Musik yang berkumandang sebenarnya sangat merusak gendang telinga. Namun entah kenapa ketika merasa stres atau tertekan, kebanyakan orang akan mencari klub malam sebagai tempat pelampiasan. Mereka akan menari seperti orang gila lalu jatuh tersungkur karena pengaruh alkohol.Dan Ky menyadari jika Emrys terlihat seperti bukan dirinya malam ini. Dia melambaikan tangannya pada pelayan, memesan air soda alih-alih alkohol karena dia harus menyetir. Ky memposisikan dirinya tepat di samping Emrys, diam-diam menyembunyikan senyumnya saat mendengar pertanyaan Emrys. “Maksud Tuan, Nyonya Valerie?”Emrys tidak menyahut, namun ekspresi wajahnya mengatakan jika semua hal yang membuatnya bingung adalah Valerie. Sangat menggelitik hingga rasanya Ky ingin tertawa terbahak-bahak. Jika saja Emrys melihat pantulan dirinya dalam cermin, wajah itu sama sekali tidak menunjukkan jiwa dinginnya selama ini.“Dia bertemu dengan Rick, bukan hanya sekali namun berkali-kali. Dan kedekatannya pada Zach...” Emrys b
Tetesan air mata yang mengalir dari kedua kelopak mata Valerie menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam pada Zach. Dia meletakkan foto di tangannya, berdiri, namun kembali duduk. Dia gusar seperti orang linglung, dan terakhir dia meraih gelas berisi air yang tersedia di atas meja. Tangannya gemetar saat dia minum, dan bias kemarahan terasa sangat jelas saat dia meletakkan gelasnya di atas meja dengan kasar.“Jadi anak itu adalah kamu,” Valerie tertawa pelan, namun air mata terus menetes di wajahnya. Dia menatap Zach dengan tajam, dengan bibir bergetar karena emosi yang meluap. “Kenapa kamu meninggalkanku sendirian?” desisnya pelan.Zach menunduk. Air mata membanjiri wajahnya, namun dia berusaha tegar lalu menghapusnya diam-diam. Beberapa detik kemudian dia kembali mengangkat wajahnya, namun air mata itu kembali jatuh menyusuri wajahnya saat melihat ekspresi terluka di wajah Valerie.“Valerie...” Zach berusaha meraih tangan Valerie, namun Valerie langsung menarik tangannya dari atas m
Saat Emrys masuk ke dalam kamar, Valerie sedang duduk di balkon bersama Rys. Anak anjing yang mulai bertambah besar itu terlihat mengigit-gigit jemari Valerie, seakan mengajak gadis itu bermain. Namun Valerie tidak bereaksi apa pun, tatapannya seolah kosong dan hampa.“Kamu baik-baik saja?” Emrys menyandarkan dirinya di ambang pintu.Valerie tidak menyahut. Dari atas dia mendengar deru mesin motor Zach berdengung kencang, semakin lama semakin menjauh dan dia tahu, Zach sudah pergi. Valerie mendesah, menurunkan Rys dan membiarkan anjing itu berkeliaran di sekitar balkon.“Menurutmu anjingmu itu ras apa?” Emrys berusaha mengalihkan perhatian Valerie dan memancingnya untuk bicara.Dan berhasil. Valerie menatap Rys yang berlari bebas, sesekali berhenti tepat di depan mereka berdua, lalu berlari lagi. Dia tersenyum, mencoba mencari tahu ras apa anjing yang dipungutnya dari hutan itu.“Mmm...” Valerie menggumam. Dia turun dari kursi, jongkok sambil mengamati anjing berbulu emas kecokelatan
“Dia hanya demam biasa. Mungkin kelelahan atau sedang stres. Dia akan segera membaik setelah istirahat dan minum obat.”Dokter Frans mengeluarkan beberapa lembar obat-obatan dari dalam kotak obatnya setelah memeriksa keadaan Valerie. Dia menulis pemakaian obat di lembar plastik pembungkusnya, memasukkan obat demi obat ke dalam lalu meletakkannya di atas nakas. “Usahakan dia banyak istirahat setelah ini. Asistenku akan memeriksa infusnya beberapa jam lagi.”Emrys hanya mengangguk. Dia menatap Valerie yang masih tidur, di sampingnya Isabelle dengan setia menjagainya. Sesekali adiknya itu meletakkan tangannya di kening Valerie dan dia terlihat sama khawatirnya dengan Emrys.“Belle, tolong antar Dokter Frans ke luar," ujar Emrys.Setelah Isabelle dan Dokter Frans keluar, Emrys duduk di sisi Valerie, menyelipkan tangan Valerie kembali ke balik selimut, lalu mengelus lembut telapak tangannya yang lain. Perasaan bersalah semakin menjadi-jadi dalam diri Emrys. Berapa kali dia sudah melukai V
Sabtu siang membawa angin sepoi dan langit berawan dengan suhu udara hangat cenderung panas. Beberapa pejalan kaki yang melintas di depan cafe terlihat menggunakan payung sebagai pengaman dari sinar matahari. Menurut Zach, hujan tidak akan turun karena langit terlihat sangat cerah. Sambil berpangku tangan, dia menatap para pejalan kaki yang mulai ramai memenuhi jalanan.Ky menyendokkan sepotong kecil tart ke mulutnya. Dia mengernyit saat indra perasanya mendeteksi rasa yang tidak dia sukai. “Tartnya tidak enak,” seru Ky.“Makan saja mumpung semuanya gratis,” Zach menatapnya datar. “Kamu yang memesannya tadi, jangan banyak protes.”“Ngomong-ngomong, kenapa kamu sangat penasaran dengan kisah Victoria?” tanya Ky.Zach mengetuk jemarinya di atas meja, sedang menimbang-nimbang apakah dia harus jujur pada Ky atau tidak. Tapi Ky sangat dekat pada Emrys, juga terkenal sangat loyal. Dia tidak boleh gegabah. Mungkin sebaiknya dia menyimpan hal ini terlebih dahulu sampai dia benar-benar memastik
Dari lantai dasar bangunan Hollow Glass, Lucy bisa melihat Emrys tengah duduk sendirian di lantai dua. Pria kekar itu sepertinya sedang banyak masalah –walau dia sendiri ragu masalah apa yang sanggup membuat seorang penguasa seperti Emrys memilih minum sendiri. Raut wajahnya terlihat tegang saat menatap gelas kosong di tangannya setelah dia menenggak alkoholnya dalam sekali tegukan panjang. “Babe, lihat aku.”Dengan kasar Lucy menyingkirkan tangan seorang pria gempal yang melingkar di pinggangnya. Dia terus menatap Emrys saat pria itu mengisi gelasnya kembali, lalu seperti yang dia lakukan sebelumnya, dia menenggak alkohol itu sekali teguk saja.“Dia bisa mati kalau seperti itu,” gumam Lucy.Dengan cepat Lucy berdiri, meninggalkan para pria yang sedang minum-minum dan bercanda di sofa. Lucy menyingkir ke toilet untuk menghindari hingar bingar musik yang memekakkan telinga, lalu mengeluarkan ponselnya.“Akhirnya kamu menghubungiku juga.”Dia mendengar suara berat laki-laki di seberang
Angin malam berhembus masuk melalui celah jendela yang belum sepenuhnya tertutup. Langit tidak terlihat menampakkan apa pun, tidak ada bintang, tidak ada bulan. Rys melingkarkan tubuhnya di atas tempat tidur khususnya di balkon setelah dia lelah bermain. Dia hanya mengangkat kepalanya sebentar saat mendengar suara berisik ketika Ibunya sedang dicumbu oleh Ayahnya, lalu dia menguap lebar dan kembali tidur.Valerie merapikan dirinya lalu duduk. Dia menatap Emrys, mencoba mengguncang tubuhnya yang kaku. Namun Emrys tidak memberikan reaksi apa pun. Yang bisa didengar oleh Valerie adalah dengkuran lembut dari Emrys.“Kamu tidur?” Valerie berdecak lalu memukul dada Emrys. “Setelah apa yang kamu lakukan padaku, kamu tidur?” teriaknya tidak percaya.Dengan kesal Valerie turun dari tempat tidur setelah dia kembali memukul lengan Emrys karena kesal. Ini ketiga kalinya, gumam Valerie. Dia mengigit bibir bawahnya saat menatap Emrys yang terbaring kaku. “Aku tidak akan mengizinkanmu mabuk lagi ka
Valerie baru selesai mandi saat dia berdiri di balkon sambil memeluk Rys, memandang ke arah matahari terbit. Rona orange kemerahan yang cemerlang di cakrawala selalu membuatnya terpesona. Udara pagi ini sangat segar setelah hujan turun dengan lebat semalaman. Tetesan air masih jatuh satu-satu dari dedaunan tanaman hias yang memenuhi balkon.Dia menghela nafas. Saat bangun tadi, Emrys sudah tidak ada di tempat tidur. Dia baru tahu jika Emrys pergi ke kantor pagi-pagi sekali dari Grandpa tanpa mengatakan apa pun padanya. Entah Emrys enggan membangunkannya atau karena dia sudah sadar dengan apa yang dia lakukan semalam, Valerie tidak tahu.Namun Valerie bertekad menanyakan hal itu pada Emrys setelah dia kembali.Harus.Getaran di ponselnya membuat Valerie merogoh kantong celana pendeknya lalu melihat layar benda pintar itu.[Valerie, bisakah kita bertemu?]Gadis itu menghela nafas, kembali menyimpan ponselnya ke kantong belakang celananya. Tak lama, benda itu kembali bergetar.[Aku akan
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh