Keandra Mateen Prameswari. Jagoanku! Putra pertamaku yang lahir dua tahun lalu, melalui proses kelahiran normal. Dia adalah berkah terindah dalam hidupku.
“Mama ....”
“Hey, Jagoan!”
Aku berbalik dengan cepat dan langsung merendahkan tubuh demi menyambut jagoanku, yang kini tengah berlari dengan riang ke arahku. Baby boy yang selalu menggemaskan di mataku.
Hap!
Aku pun menangkap tubuh gempal bocah itu dengan sigap, dan langsung merengkuhnya dalam gendonganku.
“Ugh ... anak Mama makin berat aja, ya? Udah maem nih pasti, iya, kan?”
Aku sebenarnya sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan Keluarga Abdillah. Bagiku mereka hanya orang-orang dari masa lalu, yang tidak harus aku ingat-ingat lagi. Kecuali Mama Sulis tentunya, Karena aku bukan orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun, cukup sampai di sana saja. Aku tak ingin berinteraksi, mencari tahu kabar mereka, apalagi berhubungan dengan mereka lagi.Tidak, aku tidak mau. Hanya saja, kalian tahu dunia ini, kadang seperti selebar daun kelor, kan? Meski luas, tapi pada beberapa orang terasa sempit. Itulah yang aku rasakan.Kenapa? Ya ... karena meski aku sangat ingin menjauh, dan tak ingin berurusan dengan keluarga itu. Semesta malah menghubungkan aku dengan orang yang terhubung dengan mereka.Dokter Kenneth Putra Setiawan. Alias Ken, pria yang sedang dekat denganku, ternyata adalah Dokter kan
Jantungku seperti baru saja melompat ke perut, saat melihat pemandang yang mampu membuat aku langsung tercekat di tempatku, dengan ketakutan yang luar biasa.Sean menggendong Kean! Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa pria itu bisa menggendong putraku senyaman itu? Tidak, Tuhan! Tolong ... jangan sampai terjadi. Aku tidak mau pria itu menyentuh putraku. Aku tidak mau!Pemandangan itu sontak saja membuat aku ketakutan dan terancam jadi campur aduk. Karena, bagaimana jika pria itu mengambil Kean dariku, dan menjauhkanya. Oh, Tuhan. Lebih baik aku mati!Tak ingin terjadi hal yang tak aku inginkan. Aku pun segera berlari ke arah pria itu, berniat menjauhkan Kean darinya dengan cepat. Kean hanya putraku. Hanya putraku. Tidak ada yang boleh mengambilnya dariku!Aku sudah berusaha
Kukira, aku sudah sepenuhnya move on, dan sembuh dari lukaku. Nyatanya, mengetahui aku masih tak ada artinya dalam hidup pria itu, tetap saja masih sesakit ini. Entah ada apa dengan hatiku. Aku juga tidak mengerti. Yang jelas, rasanya sedih dan kembali terpukul dengan kenyataan ini. Apa yang aku harapkan sebenarnya?Bukankah harusnya aku senang. Karena dengan begitu, dia tidak akan pernah mengusik hidupku dan Kean. Lalu ... kenapa? Apa yang sebenarnya kamu inginkan wahai hati? Seingin itukah kau diakui pria itu? Atau ... ini hanya bagian dari egomu? tapi ... kenapa? Kenapa ucapannya begitu membekas padaku seperti ini? Tuhan ... sebenarnya apa yang terjadi padaku?“Sayang, Bunda benar-benar minta maaf, ya? Bunda beneran gak tahu kalau tadi itu—”
“Aduh, maaf, aku gak--loh, Rara?!”Deg!Tuhan ... kenapa dari banyaknya manusia yang kukenal, aku harus bertemu dengan wanita ini, sih? Audy!“Rara, kamu apa kabar?” sapanya riang. Sambil tersenyum manis seperti biasanya.“Baik, Kak,” jawabku singkat, juga tanpa minat.Duh! Kenapa, sih, aku harus ketemu wanita ini di sini? Demi apapun, aku malas sekali bicara lagi dengannya. Sekalipun hanya untuk sekedar basa basi. Aku tak—“Sayang, aku udah dapet titipan Mama, nih!”Seakan kurang kejutanku hari ini. Aku pun kembali mendapat kejutan la
Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu, sejak mereka mengetahui keberadaan Kean, mereka pasti akan mulai mengusikku kembali. Bahkan salah satu dari mereka pasti akan menemuiku secara pribadi.Bukannya aku sok PD, atau merasa sok penting sekarang. Namun, mengetahui kenyataan sampai sekarang mereka masih belum juga dikarunia anak, meski sudah sudah hampir lima tahun berumah tangga.Prasangka buruk pun tak urung mulai menghantuiku, seiring dengan pertumbuhan Kean yang semakin mirip ayah kandungnya itu. Karenanya, berbohong tentang kenyataan ayah biologis anak itu makin sulit aku hindari semakin harinya.Ugh ... kenapa pula anakku harus mirip pria galak itu, sih? Apa itu karena saat hamil aku sangat membenci pria itu? Atau, karena anakku ingin mematahkan tuduhan ayahnya tempo dulu.
“Maukah kamu kembali menjadi istri Sean, Ra?”Aku sontak menarik tanganku dari genggaman tangan Kak Audy, saat permintaan itu terucap. Ini tak masuk akal. Tentu saja, bagaimana mungkin dia bisa meminta hal konyol itu dengan lugas seperti itu. Istimewanya, setelah apa yang sudah mereka lakukan padaku. Tentu saja itu tak mungkin aku lakukan. Karena ... Ini benar-benar gila!“Aku tahu ini konyol!” Nah, kan? Dia sendiri mengakui hal itu tanpa harus kuberitahu. “Tapi semua ini demi kebaikan kita, Ra?” Lanjutnya kemudian.“Kebaikan kita? Maksudnya?” tanyaku bingung, karena masih belum bisa menangkap maksud dan tujuan ucapannya barusan. Tepatnya kebaikan siapa saja yang dia maksud? Itu yang ingin aku ketahui.“Iya, kebaikan
“Ken?”“Ya?”“Boleh aku tanya sesuatu?”Aku menatap Ken dengan ragu, saat menikmati makan siang kami hari itu. Ken kadang memang mampir ke Kantorku jika sedang tidak sibuk, dan mengajak aku makan siang, atau sekedar menemani kegiatanku. Dia memang sebaik itu.“Boleh, dong. Tanya apa?” ucap Ken tanpa curiga, seraya menikmati makanannya dengan rakus.Sebenarnya, aku merasa tak enak hati untuk menanyakan hal ini pada Ken. Hanya saja, aku terlanjur penasaran akan satu hal, yang terus menggangguku sejak kemarin. Karenanya, daripada aku tidak bisa tidur memikirkannya, aku sepertinya memang harus meminta kejelasan pada Ken langsung.“
Sebenarnya, setelah mendengar penuturan Aika tentang ‘Mantan Suami’. Aku sangat ingin segera pergi dari tempat ini. Karena aku belum siap bertemu langsung dengan pria galak itu. Namun, karena tak enak pada Kairo dan Aika, aku pun jadi tak berani pamit pergi.Istimewanya, Aika terus saja menggelayutiku dan bilang jika dia kangen ngobrol sama aku. Jadinya, ya aku mana tega meninggalkan dia hanya karena egoku semata. Ken sebenarnya sudah berusaha membantuku untuk bisa pergi segera dari sini, karena aku yakin dia pasti tahu akan ketidaknyamananku.Namun, Aika yang memang sedang sensitif karena hormon kehamilannya itu pun langsung merajuk dan merengek saat Ken mencoba membantuku untuk mencari alasan.Tak ayal, aku pun makin tak tega meninggalkannya, jadi mau tak mau mencoba bertahan sekuat mungkin tetap berad
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash