Valerie duduk sendirian di balkon kamarnya ketika hari sudah mulai beranjak sore. Dia menengok ke dalam kamar. Emrys sedang berada di ruang baca, mengerjakan beberapa hal yang katanya sangat penting. Sepanjang hari Valerie mereka tidak bicara karena Emrys selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Bersama Rys, Valerie duduk berjam-jam di balkon, hanya melihat-lihat langit dan juga bunga-bunga yang beberapa sedang mekar.Walau Emrys sesekali membelanya, jelas sekali ekspresi suaminya itu menunjukkan jika dia menimbang-nimbang, apakah harus mempercayai Valerie atau tidak. Valerie mengelus perutnya, memejamkan mata lalu perlahan buliran bening jatuh menerobos wajahnya, turun hingga jatuh ke lantai.Kematian Zach, kehamilannya, tuduhan palsu yang dialamatkan padanya bergulung-gulung dalam otaknya, membuatnya nyaris lumpuh. Bagaimana caranya membuktikan diri jika semua itu tidak benar? Jika dia hanya mengandalkan kebenaran yang dia alami, tidak akan ada yang percaya padanya, kecuali Zach. Namu
Satu hari sebelum peluncuran produk oleh perusahaan pesaing, Grace masuk ke ruangan Emrys. Dia menceritakan dengan gamblang bagaimana Victoria berusaha memojokkannya dengan menggunakan rahasianya sendiri. Namun karena Grace tahu Emrys sudah sangat baik padanya, dia tidak bisa menyimpan semuanya sendiri dan berkhianat. Pada akhirnya, kejujuran Grace membuat Emrys melancarkan rencananya untuk berpura-pura.“Biarkan Victoria melakukan rencananya. Biarkan dia merasa jika dia sudah menang.” Perintahnya saat itu pada Ky.Dan keesokan harinya, produk mereka lebih dulu diluncurkan oleh perusahaan lain, dan Emrys malah tersenyum di mejanya saat itu setelah kembali dari ruangan rapat.“Kamu akan ke mana?” Grandpa membuat Emrys tersadar kembali. “Bukankah seharusnya kamu menjaga Valerie? Sudah kamu tanya kenapa dia bisa luka seperti itu?”“Jika aku tinggal di kamar, semua usaha kita ini akan sia-sia Grandpa. Akan ku minta Ky untuk menyelidiki apa yang dialami oleh Valerie. Grandpa tenang saja. A
“Ini apa?”Begitu Emrys membuka amplop, sebuah foto jatuh dari dalam. Emrys menunduk untuk memungutnya dan langsung mematung begitu dia melihat foto yang jatuh. Foto itu adalah foto kedua orang tuanya ketika masih muda, dugaan Emrys itu diambil ketika mereka masih duduk di bangku kuliah. Ada empat orang, dan Ibunya adalah satu-satunya wanita di sana. Dia mengenali satu laki-laki yang berdiri di sebelah ayahnya, yaitu Dex Clement, ayah Edward. Dan laki-laki yang berdiri di sebelah ibunya tidak dikenalnya sama sekali.Seharusnya foto itu hanya foto biasa, kecuali ketika dia mendapati tatapan Dex yang tertuju pada Ibunya. Emrys menegakkan punggungnya begitu dia mengambil kembali foto usang itu lalu menatap Edward tajam.“Ayahku, kedua orang tuamu, dan tebak, siapa salah satunya lagi.” ujar Edward.Emrys diam. Dia kembali menatap foto di tangannya dan sama sekali tidak tahu siapa pria yang tersenyum lebar pada kamera itu. Emrys menghela nafas, lalu menggeleng.“Bukankah dia mirip sekali d
“Kamu membocorkan rahasia yang sangat penting. Sudah ku duga nyawa adalah taruhanmu.” Ujar Emrys datar, tahu sosok pria di seberang karena dia juga memperhatikannya sejak tiba tadi.“Mmm. Kamu benar.” Edward menganggukkan kepalanya. “Lalu apakah kamu bersedia melindungiku?”“Aku bukan ayahmu. Untuk apa aku melindungimu?”“Ayahku tidak melindungiku, tahu.” Edward tertawa.Emrys terpaksa tersenyum, namun di balik senyumnya dia menyembunyikan amarah yang siap meledak kapan saja. Kesalahan fatal di Northpass memang membuatnya mencurigai Dex, namun tidak dengan kematian orang tuanya. Selama ini, Dex selalu mengatakan jika mereka adalah sahabat dekat. Beberapa kali Emrys juga tidak sengaja bertemu dengan Dex di makam orang tuanya. Dia sama sekali tidak menyangka jika sahabat itulah yang melenyapkan nyawa orang tuanya.Sial, desis Emrys, makin melonggarkan dasinya. Aku akan membuat perhitungan denganmu, Dex. Tunggu saja.“Jangan buru-buru,” gumam Edward seakan bisa membaca pikiran Emrys. “Pe
Pria akhir dua puluhan itu menundukkan kepala, pura-pura memperbaiki posisi topinya saat Emrys dan Edward keluar dari bar. Keduanya berjalan memutar, berpencar ketika tiba di persimpangan jalan di depan bar. Emrys berjalan ke sisi barat, sementara Edward ke sisi timur. Pria itu terlihat menimbang-nimbang sebelum akhirnya memilih membuntuti Edward.Dia berjalan pelan, berusaha membuat jarak supaya tidak ketahuan oleh Edward. Namun satu hal yang tidak dia sadari, Edward sedari tadi memperhatikannya dari ekor matanya. Edward tersenyum, kedua tangannya dia masukkan kedalam kantong jaket kulit hitam yang dikenakannya. Ketika mendekati jalan menanjak, Edward berbalik.Pria itu ikut membalikkan tubuhnya, namun dia begitu terkejut melihat Emrys ada di depannya. Dia menoleh, Edward pun sudah berada persis di belakangnya. Ketika dia meraba kantong belakangnya, secepat kilat Emrys melumpuhkannya dengan senjata yang dia simpan di balik longcoatnya, dan Glock yang sudah sempat diambil pria itu dar
“Kamu harus lari.”Valerie mendengar sayup suara Zach, sangat dekat di telinganya. Valerie menoleh. Ratusan orang bersenjata lengkap memenuhi hamparan rumput hijau yang sedang dia injak kini. Cassiel memimpin mereka. Pria bengis dan kejam itu berjalan selangkah di depan dari orang-orangnya.Kaki Valerie membeku. Lidahnya berubah kelu, bahkan untuk berteriak memanggil nama Emrys pun dia tidak sanggup. “Lari!”Dia mendengar suara Zach lagi. Valerie mencoba mencari-cari darimana asal suara itu, namun dia tidak menemukan sosok Zach di manapun.“Lari, Valerie. Lari!”Dia mendengarnya lagi. Kali ini, Valerie mematuhi suara Zach. Dia berlari sekuat tenaga, berusaha menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang yang larinya lebih cepat dari dirinya sendiri. Suara tawa mereka membahana dan mengerikan. Mereka seolah menganggap Valerie seekor hewan buruan yang siap ditembus oleh anak panah.“Akan ku alihkan perhatian mereka.”Tiba-tiba Zach muncul entah dari mana. Valerie memegang tangan Zach, me
Jalanan masih sepi, penduduk seantero kota masih terlelap ketika Edward melintas menggunakan mobil yang disewanya. Dia menunduk saat melihat kilatan petir menyambar di langit Selatan. Walau udara dini hari terasa gerah dan lengket, jelas-jelas di langit akan datang hujan. Setelah memarkir kendaraannya, Edward masuk ke sebuah apartemen yang ditempatinya sementara selama dia ada di kota ini, mengurus semua urusannya.Dia segera masuk ke dalam apartemen satu lantai miliknya. Namun begitu dia menyalakan lampu, dia tidak terlalu terkejut mendapati Dex Clement, ayahnya, sedang duduk di sofa ruangan. Edward tersenyum kaku, meletakkan tas ranselnya di sofa lalu menuang air minum ke dalam gelas.“Kamu seperti hantu, Dad.” Ujar Edward setelah menenggak habis air minumnya. “Bahkan kamu bisa menemukanku di mana-mana.”“Dan kamu seperti virus, bergerak diam-diam dan mematikan.” Balas Dex santai.Edward tertawa kecil. Dia menoleh, menyandarkan tubuh dengan pinggul menumpu pada meja. Dia bersedekap,
“Yakin Tuan akan melakukannya?”Ky menatap Emrys yang sedang berganti pakaian di dalam kamar kecil khusus untuk mengganti pakaian di ruangan kerja. Begitu tiba kembali di kota, Emrys memutuskan langsung ke perusahaan dan bertemu Ky di sana. Emrys meletakkan kemejanya yang sudah kotor ke lantai dan dipungut langsung oleh Ky. Terlihat pergulatan berat di wajah Emrys, lalu tak lama dia mengangguk.“Lakukan saja.”“Tapi ini akan sangat melukai Nyonya Valerie, Tuan.”Emrys diam cukup lama. “Aku tahu.” Gumamnya. “Tapi ini satu-satunya cara untuk membuat Victoria merasa jika dia sudah sangat dekat dengan kemenangannya. Dengan begini, kita akan lebih mudah memancing Dex keluar dari tempat persembunyiannya.”“Bagaimana dengan Nyonya?”“Dia akan baik-baik saja.”“Baiklah jika Tuan sudah memikirkannya. Semuanya sudah siap, Tuan. Aku akan menunggu di luar.”Emrys mengangguk. Setelah Ky menutup pintu, Emrys duduk di sofa tunggal yang terletak di sudut ruangan itu. Dia menatap cincin pernikahannya
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh