“Aduh, maaf, aku gak--loh, Rara?!”
Deg!
Tuhan ... kenapa dari banyaknya manusia yang kukenal, aku harus bertemu dengan wanita ini, sih? Audy!
“Rara, kamu apa kabar?” sapanya riang. Sambil tersenyum manis seperti biasanya.
“Baik, Kak,” jawabku singkat, juga tanpa minat.
Duh! Kenapa, sih, aku harus ketemu wanita ini di sini? Demi apapun, aku malas sekali bicara lagi dengannya. Sekalipun hanya untuk sekedar basa basi. Aku tak—
“Sayang, aku udah dapet titipan Mama, nih!”
Seakan kurang kejutanku hari ini. Aku pun kembali mendapat kejutan la
Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu, sejak mereka mengetahui keberadaan Kean, mereka pasti akan mulai mengusikku kembali. Bahkan salah satu dari mereka pasti akan menemuiku secara pribadi.Bukannya aku sok PD, atau merasa sok penting sekarang. Namun, mengetahui kenyataan sampai sekarang mereka masih belum juga dikarunia anak, meski sudah sudah hampir lima tahun berumah tangga.Prasangka buruk pun tak urung mulai menghantuiku, seiring dengan pertumbuhan Kean yang semakin mirip ayah kandungnya itu. Karenanya, berbohong tentang kenyataan ayah biologis anak itu makin sulit aku hindari semakin harinya.Ugh ... kenapa pula anakku harus mirip pria galak itu, sih? Apa itu karena saat hamil aku sangat membenci pria itu? Atau, karena anakku ingin mematahkan tuduhan ayahnya tempo dulu.
“Maukah kamu kembali menjadi istri Sean, Ra?”Aku sontak menarik tanganku dari genggaman tangan Kak Audy, saat permintaan itu terucap. Ini tak masuk akal. Tentu saja, bagaimana mungkin dia bisa meminta hal konyol itu dengan lugas seperti itu. Istimewanya, setelah apa yang sudah mereka lakukan padaku. Tentu saja itu tak mungkin aku lakukan. Karena ... Ini benar-benar gila!“Aku tahu ini konyol!” Nah, kan? Dia sendiri mengakui hal itu tanpa harus kuberitahu. “Tapi semua ini demi kebaikan kita, Ra?” Lanjutnya kemudian.“Kebaikan kita? Maksudnya?” tanyaku bingung, karena masih belum bisa menangkap maksud dan tujuan ucapannya barusan. Tepatnya kebaikan siapa saja yang dia maksud? Itu yang ingin aku ketahui.“Iya, kebaikan
“Ken?”“Ya?”“Boleh aku tanya sesuatu?”Aku menatap Ken dengan ragu, saat menikmati makan siang kami hari itu. Ken kadang memang mampir ke Kantorku jika sedang tidak sibuk, dan mengajak aku makan siang, atau sekedar menemani kegiatanku. Dia memang sebaik itu.“Boleh, dong. Tanya apa?” ucap Ken tanpa curiga, seraya menikmati makanannya dengan rakus.Sebenarnya, aku merasa tak enak hati untuk menanyakan hal ini pada Ken. Hanya saja, aku terlanjur penasaran akan satu hal, yang terus menggangguku sejak kemarin. Karenanya, daripada aku tidak bisa tidur memikirkannya, aku sepertinya memang harus meminta kejelasan pada Ken langsung.“
Sebenarnya, setelah mendengar penuturan Aika tentang ‘Mantan Suami’. Aku sangat ingin segera pergi dari tempat ini. Karena aku belum siap bertemu langsung dengan pria galak itu. Namun, karena tak enak pada Kairo dan Aika, aku pun jadi tak berani pamit pergi.Istimewanya, Aika terus saja menggelayutiku dan bilang jika dia kangen ngobrol sama aku. Jadinya, ya aku mana tega meninggalkan dia hanya karena egoku semata. Ken sebenarnya sudah berusaha membantuku untuk bisa pergi segera dari sini, karena aku yakin dia pasti tahu akan ketidaknyamananku.Namun, Aika yang memang sedang sensitif karena hormon kehamilannya itu pun langsung merajuk dan merengek saat Ken mencoba membantuku untuk mencari alasan.Tak ayal, aku pun makin tak tega meninggalkannya, jadi mau tak mau mencoba bertahan sekuat mungkin tetap berad
“Karena Kean ngikutin gue. BAPAKNYA!” sahut Ken jumawa. Namun dengan senyum miris yang dapat kutangkap.Tuhan, ada apa sebenarnya dengan Ken?“Hilih!” Aika mencebik kesal, tetapi sukses membuat aku kembali menegang. Karena takut akan balasan Aika selanjutnya.Kalian tentu tahu, gadis ini kadang sangat ceplas ceplos. Karenanya aku sangat takut dia terbawa emosi dan ....“Sok bener lo, Ken. Ngaku-ngaku aja bisanya.”Deg!Tuhan, aku mohon, jangan sampai Aika keceplosan sekarang!“Kean ‘kan ....”
“Eh? Aduh, Pak? Saya kan udah bilang, tunggu dulu. Kenapa Bapak langsung nyelonong aja, sih?” Anita langsung menghadang Kak Sean. Saat pria itu makin merangsek masuk, membuat pria itu langsung menatapnya kesal. “Awas!” geramnya sambil memberikan kode lewat ekor matanya. “Maaf ya, Pak. Tapi Kantor ini memiliki peraturan dalam menerima tamu. Dan sebagai seorang tamu harusnya Bapak bisa mengikuti prosedur yang kami miliki,” tegur Anita sopan. Namun tak dihiraukan sama sekali oleh Kak Sean. “Kamu itu anak baru kan, di sini? Kamu gak tahu siapa saya. Jadi, kamu jangan lancang!” balas Kak Sean kesal. Sambil menatap Anita dengan galak. “Maaf sebelumnya, Pak. Saya memang anak baru di sini, dan memang belum pernah melihat Bapak s
Mendengar sindiranku barusan, Kak Sean terdiam dengan wajah shock di tempatnya. Dia menatapku dengan tatapan tak terbaca, dan mulai memucat sambil menahan napas. Mungkin, egonya merasa tertampar dengan ucapanku barusan.Namun, pria tak tahu malu ini memang harus aku tegaskan sedari awal. Agar dia tahu posisinya saat ini dan tak berani berharap lagi. Seperti yang pernah aku bilang pada istrinya tempo hari. Kalau soal statusnya sebagai ayah kandung Kean, aku memang tak akan bisa membantah hal itu. Namun, bukan berarti dia bisa seenaknya merasa berhak terhadap Kean atas dasar status itu.Ingat! Bukan aku yang menjauhkan Kean darinya, melainkan dia sendiri yang mendorong pergi dan menyia-nyiakan Kean bahkan sebelum bayiku hadir di dunia ini. Jadi ... aku tidak salah ‘kan ji
“Anita, batalkan semua meeting saya hari ini!”Anita langsung berjengit kaget. Saat aku memberi titah sambil berjalan dengan cepat ke arah mejanya.“Iya, Bu. Kenapa?” tanya Anita refleks.“Batalkan meeting saya hari ini. Karena saya harus segera ke rumah sakit sekarang,” terangku kemudian.“Rumah sakit? Ibu sakit?” tanya Anita lagi.“Bukan saya, tapi Kean.”“Tuan Kean kenapa, Bu?”“Alergi
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash