, jangan membuatku semakin merasa bersalah," ucap Joe memohon pada kekasihnya.***“Kamu pasti senang kan, Mama membelikanmu barang sebanyak itu?!”
“Joe! Tolong jangan keterlaluan! Aku tidak pernah meminta untuk diberi banyak barang!” “Kamu memang tidak meminta, tapi aku tahu kamu berharap untuk itu! Tidak usah malu, lagi pula hanya aku yang tahu,”Rara tidak habis pikir dengan sikap Joe. Bukannya minta maaf karena kemarin dia tidak mengantar Rara, tapi malah kalimat menyakitkan yang dia lontarkan. Rara sudah banyak mengalah padanya, bahkan hari ini mereka baru mencari cincin pernikahan karena tingkah Joe yang selalu mencari alasan untuk tidak pergi membeli cincin bersama Rara.
“Biar aku pulang sendiri saja, aku akan naik taksi,” ujar Rara setelah selesai membeli cincin pernikahan.
“Baguslah, aku jadi tidak perlu mengantarmu!” Joe tersenyum sinis ke arah Rara.Joe pergi begitu saja meninggalkan Rara. Rara bahkan sudah mulai terbiasa dengan sikap Joe yang ketus.
Rara berjalan ke arah cafe dekat toko perhiasan, karena berjanji akan menemui Brian di sana. Rara melambaikan tangan pada Brian, segera setelah dia melihat sahabatnya duduk sendiri dengan dua minuman di atas meja. Rara mempercepat langkahnya dan segera menyapa Brian.
“Sudah menunggu lama?”
“Tidak, baru saja sampai,” jawab Brian lembut. “Aku ingin memberikan undangan pernikahanku,” ujar Rara sambil menyodorkan undangan pernikahan. “Selamat ya, Ra. Akhirnya kamu benar-benar akan menikah,” ujar Brian sambil tersenyum miris. “Terimakasih, Brian. Tolong pastikan kamu datang ke pernikahanku, ya.”Brian membuka undangan pernikahan Rara, lalu tiba-tiba wajahnya berubah. Dia tampak serius dan senyumnya hilang.
“Kenapa, Brian?”
“Ka-kamu... menikah dengan Joe Arthur dari JP corp?!” “Kamu mengenalnya?” “Dia sepupuku, Ra.” “Benarkah? Wah dunia benar-benar sangat sempit, ya. Kita bahkan akan menjadi saudara!” “Jadi, laki-laki yang kamu sukai, adalah Joe?”Rara mengangguk sembari tersenyum untuk menutupi kebohongannya.
“Kenapa kaget begitu?” tanya Rara.
“Ah, tidak. Aku hanya tidak menyangka kamu mengenalnya.”Brian tahu, Joe bukan orang yang baik. Brian bahkan tahu, bahwa Joe menjalin hubungan dengan Clay. Dia bahkan sempat berpapasan dengan mereka beberapa hari lalu. Brian tidak mengerti, mengapa Joe menikahi Rara yang bukan kekasihnya?
***
Hari pernikahan pun tiba. Rara tampak cantik dengan riasan dan gaun pengantin yang dipakainya. Dia duduk sambil menunggu acara dimulai dengan sangat gugup dan berdebar. Dari kejauhan, Rara melihat Brian berjalan mendekat dan tersenyum padanya.“Selamat ya, Ra.”
“Terimakasih, Brian.”Rara tersenyum sangat manis. Brian menatap Rara lekat dan membalas senyuman Rara. Tak lama, Joe datang dan menghampiri Rara di kursinya.
“Brian? Sedang apa disini?”
“Ah, aku sedang mengucapkan selamat pada Rara.” “Kalian saling mengenal?” “Iya, aku dan Brian sudah bersahabat sejak lama,” jawab Rara. “Aku akan keluar dan bergabung dengan keluarga yang lain. Selamat ya, Joe.”Brian menepuk pundak Joe, kemudian segera keluar.“Wah, aku tidak tahu kalau kamu ternyata lumayan genit,” ucap Joe saat Brian sudah meninggalkan mereka berdua.
“Joe! Apa maksudmu?! Tolong jangan merusak suasana hari ini!” “Kamu menempel pada Brian karena kamu tahu dia kaya, kan?” “Joe! Tolong henti—“Belum sempat Rara menyelesaikan kalimatnya, Mama Joe datang dan tersenyum saat melihat penampilan Rara.
“Wah, Rara cantik sekali. Mama sampai pangling," puji mama Joe sambil tersenyum.
“Terimakasih, Ma,” Rara tersenyum hangat. “Pilihan Joe memang tidak pernah salah kan, Ma. Lihat saja, sekarang Joe memberikan Mama menantu yang sangat cantik dan baik.”Aduh! Mendengar perkataan Joe, Rara rasanya ingin muntah! Dia seharusnya menjadi aktor, bukan pengusaha!
“Setelah ini, tolong berikan Mama cucu yang cantik dan tampan, ya.”
Rara dan Joe saling menatap, mereka bingung bagaimana harus menanggapi. Pernikahan ini hanya pura-pura. Bagaimana bisa Joe dan Rara memberikan cucu untuk orang tua Joe?“Oh, maafkan mama. Kalian belum siap membicarakan hal ini, ya?" ujar Mama Joe menggoda mereka. "Baiklah, mama pergi menemui tamu undangan dulu, ya."
“Jangan harap kamu bisa mendapat keturunan dariku!” ujar Joe saat mamanya menjauh pergi.
“Joe, boleh aku bertanya?”Joe tidak menjawab dan hanya melihat sinis ke arah Rara. Susana hatinya sedang buruk harı ini, dia ingin kabur dan menemui Clay.
“Kenapa kamu memilih untuk menikahiku?”
“Karena papa tidak suka pada Clay! Dia menyuruhku mencari istri yang baik dan kebetulan aku bertemu denganmu hari itu!” “Tapi, kenapa? Kenapa kamu buru-buru menikahiku tanpa saling mengenal?” “Raja tidak akan naik tahta tanpa seorang Ratu. Kalau aku tidak segera menikah, Papa akan memberikan perusahaan pada Brian yang tidak tahu diri itu!”Tangan Rara mengepal mendengar ucapan Joe. Dia hampir menangis sekarang, namun harus menahannya. Sepertinya, memang tidak akan ada kebahagiaan dalam pernikahan ini, kan?
Rara menatap foto pernikahan yang tergantung di dinding rumahnya. Dia tampak bahagia dalam foto itu. Meskipun, sebenarnya kebahagiaan itu adalah sebuah kebohongan.Setelah menikah, papa mertuanya membelikan Rara dan Joe sebuah rumah yang sangat mewah. Meski mertua Rara sangat memanjakannya, dia menolak untuk diberi pembantu rumah tangga, karena tidak terbiasa untuk dilayani. Rara memilih mengerjakan semuanya sendiri.Pagi ini, Rara memasak untuk sarapan. Sepertinya, Joe menyukai masakan Rara. Dia selalu tampak lahap saat makan bersama istrinya itu. Meski begitu, dia tidak pernah sekali pun memberi kalimat pujian pada Rara. Suasana Rumah selalu dingin dan tidak pernah ada percakapan di meja makan. “Jangan menungguku malam ini, aku pasti pulang malam karena akan mampir ke rumah Clay,” ujar Joe sambil beranjak dari kursinya untuk berangkat ke kantor.Rara hanya mengangguk pasrah. Dia tidak bisa menghentikan Joe, karena Rara tahu, dia lah orang ketiga dalam hubungan ini. Rara belum pern
“Pasti kamu senang kan, bertemu Brian?” “Joe, please. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu.”Rara berjalan masuk ke kamarnya tanpa memperdulikan Joe. Brak! Joe tiba-tiba membuka pintu kamar Rara dengan kasar. “Joe! Kamu harus mengetuk pintu sebelum membukanya!” teriak Rara yang sudah merasa sangat geram. “Aku tidak perlu meminta ijin darimu untuk melakukan apapun! Apalagi hanya untuk membuka pintu!”Rara menarik nafas panjang, dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Sejak pagi, Joe membuatnya sangat kesal. “Untuk apa kamu datang ke kamarku?” “Berikan aku keturunan!” “Apa?! Kamu sudah gila?!” “Kenapa?! Kamu kan, istriku! Sudah sepantasnya kamu memberiku keturunan!” “Tapi kamu sudah berjanji tidak akan menyentuhku!” “Apakah ada bukti tertulis untuk itu?!”Rara menggelengkan kepalanya, tak percaya pada ucapan Joe yang baru saja dia dengar. Bagaimana bisa dia melanggar janjinya sendiri? Harusnya sejak awal Rara tahu, bahwa Joe memang tidak bisa dipercaya. “Kenapa
Rara sedang duduk di ujung sofa depan TV dan menonton acara yang dia sukai. Saat dia fokus menonton TV, Joe tiba-tiba datang dan berbaring di pangkuan Rara. Rara paham, Joe melakukannya agar Mama Joe melihat anaknya bersikap baik dan manis pada Rara. “Sampai kapan kita akan disini?” tanya Rara sambil mengusap pelan kepala Joe. “Besok pagi kita akan pulang ke rumah.”Joe memang tidur di pangkuan Rara, namun tangan dan matanya sibuk pada ponsel yang sedang dia mainkan. Rara sedikit mengintip ponsel Joe, dan menyadari bahwa suaminya sedang berkirim pesan dengan Clay, kekasihnya. Rara mendengus pelan, bertanya-tanya kapan Joe akan mengakhiri hubungannya dengan Clay. “Kita pulang malam ini saja, Joe.” “Kenapa?” Tanya Joe sambil menatap sebal ke arah Rara. “Tidak apa-apa. Hanya saja, aku ingin pulang malam ini.” “Baiklah kalau itu maumu.”Joe menuruti keinginan Rara tanpa perdebatan kali ini. Sebenarnya, Rara lebih suka berada di rumah mertuanya, tetapi dia lelah harus terus ber
Sinar matahari mulai masuk dan membangunkan Rara dari tidurnya. Rara tersenyum menatap suaminya yang smasih tertidur pulas disampingnya. Dia tersenyum saat mengingat percakapannya dengan Joe semalam. Meskipun Joe belum mau mengakhiri hubungannya dengan Clay, setidaknya Rara tahu, Joe juga memikirkan Rara. Saat mulai beranjak untuk memasak, Rara melihat ponsel Joe yang berdering di atas nakas. [Sayang, kamu akan menjemputku untuk makan siang, kan?]Rara tersenyum miris membaca pesan masuk dari Clay itu. Sepertinya, ucapan Joe semalam tidak akan merubah apapun diantara mereka. Rara memilh mengabaikan pesan tersebut dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. “Kamu sudah bangun dari tadi?” Terdengar suara Joe yang sedang berjalan ke arah dapur. “Iya... Aku kan, harus memasak makanan untuk kita sarapan.” “Aku pergi mandi dulu, ya.”Mendengar ucaapan Joe, Rara hanya mengangguk dan tersenyum. Rara senang, karena hari ini Joe memulai percakapan santai dengannya untuk pertama
“Yang benar, Dok? Istri saya hamil?” “Benar, Pak. Usia kandungan Istri anda baru menginjak tiga minggu. Selamat, ya, Bapak dan Ibu,” dokter memberikan hasil pemeriksaan pada Joe dan Rara, “Karena ini adalah kehamilan pertama dan usia kandungan masih sangat muda, tolong lebih berhati-hati dan jangan sampai kelelahan, ya.” “Terimakasih banyak, Dok,” ucap Rara sembari tersenyum. Joe tampak sangat bahagia, dia segera memeluk Rara setelah keluar dari ruangan Dokter. “Terimakasih, Ra. Terimakasih karena kamu memberikan hadiah yang sangat berharga untukku,” ucap Joe yang masih memeluk Rara. “Joe...” Rara memanggil Joe lembut. “Hmm?” Joe melepas pelukannya dan menatap Rara sembari tersenyum. “Aku tidak akan lagi memintamu untuk meninggalkan Clay. Tapi, bisakah kamu setidaknya meluangkan lebih banyak waktu untukku?” “Tentu saja,” Joe tersenyum lembut dan membelai rambut Rara. Saat hendak pulang dari rumah sakit, Joe segera menelepon Mamanya dan memberi kabar bahwa Rara s
Hari ini Rara bertemu dengan Brian. Mereka bertemu saat makan siang di dekat perusahaan milik papa Joe. “Hai, Ra,” sapa Brian saat melihat Rara yang sudah duduk menunggunya. “Kamu naik apa ke sini?” “Tadi aku naik taksi, Brian.” “Ah, Joe memang benar-benar tidak berguna, ya.” “Dia tidak seburuk itu, kok.” “Iya, iya... tidak perlu membela suamimu terang-terangan di depanku,” Brian tersenyum sembari menggeleng pelan, “Kenapa mengajakku bertemu?” “Karena kamu temanku satu-satunya,” ucap Rara sambil tertawa. “Kita benar-benar tidak bisa lebih dari sekedar teman, ya,” balas Brian menggoda Rara. “Brian! Hentikan atau kamu akan kuhajar habis-habisan!” Rara mencubit lengan Brian dan mereka tertawa bersama.Saat sedang bercanda, ponsel Rara berdering dan tertulis nama Joe di layarnya. “Halo, Joe. Ada apa?” “Kamu sudah makan siang?” tanya Joe diujung telepon. “Aku sedang makan siang sekarang, bersama Brian.” “Brian? Kamu sedang bersamanya?” “Iya, Joe. Aku
“Joe! Tolong jangan kasar!” teriak Clay yang sekarang sudah berada di dalam mobil Joe.Joe tidak menanggapi perkataan kekasihnya, lalu segera memacu mobilnya. “Kita mau kemana?” tanya Clay. “Ke rumahku!” “Apa kamu sudah gila, Joe? Bagaimana dengan Rara?” “Biar aku yang menjelaskan padanya!”Clay hanya diam dan pasrah. Dia tidak mengatakan apapun, sampai mereka tiba di tempat tinggal Joe dan Rara. Joe segera menarik Clay dan membawanya masuk ke dalam. “Joe! Lepaskan!” rintih Clay, “Tolong, bicaralah baik-baik!” “Baiklah. Jelaskan! Siapa pria tadi?” “Dia teman dekatku, namanya Sean.” “Teman dekat? Kenapa aku tidak pernah tahu bahwa kamu memiliki teman dekat?!” “Joe, sudahlah! Dia hanya temanku!” “Teman macam apa? Kenapa kalian berada di rumahmu malam-malam begini?! Apa yang kalian lakukan?!” “Dia hanya mampir setelah pulang kerja, Joe. Kami tidak melakukan apa-apa.” “Jangan bohong. Kamu tidur dengannya, kan?!PLAK!! Clay menampar pipi Joe dengan sanga
Brian menggendong Rara masuk ke dalam mobilnya, lalu segera memacu mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Brian mencoba menghubungi Joe, namun sama sekali tidak ada jawaban.Sampai di rumah sakit, Rara segera ditangani oleh Dokter. Brian menunggu di depan ruangan dengan perasaan cemas. Setelah menunggu beberapa saat, Dokter keluar dan memanggil Brian. “Apakah anda suami dari Ibu Rara?” tanya Dokter yang menangani Rara. “Bukan, Dok. Saya adalah kerabatnya.” “Dimana suaminya? Saya harus segera berbicara dengannya.” “Suaminya belum bisa datang karena ada yang sedang diurus, Dok. Bisakah Dokter berbicara pada saya?” “Baiklah. Silahkan ikut ke ruangan saya.”Brian mengikuti dokter ke ruangannya, lalu berbincang dengan beliau. Wajahnya tampak serius mendengarkan setiap perkataan dokter. “Apa tidak ada jalan lain, Dok?” tanya Brian. “Untuk saat ini, yang saya katakana tadi adalah jalan keluar terbaik, Pak.”Setelah mendapat penjelasan tentang kondisi Rara, Brian
Dokter menjahit telapak kaki Clay yang robek, sedangkan Joe dengan sabar menenangkan Clay yang masih meringis kesakitan. Tak henti-hentinya Joe menggenggam tangan Clay dan mengusap lembut kepalanya.Setelah selesai, mereka lalu pulang ke rumah Clay. Sesampainya di sana, Joe segera menggendong Clay masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di ranjang. "Aku akan pulang sebentar untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu, aku akan kembali sebelum berangkat ke kantor dan membawakan sarapan untukmu," ujar Joe sembari mengusap halus pipi Clay. "Baiklah, Joe. Aku akan menunggu."Joe pun beranjak dan melajukan mobilnya untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Joe sangat frustasi memikirkan tentang bagaimana dirinya akan mengurus Clay selama dia sakit. Joe tidak mungkin berkata jujur pada Rara, lalu membuatnya terluka lagi.Tak lama kemudian, Joe pun sampai di rumah. "Joe? Kamu dari mana?" tanya Rara yang melihat Joe masuk. "Ah, tadi aku sedang ada sedikit masalah. Jadi aku pergi u
Joe baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Clay yang sedang memengang ponsel miliknya. “Sayang? Kamu sedang apa?” tanya Joe. “Ah, aku hanya melihat-lihat isi galerimu,” jawab Clay berbohong. “Kemari Joe, aku ingin memelukmu.” Joe tersenyum gemas, lalu memeluk kekasihnya. “Kenapa kamu manja sekali, sih?” “Kenapa? Kamu tidak menyukainya?” “Suka, kok. Aku menyukai apapun yang ada padamu.” Clay tersenyum manis, lalu menyentuh kedua pipi Joe dengan tangannya. Dia menatap mata Joe lekat, lalu mencium bibir Joe dengan sekali kecupan. Joe tersenyum senang, kemudian mulai mencium Clay. Dia mengulum bibir ranum milik kekasihnya, lalu menggendong Clay menuju kamar tanpa melepas ciumannya. Joe menidurkan Clay di ranjang, lalu menahan tubuh mungil kekasihnya di bawah kungkungannya. Dia mencium Clay dengan intens, dan mulai turun ke leher hingga dada Clay. Tanpa sadar, Clay mulai melenguh pelan. Disaat yang bersamaan, Joe mendengar ponselnya terus berdering. Joe langsung m
Joe kembali ke ruangannya dan melihat Clay tertunduk lesu di kursi. Dia mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri Clay. Joe pun duduk dihadapan Clay, lalu mengusap pipinya lembut. Clay menatap Joe sendu, “Joe, apa kamu akan meninggalkanku?” “Tentu tidak, Clay. itu tidak akan pernah terjadi.” “Lalu kenapa kamu sulit sekali dihubungi? Kamu bahkan meninggalkanku untuk mengejar Rara barusan.” “Sayang, Rara sedang sedih karena baru saja kehilangan janinnya. Keadaannya belum stabil, aku harus lebih sering menemaninya.” “Apa sekarang kamu mulai mencintainya?” tanya Clay dengan mata berkaca-kaca. Joe menatap Clay sendu, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan. “Joe? Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Clay sekali lagi. “Clay, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Aku masih mencintaimu, akan selalu begitu.” Entah apa yang harus dikatakan Joe untuk menenangkan Clay. Saat ini, Joe hanya bisa memeluk dan meyakinkannya bahwa perasaan Joe tidak akan pernah berub
Sudah satu minggu Joe menemani Rara. Dia benar-benar menepati janjinya, meluangkan banyak waktu untuk Rara dan mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah. Bahkan, Joe membuat sekertarisnya harus mondar-mandir dari kantor ke rumah Joe, untuk menyerahkan berkas penting atau sekedar meminta tanda tangan darinya. Selama di rumah, Joe benar-benar berubah. Dia sangat perhatian pada Rara, dan mencurahkan semua waktunya untuk Rara.Hari sudah mulai petang, Rara dan Joe sedang menonton film. Rara bersandar pada bahu Joe, sementara Joe merangkul Rara. Mereka sama-sama larut pada adegan demi adegan dalam film tersebut. Tiba-tiba, ponsel Joe berdering. Terlihat Clay meneleponnya berkali-kali, namun Joe enggan menjawabnya. Joe bahkan mematikan ponselnya, kemudian kembali fokus pada film. Rara menghela nafas, dia merasa sedikit bersalah pada Clay. “Berhenti menonton, aku mengantuk,” ucap Rara sambil beranjak pergi. “Masih pukul 8, benarkah kamu sudah mengantuk?” tanya Joe yang mengikuti R
Rara terbangun dari tidurnya. Aroma obat-obatan dan suasana rumah sakit masih harus Rara rasakan hari ini. Dia belum diperbolehkan untuk pulang, karena dokter bilang Rara kekuarangan cairan yang membuatnya harus diinfus lebih lama.Pintu ruang inap Rara terbuka, terlihat seorang perawat yang masuk membawakan Rara sarapan. “Selamat pagi, Bu. Sarapannya segera dimakan, ya,” ucap perawat dengan ramah. “Baik, sus. Terimakasih,” Rara membalas senyumannya, lalu perawat tadi meninggalkan ruangan Rara.Tak lama, pintu kembali terbuka. Kali ini Brian yang datang. Dia bergegas menghampiri Rara, saat melihat Rara sedang berusaha meraih gelas yang terletak di nakas. “Biar aku bantu,” ucap Brian. “Terimakasih, Brian. Kamu tidak pergi ke kantor?” “Aku akan pergi ke kantor setelah memastikan kamu menghabiskan sarapanmu dan meminum obatmu.” “Aku bukan anak kecil!” seru Rara sembari berdecak kesal.Brian tertawa dan mengusap kepala Rara gemas. Brian menemani Rara makan sambil sesekal
Brian menggendong Rara masuk ke dalam mobilnya, lalu segera memacu mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Brian mencoba menghubungi Joe, namun sama sekali tidak ada jawaban.Sampai di rumah sakit, Rara segera ditangani oleh Dokter. Brian menunggu di depan ruangan dengan perasaan cemas. Setelah menunggu beberapa saat, Dokter keluar dan memanggil Brian. “Apakah anda suami dari Ibu Rara?” tanya Dokter yang menangani Rara. “Bukan, Dok. Saya adalah kerabatnya.” “Dimana suaminya? Saya harus segera berbicara dengannya.” “Suaminya belum bisa datang karena ada yang sedang diurus, Dok. Bisakah Dokter berbicara pada saya?” “Baiklah. Silahkan ikut ke ruangan saya.”Brian mengikuti dokter ke ruangannya, lalu berbincang dengan beliau. Wajahnya tampak serius mendengarkan setiap perkataan dokter. “Apa tidak ada jalan lain, Dok?” tanya Brian. “Untuk saat ini, yang saya katakana tadi adalah jalan keluar terbaik, Pak.”Setelah mendapat penjelasan tentang kondisi Rara, Brian
“Joe! Tolong jangan kasar!” teriak Clay yang sekarang sudah berada di dalam mobil Joe.Joe tidak menanggapi perkataan kekasihnya, lalu segera memacu mobilnya. “Kita mau kemana?” tanya Clay. “Ke rumahku!” “Apa kamu sudah gila, Joe? Bagaimana dengan Rara?” “Biar aku yang menjelaskan padanya!”Clay hanya diam dan pasrah. Dia tidak mengatakan apapun, sampai mereka tiba di tempat tinggal Joe dan Rara. Joe segera menarik Clay dan membawanya masuk ke dalam. “Joe! Lepaskan!” rintih Clay, “Tolong, bicaralah baik-baik!” “Baiklah. Jelaskan! Siapa pria tadi?” “Dia teman dekatku, namanya Sean.” “Teman dekat? Kenapa aku tidak pernah tahu bahwa kamu memiliki teman dekat?!” “Joe, sudahlah! Dia hanya temanku!” “Teman macam apa? Kenapa kalian berada di rumahmu malam-malam begini?! Apa yang kalian lakukan?!” “Dia hanya mampir setelah pulang kerja, Joe. Kami tidak melakukan apa-apa.” “Jangan bohong. Kamu tidur dengannya, kan?!PLAK!! Clay menampar pipi Joe dengan sanga
Hari ini Rara bertemu dengan Brian. Mereka bertemu saat makan siang di dekat perusahaan milik papa Joe. “Hai, Ra,” sapa Brian saat melihat Rara yang sudah duduk menunggunya. “Kamu naik apa ke sini?” “Tadi aku naik taksi, Brian.” “Ah, Joe memang benar-benar tidak berguna, ya.” “Dia tidak seburuk itu, kok.” “Iya, iya... tidak perlu membela suamimu terang-terangan di depanku,” Brian tersenyum sembari menggeleng pelan, “Kenapa mengajakku bertemu?” “Karena kamu temanku satu-satunya,” ucap Rara sambil tertawa. “Kita benar-benar tidak bisa lebih dari sekedar teman, ya,” balas Brian menggoda Rara. “Brian! Hentikan atau kamu akan kuhajar habis-habisan!” Rara mencubit lengan Brian dan mereka tertawa bersama.Saat sedang bercanda, ponsel Rara berdering dan tertulis nama Joe di layarnya. “Halo, Joe. Ada apa?” “Kamu sudah makan siang?” tanya Joe diujung telepon. “Aku sedang makan siang sekarang, bersama Brian.” “Brian? Kamu sedang bersamanya?” “Iya, Joe. Aku
“Yang benar, Dok? Istri saya hamil?” “Benar, Pak. Usia kandungan Istri anda baru menginjak tiga minggu. Selamat, ya, Bapak dan Ibu,” dokter memberikan hasil pemeriksaan pada Joe dan Rara, “Karena ini adalah kehamilan pertama dan usia kandungan masih sangat muda, tolong lebih berhati-hati dan jangan sampai kelelahan, ya.” “Terimakasih banyak, Dok,” ucap Rara sembari tersenyum. Joe tampak sangat bahagia, dia segera memeluk Rara setelah keluar dari ruangan Dokter. “Terimakasih, Ra. Terimakasih karena kamu memberikan hadiah yang sangat berharga untukku,” ucap Joe yang masih memeluk Rara. “Joe...” Rara memanggil Joe lembut. “Hmm?” Joe melepas pelukannya dan menatap Rara sembari tersenyum. “Aku tidak akan lagi memintamu untuk meninggalkan Clay. Tapi, bisakah kamu setidaknya meluangkan lebih banyak waktu untukku?” “Tentu saja,” Joe tersenyum lembut dan membelai rambut Rara. Saat hendak pulang dari rumah sakit, Joe segera menelepon Mamanya dan memberi kabar bahwa Rara s