Sully melepaskan Wira, tapi tangannya masih mengusap dan membelai. “Biarin aja. Memangnya Mas mau belanja? Ayo … udah nanggung, kan? Nanti mandinya sama-sama,” kata Sully, mencengkeram satu dadanya dan membuat pandangan Wira seketika berpindah ke tempat itu. Wira tak ada mengiyakan. Ia hanya bisa menjawab dengan menunduk dan melumat puncak dada Sully dengan sedikit keras. Sully memeluk lehernya seraya tertawa kecil. Membiarkan ia tenggelam sejenak dengan puncak dada yang selalu membuatnya gemas. Ia lalu menegakkan tubuh. Kali ini dengan wajah sedikit serius. Merapikan rambut Sully dan menuntun mulut wanita itu untuk kembali memanjakannya. Awalnya Wira memejamkan mata menikmatinya. Lalu, ia kembali menunduk dan mengamati bagaimana bibir Sully yang mungil dan penuh melingkari bagian tubuh yang tak pernah dilihat atau disentuh wanita pun selain istrinya itu. Sully mendongak menatapnya. Dua tangannya sudah tak bisa diam begitu saja. Meremas, memijat dan memilin dada Sully seakan memberi
“Sebelum Pak Wira ada tiga atasan yang tinggal di sini. Sepanjang itu juga lama saya bekerja,” jelas Bu Emi.“Wah … udah lama banget berarti. Rumah Ibu dekat-dekat sini, ya? Ke sini naik apa?” tanya Sully. Pertanyaan itu bukan sekedar basa-basi. Ia memang ingin tahu di mana rumah Bu Emi sampai anaknya sangat ringan langkah ke sana.“Dekat, tapi enggak terlalu. Bisa jalan kaki kalau matahari enggak terik. Kalau pagi biasa saya jalan kaki. Pulang dijemput sama anak saya yang laki-laki.” Bu Emi kembali meletakkan piring terakhir yang baru dibilas ke rak kecil di sebelah bak cuci. “Pak Wira bilang, saya enggak usah masak. Cuma racik-racik sayur aja hari ini.”“Oh, Pak Wira bilang gitu, ya? Mungkin karena saya lahap makan masakannya kemarin,” kata Sully setengah menerawang.“Kalau gitu saya racik bahan masakan dulu, Bu.” Bu Emi mengangguk kecil dan mulai membongkar plastik belanjaannya. Dari sudut matanya, Bu Emi melihat rambut Sully juga basah. Sama seperti Wira tadi. Dugaannya tidak mung
“Kalau enggak mau merepotkan Pak Asman, saya simpan buat besok aja. Besok bisa Ibu bawa pulang,” kata Sully cepat. Ia mengabaikan perkataan ‘jarang ada yang mau makan’ yang barusan dilontarkan Bu Emi. Wanita itu hanya sedang berbasa-basi, pikirnya.Bu Emi membentuk huruf ‘O’ cukup lama dengan mulutnya. Wanita itu kemudian mengangguk dan berlalu dari halaman sayap kiri.Sepeninggal Bu Emi, Sully dan Pak Asman bertukar pandang. “Kuini untuk Bu Emi saya letakkan di dapur aja, Pak. Besok pasti mau,” ucap Sully pelan, tersenyum kaku pada Pak Asman. Ia sedikit malu karena tawarannya ditolak oleh Bu Emi barusan.Pak Asman mengangguk, lalu tangannya buru-buru merogoh saku kemejanya. “Ya, Pak? Oh, udah mau pulang? Iya—iya. Enggak ada ke mana-mana, Pak. Cuma yang Pak Wira pesankan tadi. Benar, Pak. Kuininya udah banyak yang masak. Saya sekarang ke sana.” Pak Asman kembali menyimpan ponselnya ke saku kemeja, lalu menatap Sully. “Bu, semua buah ini biarkan di sini aja, ya. Saya mau ke kantor ngan
Beberapa saat sebelumnya. Sejak kepulangan dari rumah Wira kemarin sore, Ira dan Bu Emi berdebat sepanjang jalan. Bu Emi menyalahkan putrinya karena dianggap kurang menjalin komunikasi bersama Wira selama ini. Sedangkan Ira yang sedih dan patah hati, serta masih syok karena melihat kedatangan Wira bersama istrinya, hanya bisa diam. Perasaannya berkecamuk. Campur aduk. Kecewa, sedih, marah, cemburu, semua jadi satu. Walau siang hari sudah menghubungi sepupunya yang selama ini menjadi perantara informasi soal keberadaan Wira di kantor, ia merasa belum tenang. Setidaknya ia harus bertemu dengan Wira untuk bicara. Pria itu memang sudah janji akan bicara dengannya. Tapi ia tidak sabar. Jadilah malam itu dia bertemu Wira. Ira harus berdiri dalam kegelapan mendengar kenyataan paling pahit selama hidupnya. Wira memang belum menjadi siapa-siapanya. Pria itu tidak pernah menjanjikan sesuatu. Tapi, Wira yang selalu menerima semua perhatiannya tanpa mengatakan apa pun, ia anggap sebagai lampu h
Sully merasa dirinya kembali ke masa remaja. Saat ia duduk di bangku SMA dan menyukai kakak kelasnya. Ia datang lebih pagi hanya untuk duduk di bangku panjang depan kelas demi menantikan sang kakak kelas lewat. Walau hanya lirikan mata dan senyuman tipis untuknya, Sully sudah senang luar biasa. Apalagi saat ia berhasil berboncengan dengan kakak kelasnya itu beberapa hari kemudian. Bisa melihat dari dekat, juga menyentuh orang yang ia sukai, membuat Sully merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Begitulah gejolak yang sedang dirasakannya pada Wira. Hari itu terasa berjalan sangat lama. Memanen kuini bersama Pak Asman tak membuat Sully lupa untuk melirik ponsel menanti kabar dari Wira. Sialnya, Wira bukan tipe pria bermulut manis yang rajin mengiriminya kata-kata romantis. Kalau diingat-ingat, pria itu bahkan belum pernah mengiriminya pesan. Hanya menelepon. Mungkin itu sebabnya Sully belum ingat mengganti nama Wira dari ‘Mas itu’ entah menjadi apa. Sully belum punya rencana. Setelah
Ciuman kecil hidung Wira di pipi Sully dengan cepat membuat wanita itu lupa merajuk. Sully tertawa kecil saat Wira menggesekkan hidungnya. “Aku enggak ada teman ngobrol seharian. Aku mau ditanya-tanya,” kata Sully, memeluk leher Wira sampai pria itu menunduk.Wira meletakkan pakaian yang sejak tadi ia pegang untuk membalas pelukan Sully. Sangat erat. Seharian itu ia juga memikirkan Sully yang kini sudah ia miliki sepenuhnya. Setengah tidak menyangka kalau pertemuan mereka di gapura desa akan berakhir menjadi seserius itu.Sully mengurai pelukannya. “Aku kangen,” ucapnya.Wira sejak tadi masih mengusap-usap bahu dan punggung Sully untuk menenangkan wanita itu. Ia teringat akan tingkah dua keponakan perempuannya saat masih kecil saat kemauannya tidak dituruti. Mirip seperti Sully. Ia lalu kembali mencium Sully. Tepat di bibir wanita itu.Kalau ditanya soal rasa kangen ingin selalu berdekatan, mungkin yang dirasakannya kurang lebih sama. Bahkan kalau ia menurutinya sejak pagi, berangkat k
Kerepotan berikutnya adalah Sully yang membongkar tas mencari pembalut cadangan sambil bersungut-sungut.“Biasanya selalu ada satu di sini,” gumam Sully, meraba kantong bagian dalam tasnya. “Apa bulan lalu udah dipakai?” Ia mengingat-ingat. Kacau sekali kalau malam itu ia sampai kehabisan persediaan.“Lagian kenapa harus sekarang, sih? Apa enggak bisa besok-besok aja datang bulannya?” Sully kembali meletakkan tasnya dan bergegas ke dapur menemui Wira. Pria itu sedang menggoreng ikan dengan rambut yang kembali basah. “Mas ….”“Ya?”“Waktu packing-packing kemarin ada bawa dompet makeup warna hitam, enggak? Pembalutku kayanya di situ. Selain di situ enggak ada lagi.” Sully tak berani mendekati Wira karena khawatir dengan letupan minyak panas dari ikan yang baru dimasukkannya.“Sepertinya ada. Karena dompet itu jarang kamu buka, Mas taruh ke rak yang paling atas. Sebentar Mas ambilkan.” Wira meninggalkan ikannya sesaat dan menggandeng Sully kembali ke kamar.“Aku datang bulan, Mas …,” kelu
“Bawanya baru bisa besok, ya? Waduh,” kata Wira di dekat gerobak tukang sayur.“Iya, Pak. Nanti sore baru saya belikan sekalian belanja dagangan. Mereknya apa, Pak?” tanya tukang sayur.“Beli yang paling bagus, ya Bu. Bentuknya tipis gitu. Saya enggak tahu mereknya apa. Kalau bisa besok pagi-pagi sekali sudah ada, ya.”Wira sudah memakai seragam ke kantor, namun masih mengenakan sandal untuk keluar rumah menemui tukang sayur dan memesan pembalut untuk Sully. Kalau kemarin malam tersisa dua, pagi itu Sully hanya memiliki satu. Siang atau malam Sully pakai apa? Wira hilir-mudik di dapur. Tak lama, Bu Emi muncul di ambang pintu.“Bu, saya mau tanya. Maaf sebelumnya. Istri saya baru datang bulan dan kehabisan persediaan pembalut. Biasanya kalau bukan pembalut, gantinya apa? Untuk sementara,” jelas Wira tanpa mempedulikan rasa malunya.“Biasa bisa diganti kain, atau handuk yang lebih tebal dan mudah nyerap. Dilipat atau dibentuk gitu. Memangnya enggak ada yang ke kota, Pak?” Bu Emi barusan
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak