Emrys tertawa pelan setelah mendengar pertanyaan Rick. Namun sejurus kemudian, dia melayangkan tinjunya ke wajah pria itu hingga Rick terjengkang ke samping. Beberapa staff restoran berlari mendekati mereka, namun begitu mengetahui jika yang terlibat adalah Emrys Lysander, mereka tidak berani ikut campur.Sebaliknya, mereka mengusir beberapa tamu yang masih makan malam di sana. Seolah sudah mengetahui seberapa kuat pengaruh Emrys, para tamu itu hanya menurut dan pergi meninggalkan restoran.Rick meringis kesakitan sambil memegangi sudut bibirnya yang memerah, lalu dia tertawa terbahak-bahak. Dia berdiri setelah beberapa saat duduk untuk meredakan rasa kagetnya terhadap tinju yang dilayangkan Emrys. Namun bukannya marah, Rick malah senang mendapat perlakuan seperti ini, karena hal ini menunjukkan jika Emrys tidak sudi menyerahkan Valerie pada siapa pun, termasuk dirinya.Emrys menyukai Valerie, dan Rick sangat yakin.“Semakin hari kekuatan tanganmu semakin bertambah. Tidak salah mereka
Gerimis mulai digantikan oleh hujan dengan intensitas yang lebih deras. Di langit, kilat masih menyambar dan guruh terdengar bersahut-sahutan. Beberapa toko mulai tutup karena malam juga semakin dalam dan hujan turun sangat lebat.Valerie masih berjalan membelah malam, sendirian, basah kuyup, kedinginan. Tubuhnya membeku dan langkahnya mulai melambat seiring hawa dingin yang mulai merayap di tubuhnya. Bodoh sekali kamu Valerie, dia mengutuki dirinya sendiri. Bahkan Emrys sendiri tidak peduli padamu. Untuk apa kamu menyiksa diri dengan cara seperti ini?Tidak, dia mendengar sisi lain dari hatinya. Dia hanya ingin menenangkan diri. Dia tidak salah. Dia tidak punya banyak cara untuk menyembuhkan lukanya selain dengan cara seperti ini. Memang sedikit sakit, namun dia tidak bodoh.Valerie berhenti dan menutup telinganya, berusaha menahan diri untuk tidak mendengar suara-suara di kepalanya. Air matanya masih mengalir terlebih ketika dia mendapati bahkan dirinya sendiri pun masih menyalahkan
Sisa tetesan air hujan masih jatuh menuruni pakaian Valerie dan Emrys saat keduanya masuk ke dalam lift. Emrys memutuskan menyewa sebuah suite di salah satu hotel berbintang di pusat kota karena tidak ingin merusak atmosfer sensual yang sudah tercipta diantara mereka. Suasana intim langsung kembali terasa sesaat setelah pintu lift tertutup. Valerie menggigit bibirnya sambil terus menatap genggaman tangan Emrys yang tidak pernah lepas sejak mereka tiba di hotel.Valerie ingin bertanya –memastikan dan menegaskan, apa yang sedang terjadi di antara mereka. Ada banyak kejadian yang sama persis dimana Emrys menciumnya dengan membabi-buta, tapi semua itu hanya karena pria itu mabuk. Dan sekarang Valerie ragu karena tidak ingin merusak suasana yang sudah susah payah dia dapatkan dari Emrys. Emrys saat ini sangat sadar, menurutnya. Walau tadi saat Emrys mencium Valerie, dia merasakan sedikit aroma wine, Valerie mengatakan pada dirinya jika Emrys tidak mabuk.Langkah kaki Emrys begitu panjang s
Emrys berdiri di sisi ruangan suite berukuran sekitar enam puluh meter persegi tersebut. Dia memandang keluar lewat dinding kaca tebal dan segelas champagne di tangannya. Terlihat lampu-lampu gedung dan kendaraan di jalan raya memantulkan cahaya terang. Badai semakin menggila di luar. Hujan masih turun dengan deras dan gemuruh guntur terdengar bersahut-sahutan.Kilat terus menyambar. Satu kilat datang cukup dekat sehingga seluruh ruangan suite menyala bagaikan lampu sorot. Dinding kaca itu berembun saat Emrys menyentuhnya, lalu menyesap champagne-nya. Dia menoleh saat Valerie keluar dari kamar mandi. Wajah gadis itu merona merah dan rambutnya masih basah, seperti biasanya.Karena Valerie masih sangat malu untuk bergerak –dan dia tidak mengenakan apa pun di balik selimut, Emrys mandi terlebih dahulu tadi. Dan sekarang Valerie tersenyum dari ambang pintu, membuat Emrys harus menelan ludahnya dengan susah payah karena terbius oleh senyuman Valerie yang cerah.Emrys menyadari jika dia tid
Ketika mereka berdua memutuskan untuk pulang ke rumah, Emrys tidak mau melepas genggaman tangannya pada Valerie. Hal itu membuat wajah Valerie merona merah. Valerie duduk setengah berbalik menghadap Emrys, sebagian karena dia masih ingin menatap Emrys, sebagian karena dia tidak ingin Emrys terganggu mengemudi –karena tangan pria itu masih menggenggam tangannya.“Kenapa kamu terus menatapku?” tanya Emrys.Valerie mengulum senyumnya. Dia menegakkan tubuh, mengelus tangan Emrys dengan kedua tangannya. “Apa kamu serius padaku?” Valerie balik bertanya.Emrys diam saja mendengar pertanyaan Valerie yang sudah diajukannya sekian kali. Sesekali dia menyalip kendaraan lain untuk mendahului namun berusaha mengatur kecepatan yang konstan agar Valerie nyaman. Bukan salah Valerie jika dia tidak terlalu percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya. Dia sudah menyiksa gadis itu, memaksanya untuk menandatangani surat perjanjian kontrak, selalu menghindar, mengatakan banyak hal yang menyakitkan, namun
“Woahh, apa yang terjadi dengan kalian berdua?”Isabelle menyipitkan kedua matanya dan menunjuk pada keduanya saat Valerie dan Emrys masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan. Isabelle meletakkan potongan muffin yang sudah dimakannya setengah kembali ke atas piring lalu mengekor. Valerie dan Emrys masuk ke ruang tengah di mana Grandpa sedang bersantai seperti biasa di sofa kesayangannya.“Grandpa, lihat mereka,” Isabelle berseru, mulutnya menganga. “Lihat, Grandpa.”“Aku melihatnya, dasar bocah,” Grandpa berdecak, merasa terganggu dengan suara Isabelle.Valerie dan Emrys saling berpandangan. Keduanya berdiri di depan Grandpa dan Isabelle dan tangan mereka masih saling menggenggam. Grandpa mengalihkan pandangannya pada Emrys, seolah sedang meminta penjelasan.“Kami memutuskan untuk memulai hubungan yang seharusnya, Grandpa.” Emrys menjawab pertanyaan yang tersirat di wajah Grandpa. “Aku menyukai Valerie, dan aku akan memperlakukannya dengan baik.”Mulut Isabelle menganga lebar, la
Valerie duduk di sofa menghadap ke televisi layar datar raksasa dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar menikmati tontonan dari sebuah drama luar negeri yang sedang ditayangkan. Dia sudah bersiap-siap untuk tidur dan sudah mengenakan pakaian tidurnya –sebuah kaus putih oversizes dengan bawahan celana pendek. Semua pikirannya teralih pada hal-hal yang dilakukannya bersama Emrys di hotel tadi malam. Tanpa sadar, dia malah mengigit-gigit remot di tangannya sambil terus membayangkan saat Emrys menyentuhnya. Lalu perlahan Valerie menoleh ke belakang tepat pada tempat tidur Emrys, lalu mengalihkan pandangannya pada tempat tidurnya yang berada di balik rak buku, begitu terus selama beberapa kali.“Apa aku akan tidur di tempat tidurnya?” gumam Valerie sendirian. Dia memutar tubuhnya agar bisa menatap dua tempat tidur itu lebih leluasa. “Seharusnya dia sudah mengizinkanku untuk menggunakan ranjangnya bukan? Tapi bagaimana kalau dia merasa privasinya terbatas?”Valerie mendesah. Emrys tida
Valerie tidur sangat lelap sehingga dia bangun dengan perasaan yang menggebu-gebu karena bahagia. Emrys sudah tidak ada lagi di tempat tidur. Dia melihat sebuah cacatan kecil yang diletakkan di atas nakas.[Aku pergi ke kantor. Jangan lupa untuk sarapan dan menungguku pulang.Emrys, suamimu.]Wajah Valerie memerah, senyumnya mengembang. Dia menggigit bibir bawahnya pelan sambil terus tersenyum. Rys sudah pindah tidur ke bawah tempat tidurnya. Anjing pintar itu rupanya membawa sendiri bantalan untuk lapis tempat tidurnya karena mungkin dia ingin tidur lebih dekat dengan Ibunya. Valerie turun dan menunjukkan catatan yang ditinggalkan Emrys pada Rys seolah Golden Retriever itu mengerti. “Lihat, ini pesan yang ditinggalkan suamiku untukku,” ujarnya penuh semangat pada Rys.Anjing itu membuka matanya, menatap Valerie seolah dia menilai, lalu kembali berbaring ke arah yang berlawanan. “Jangan mengejekku,” Valerie melangkah membuka tirai kamar. Emrys pasti sengaja tidak menyingkapnya karena
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh