Tiga orang yang tengah berdiri berdekatan dan bicara hampir dalam bisikan tak pernah mengira bahwa Pak Gagah akan tiba di dekat mereka. Ajeng terlihat yang paling terkejut.“Bapak,” ucap Ajeng seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.Pak Gagah memandang Sutrisno dengan wajah kaku dan tak ramah. “Tris … kalau kamu enggak mau mengantar istrimu sampai ke Balai Desa, tinggalkan di sini. Bapak masih bisa boncengin Ajeng ke sana. Atau Ajeng juga bisa sama Sulis. Kalau kamu mau mengantar istrimu, Bapak enggak mau dengar kamu marah-marahin Ajeng. Nanti kita bicara di rumah. Sekarang mau ngurus Sulis lebih dulu.” Pak Gagah tak berlama-lama memandang wajah Ajeng dan Sutrisno. Wajahnya yang memang tak pernah ramah, semakin terlihat kaku.Beberapa detik Sutrisno terdiam. Merasa tak mungkin berlama-lama di tempat itu, ia berkata pada Ajeng. “Biar aku antar,” kata Sutrisno. Pak Gagah hanya mengerling sebentar sebelum memandang Sully.“Aku mau lihat Bapak ngomong sama Sekar dan Ratna. Sekalian
“Tuh, dengar dengan jelas.” Sully mendengkus dengan puas usai Pak Gagah bicara. “Kalau Bapak ngomong gini, aku bisa bantu ngomong ke Mas Wira buat mewujudkan rencana Bapak barusan. Bye … bye Desa Girilayang …,” ucap Sully dengan raut yang dibuatnya sungguh-sungguh.Di kejauhan, Ajeng dan Sutrisno beriringan menuju sepeda motor. Setelah Ajeng mendengar pembelaan bapaknya pada Sully, ia mencolek lengan suaminya. “Sudah dengar apa yang dibilang Bapak barusan? Mas terus-terusan ngomong kalau Sulis menantu kesayangan. Harusnya Mas Tris mikir kalau Bapak enggak sayang Mas Tris sebagai menantunya, mungkin sudah lama Mas Tris enggak tinggal di desa ini lagi. Bapak bisa buat hal itu kalau mau. Sekarang pun kita belum tahu Bapak bakal ngomong apa ke kita. Terutama ke Mas. Aku mau ketemu Bagus dulu, Mas. Adik kandungku yang ganteng itu terpilih jadi Kepala Desa.”Sutrisno tidak menimpali apa-apa lagi. Hanya pergi menyalakan sepeda motornya dan berlalu dari keramaian itu untuk mengantarkan Ajeng
Sully duduk rapi tak jauh dari Wira yang sedang mengobrol bersama Saptono, Pak Mangun, Hendro, Kepala Desa sebelumnya, Sekretaris Desa, Kepala Urusan Keuangan dan tiga orang lagi yang merupakan Kepala Dusun. Meski menyibukkan diri dengan ponselnya, Sully mencuri dengar hal yang dibahas oleh orang-orang yang ke semuanya pria itu. Memang bukan obrolan berat. Hanya membahas kilasan-kilasan program desa yang belum terlaksana dan harapan pejabat desa untuk Desa Girilayang ke depannya. “Kamu jangan sampai terintimidasi dalam pemilihan dan pengangkatan perangkat desa lainnya. Harus punya integritas yang tinggi sebagai Kepala Desa. Jangan mau disuap sama orang yang gila jabatan.” Nasehat Kepala Desa sebelumnya itu membuat Saptono mendengkus sangat keras di sebelah Wira yang mengangguk sopan. Sully sampai menoleh karena setelah mendengkus, Saptono terbatuk-batuk. “Semoga Bagus enggak ada kesulitan dalam hal prakteknya ya, Pak.” Saptono ikut menimpali. “Jangan lupa Bapak dan rekan-rekan yang
“Kenapa dengan Sutrisno? Mbak Ajeng bertengkar dengan suaminya? Dipukul?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Wira. Tak sempat berpikir kalau Pak Gagah pasti semakin sedih karena pertanyaannya barusan semakin membenarkan semua hal yang sedang berkecamuk di benak pria tua itu. “Ajeng dipukul sama Sutrisno, tapi kamu enggak cerita ke Bapak. Kamu kira dengan balas mukul Sutrisno bakal bikin sikapnya jadi lebih baik lagi ke Ajeng?” Pak Gagah menatap Wira dengan sorot muram. “Sulis juga tahu Ajeng dipukul. Tapi Bapak enggak menyalahkan Sulis yang enggak ngomong karena dia pasti enggak mau ikut mencampuri. Malam nanti kita semua bicara.” “Aku enggak tahu apa yang Bapak pikirkan, tapi—” “Bapak capek. Malam nanti kita bicara lagi.” Pak Gagah duduk di bawah pohon apel menyulut rokoknya. “Oh, ya … soal anaknya Jusman yang bolak-balik ke sini, Bapak sudah sampaikan supaya dia enggak ganggu Sulis lagi. Mereka bertengkar di tengah jalan menuju Balai Desa. Memangnya Sulis ada diganggu
“Masuk, Mas.” Ajeng berdiri di ambang pintu menunggu Sutrisno yang berlama-lama di atas motornya.“Duluan aja. Mas sebentar lagi,” sahut Sutrisno dengan suara pelan namun terdengar jelas oleh Wira dan Sully yang baru keluar kamar.“Masuk sekarang, Mas. Bapak sudah nunggu.” Giliran Wira menggantikan Ajeng di ambang pintu depan. Hal yang membuat Sutrisno bergegas mematikan mesin motor dan cepat-cepat menaiki undakan teras.“Selamat, ya, Gus. Sekarang jadi Kepala Desa terpilih.” Sutrisno mengulurkan tangan memberi selamat.Wira menyambut uluran tangan itu dan mengangguk. “Terima kasih. Masuk, Mas. Bapak sebentar lagi ke depan.”Tak lama sepeda motor lainnya masuk ke halaman. Kartika datang membonceng Saraswati. “Mbah mana?” tanya Kartika ketika beradu pandang dengan Wira. Sepertinya gadis itu lebih mengkhawatirkan Mbah-nya ketimbang bapak kandungnya yang terlihat gelisah duduk di ruang tamu.Sully muncul dari dapur bersama Ajeng. Beberapa saat yang lalu Sully menjawab pertanyaan Oky yang
“Maksudnya apa, Pak?” Sutrisno akhirnya menyadari bahwa posisinya sedang tak menguntungkan. “Bapak … Bapak mau aku dan Ajeng …. Maksudnya … aku dan Ajeng enggak bisa sama-sama lagi?” Hampir saja Sutrisno menyebutkan kata ‘cerai’ di hadapan anak-anaknya.“Kurang mengerti maksud Bapak?” Pak Gagah menyandarkan punggungnya ke kursi.“Aku sama Ajeng enggak ada masalah apa-apa, Pak. Ribut-ribut dalam rumah tangga itu biasa, kan? Sebagai laki-laki dan suami aku masih berada di jalur. Enggak pernah tergoda wanita lain. Aku masih cinta Ajeng, Pak. Jangan minta aku dan Ajeng pisah. Kasihan anak-anakku. Aku enggak perlu pulang hanya buat memikirkan alasan menikahi Ajeng dulunya. Sekarang juga sudah tahu.” Sutrisno terdengar panik dan nada suaranya tak beraturan. Ia sudah mencondongkan tubuhnya ke arah Pak Gagah sejak tadi. Berkali-kali mencoba menoleh Ajeng yang tetap menunduk.“Jadi, kamu belum paham salahmu di mana?” Ketenangan di suara Pak Gagah mulai memudar.“Aku sadar kalau selama belasan
“Mas pulang sekarang, Gus.” Sutrisno bangkit dari kursi dan melangkah gontai menuju pintu. Menoleh sejenak ke bagian dalam rumah untuk melihat kilasan Ajeng. Siapa tahu wanita itu akan menghampiri dan menanyakan apa ia sudah makan malam atau belum. Begitu harapannya. Ternyata tidak ada. Hanya ada Wira yang berdiri dengan wajah tak sabar hendak menutup pintu. “Mas pulang sekarang, Gus,” ulang Sutrisno.“Aku sudah bilang iya tiga kali, Mas,” sahut Wira datar-datar saja. Isi pikirannya di sisa malam itu hanya soal berbaring dan bergumulan bersama Sully. Mengingat perlakuan Sutrisno pada kakak perempuannya, membuat empati Wira menyurut.“Kalau anak-anak di sini bagaimana sekolahnya, Gus? Saras masih sekolah ….” Sutrisno memang sengaja berlama-lama di ambang pintu.“Sekolahnya Saras baik-baik aja, Mas. Seperti biasa berangkat pagi pulang siang. Kita masih tinggal di desa yang sama. Tadi Saras sudah bawa seragam. Untuk sementara Mas enggak usah khawatir.” Wira menjawab malas-malasan. “Mmm …
“Tujuan kamu disekolahin sampai diploma begitu untuk apa? Untuk jadi petani? Ibu enggak mau pikiran kamu jadi ikut picik karena nikah sama anak si Gagah!”"Kamu harusnya merasa beruntung. Dari sekian banyak anak Ibu, kamu salah satu dari dua yang ibu sekolahkan di kota. Kamu kira tujuannya buat apa? Ya buat bantu-bantu keluarga.""Cari istri juga enggak pintar. Harusnya cari istri minimal kerja punya penghasilan bulanan. Bukan taunya di rumah aja nunggu penghasilan dari suami. Giliran suami enggak kerja didesak terus diminta cari kerja. Kalau kepengin duit ya harus pintar cari juga. Pintar bantu-bantu.""Pokoknya Ibu enggak mau tahu bagaimana cara kamu dapat uang tapi bukan jadi petani yang bawa pacul ke mana-mana. Atau kamu minta pekerjaan ke adiknya Ajeng. Masa, sih, adiknya enggak mau bantu ipar? Penghasilan kamu juga bakal buat ngasih makan kakak kandung dan keponakannya."Sutrisno duduk di sudut ruangan dengan sebuah kursi kayu yang sudah reot. Suasana sekelilingnya remang denga
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak