Wira menatap punggung Sully yang meninggalkannya bersama Pak Gagah. Awalnya ia mengira Sully akan kesal mendengar ucapannya. Nyatanya, wanita itu malah terlihat kecewa. Sesaat yang lalu, ia memang hanya bertujuan pamit ke Riau pada bapaknya. Kebun Ajeng sudah terjerat dengan tengkulak yang paling berkuasa. Untuk itu, ia harus melakukan hal yang lebih besar. Tak mudah menghadapi Pak Effendi tanpa bukti dan modal memadai. Dan membawa Sully tinggal sejenak di rumah perkebunan, kemungkinan akan semakin menyulitkan wanita itu. Itu perjalanan untuk kepentingan pekerjaan. Bukan liburan. Banyak yang harus dikerjakannya, termasuk menemui wanita bernama Ira. “Gus! Kamu dengar Bapak, enggak? Memang enggak mau bawa Sulis? Kamu enggak lihat istrimu kecewa? Kenapa Sulis enggak pernah ngomel ke kamu? Perempuan itu harusnya ngomel. Kalau sudah diam aja, artinya sudah malas ngurus.” Wira menelan ludah dan melihat Sully berbelok ke kanan. Ia lalu kembali menatap Pak Gagah, “Memang enggak bisa dibawa,
Mungkin baru menit kelima Sully memeluknya dan setengah meneriakkan kata ‘Mas’ baru Wira tersadar akan kehadiran wanita itu. Emosinya memang sangat memuncak mendengar perkataan Sutrisno yang mencla-mencle soal maksud kedatangannya ke rumah Pak Effendi. Ditambah lagi perkataan soal ‘ribut di rumahnya’, membuat Wira semakin kesal. Apa Sutrisno juga berpikir bahwa kebun yang diberikan pada Ajeng sejak sebelum kakaknya itu menikah adalah juga kepunyaan dia? Itu sebabnya Sutrisno dengan seenak jidat menggadai kebun itu untuk keperluan yang belum jelas?“Tadi pakai sandal itu?” tanya Wira, menunjuk sepasang sandal plastik berwarna cokelat kepunyaan Pak Gagah.Sully mengangguk pelan. “Cuma ada sandal itu di teras. Kalau aku sempat ambil sandalku, aku bakal sekalian blow rambut dan pakai sunscreen sebelum ke sini,” jelas Sully dari atas boncengan motor.Wira turun untuk mengambil sandal bapaknya dan menyalakan sepeda motor dengan tangan kiri menjepit sandal. Ia berkendara dalam diam. Menunduk
“Udah, lepasin. Jangan pegang-pegang aku,” kata Sully, menarik kakinya dari Wira namun gagal. “Mas tanya….” Ucapan Wira langsung terpotong. “Memangnya aku ada diajak? Memangnya penting ngajak aku? Memangnya aku siapa? Aku cuma numpang makan dan tidur di sini. Malah dikasih uang jajan. Udah dapat semua itu, lalu aku mau apa lagi? Enggak bersyukur banget aku jadi manusia. Luka ini juga enggak usah diobati. Udah enggak sakit. Permisi,” kata Sully, melepaskan tangan Wira dari kakinya dan beringsut. “Jangan emosi gitu.” Wira melihat Sully kembali berbaring dan memunggunginya. “Riau tempat Mas bakal pergi itu sebuah perkebunan kelapa sawit. Mas enggak tinggal di hotel. Tapi di perumahan karyawan—” Sully berbalik dengan sorot tajam memandang Wira. “Kalau enggak salah pertama kali kita ketemu Mas pernah bilang udah resign dari pekerjaan di Riau. Pulang ke sini karena Bapak Mas yang minta. Mas sendiri yang ngomong kita begini, karena Mas enggak mau dijodoh-jodohkan sama Ratna. Jadi, mau nga
Dalam tidurnya Sully mendengar suara Wira memanggil. Ia langsung menjawab. Tak tahu itu mimpi atau bukan. Tadi pria itu membuatnya kesal. Dan ia menyadari kalau belakangan Wira memang sering membuatnya kesal. Entah karena apa saja.“Baju kamu … yang mana yang mau dibawa?”Sully mengerjap. Ternyata itu bukan mimpi. Wira sedang berdiri di depan lemari dengan sebuah koper besar. Kenapa pria itu tiba-tiba menanyakan pakaiannya? Ia mengusap pipi dan merapikan rambut.“Baju yang mana aja? Buat apa?” Sully menatap malas koper kecilnya yang teronggok di sebelah lemari. Bajunya tak banyak. Yang lebih banyak itu peralatan makeupnya.“Besok kita berangkat ke Riau,” kata Wira, menghempaskan dirinya di tepi ranjang seraya membaringkan koper. Lalu mengambil beberapa lembar kemeja dan meletakkannya ke koper. “Ayo, cepat sini. Biar Mas susun,” katanya.“Aku dibawa? Ini pasti karena Bapak, kan? Bukan karena Mas yang mau bawa aku,” kata Sully.“Bukan karena siapa-siapa,” jawab Wira, memutar tubuhnya me
Dari terminal, Wira dan Sully menumpangi taksi menuju bandara. Sully melenggang dengan ceria di sebelah Wira yang menyeret koper dan menyandang ransel. Setelah terbangun dari tidurnya tadi, Sully seakan lupa kalau sepanjang jalan ia telah bersandar di bahu Wira dan memeluk lengan pria itu. Kini ia berjalan sambil mengetik di ponselnya. Membalas pesan Oky yang menanyakan kabar dan sedang apa ia saat itu. Sully tak mengatakan soal Riau pada Oky. Entah kenapa, dia malu kalau sampai Oky mengetahui ia mengikuti Wira sampai ke Riau. “Mas, perjalanannya berapa lama lagi?” Sully menyentuh lutut Wira yang duduk berdampingan dengannya. “Sampai di bandara sana, kita perjalanan darat lagi hampir tiga jam. Kamu capek?” Wira memandang wajah Sully yang begitu dekat dengannya. Sully bertanya tapi melempar tatapan ke tempat lain saat Wira menjawab. Di ruang tunggu yang bermandikan cahaya matahari, Sully terlihat semakin cantik. Rambut cokelatnya digerai, kaus lengan panjang hitam dengan jeans dan se
“Ada yang datang,” kata Sully, memandang Wira. “Tunggu di sini. Mungkin itu Bu Emi,” kata Wira keluar kamar. Wira keluar menuju teras dan menutup pintu di belakangnya. Dugaannya benar. Wanita yang mengucapkan salam tadi adalah Bu Emi, wanita yang biasa memasak dan membersihkan rumah dinas yang ditempatinya selama ini. Wanita itu juga adalah ibu kandung Ira. “Ya, Bu? Ada apa? Mari duduk dulu,” ajak Wira, menunjuk dua kursi besi bercat putih di teras. “Ternyata memang benar Pak Wira. Saya tadi lihat ada taksi bandara baru keluar.” Bu Emi menaiki dua undakan dan duduk di salah satu kursi. “Iya, saya baru sampai,” kata Wira. “Bagaimana, Bu? Sudah bertemu dengan Pak Asman?” tanya Wira sedikit penasaran dengan keperluan wanita itu. Kalau Bu Emi sudah bertemu dengan Pak Asman, wanita itu pasti sudah tahu kalau besok ia sudah bisa mulai bekerja seperti biasa lagi di sana. Namun sepertinya Bu Emi punya keperluan berbeda sore itu. “Saya kira Pak Wira enggak balik ke sini lagi. Belakangan s
Wira berdiri membelakangi lemari yang terbuka dengan wajah penuh kewaspadaan. Ia sudah hafal dengan kilat jahil di mata Sully. Wanita itu sedang bosan dan ingin menggodanya. Sully menahan senyum yang mencurigakan. Ia sendiri tak yakin kalau Sully menggodanya kali ini remnya tetap sepakem sebelum-sebelumnya. Tidak ada bapaknya. Rumah itu kosong dan berjarak lebih dari tiga puluh meter dengan dua rumah lainnya. Salah satu alasan ia tak mau Sully ikut dengannya.“Mau mandi, kan? Ini pakaiannya sudah Mas susun ke lemari. Kamu bisa mandi sekarang,” kata Wira dengan nada setenang mungkin. Sully membuat mimik wajah berpikir seraya mengerucutkan mulut. Sully masih cantik meski wajahnya terlihat lelah, batin Wira.“Aku nanya …. Mas jangan mengalihkan pembicaraan. Kalau aku punya keahlian lain gimana? Enggak harus ahli memasak, kan?” Sully menghentikan langkah setelah jari kakinya menyentuh kaki Wira. Ia mendongak melihat wajah pria itu. Wira sudah membuka jaketnya dan menyisakan kaus oblong. B
Wira duduk di tepi ranjang dan meraup wajahnya dengan kalut. Apa ia memang keterlaluan? Tidakkah Sully paham kalau yang mereka rasakan mungkin hanya gejolak sesaat karena terlalu sering bersama? Apa Sully pernah bertanya pada dirinya sendiri soal apa yang ia rasakan terhadapnya? Apa Sully menyayanginya? Mencintainya?Sedangkan ia sendiri? Apa yang dirasakannya terhadap Sully? Apa ia menyukai Sully karena wanita itu memang cantik? Apa ia menginginkan Sully karena wanita itu adalah wanita pertama yang berani menyentuhnya? Apa ia menyayangi Sully karena wanita itu membutuhkan perlindungan?Sully selesai mandi dan mengambil pakaiannya dari lemari tanpa memandang Wira. Untungnya sebuah handuk yang tadi dipakai Wira usai mencuci muka masih tersangkut di belakang pintu kamar mandi. Sully merasa sedikit tertolong karena tak perlu berteriak meminta Wira mengambil handuk untuknya.“Lis,” panggil Wira saat Sully duduk di depan meja rias menyisir rambutnya. Wanita itu tidak menjawab dan raut waja
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak