Laras terduduk di tepi ranjang. Air matanya mengalir semakin deras setelah mengetahui fakta yang cukup mengguncang batinnya. Wanita itu tidak menyangka, akan melewati masa seperti ini dimana dia merasa seperti dipermainkan oleh anaknya sendiri.Kecewa, sudah pasti Laras sangat kecewa. Dia juga sangat marah dengan apa yang sudah dilakukan putranya. Namun Laras masih bisa menahan segala amarahnya dan memilih menangis, karena menurutnya percuma dia melampiaskan amarah pada pria yang sudah seharusnya bisa mengambil sikap bijak.Berbeda dengan apa yang sedang dirasakan sang putra saat ini. Di dalam kamar yang berbeda, Rahang Elang jutsru mengeras dengan wajah berubah menjadi merah. Amarah pria itu seketika melonjak naik begitu melihat satu persatu isi paket yang ada di tangannya."Sialan, ini pasti perbuatan Bella," terka Elang, seketika dadanya yang cukup bergemuruh hebat. Pria itu lantas menoleh dan menyusul istrinya yang sudah terbaring di atas ranjang. "Ini cuma rekayasa, Ay, aku sam
"Siapa yang menyebarkan berita nggak bermutu seperti ini sih!" Seru Erna tak kalah terkejut dengan sang kakak, ketika membaca informasi yang mengulas tentang pernikahan kakak laki-lakinya di salah satu media berita online. Laras yang ikut membaca berita itu pun hanya diam meski dalam benaknya, wanita itu juga sudah bergejolak. Seketika itu juga pikiran Laras tertuju pada adik sepupunya karena baru semalam mereka membicarakan tentang ELang dan pernikahannya."Ma, apa ini yang membuat Mama kepikiran semalaman?" tanya Erna. Wanita itu manatap Laras dengan tatapan seperti orang yang sedang menyelidiki."Jangan-jangan iya ya, Ma? Gara-gara gosip ini Mama jadi kepikiran?" Erlin pun ikut menerkanya, "Mama nggak mungkin kepikiran sampai sakit begini, jika bukan karena berita ini? Apa semalam Om Bonar menemui Mama untuk membicarakan gosip nggak jelas seperti ini. Ma?"Laras tidak langsung menjawab. Hatinya menjadi dilema karena dia sendiri bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak.
"Apa Mama beneran setuju dengan rencana Mas Elang?" tanya Ayunda tanpa menatap lawan bicaranya. Wanita itu bersama sang suami kini sudah berada di teras rumahnya sendiri setelah tadi Elang dan Ayunda berbicara dengan Laras."Yah, seperti yang kamu lihat tadi. Meskipun Mama terdiam, tapi dari sikapnya aku yakin Mama setuju dengan rencanaku," balas Elang. Arah pandang pria itu pun sama. Menatap lurus pintu gerbang rumahnya. "Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang akan dilakukan Mas Elang, sampai Mas Elang memohon kepada Mama?" tanya Ayunda lagi. Elang memang tidak mengatakan apa yang dia rencanakan pada Laras dan Ayunda. Pria itu justru meminta kepercayaan pada dua wanita tersebut untuk mengatasi masalahnya sendirian.Elang pun nampak tersenyum sembari menoleh sekilas, menatap wanita yang berdiri di sebelahnya. "Nanti kamu juga akan tahu."Ayunda saat itu juga menoleh, menatap sebentar, pria yang tingginya lebih dari 180 cm itu. Benak Ayunda kembali berkecamuk sampai wanita itu menghel
"Apa, Mbak? Foto yang pernah dilihat Mbak Ayana?" tanya Erna nampak begitu terkejut mendengar penuturan kakaknya. Suara wanita itu bahkan sedikit lebih tinggi dengan mata tajam menatap sang kakak, menuntut penjelasan yang lebih dari itu.Begitu juga dengan Laras. Wanita tiga anak itu sama terkejutnya dengan si bungsu. Meski tidak mengeluarkan suara, dari sorot matanya jelas sekali, kalau Laras sama penasarannya, dan ingin tahu lebih banyak tentang informasi mencengangkan yang baru saja dia dengar.Erlin mengangguk cepat dan terlihat sangat meyakinkan. "Mama ingat kan? Pada hari dimana Mbak Ayana kecelakaan? Waktu itu aku baru saja main ke rumahnya. Aku melihat Mbak Ayana sedang nangis. Waktu aku tanya Mbak Ayana kenapa, di menunjukan foto ini, Ma."Laras semakin tercengang. Sambil menatap putrinya, Pikiran Laras pun saat itu juga langsung bekerja, mencoba mengingat kembali kejadian belasan tahun yang lalu. Begitu juga dengan Erna. Meskipun di saat kajadian itu Erna masih remaja, Wanit
"Pi, kita harus bagaimana sekarang?" tanya seorang wanita kepada suaminya. Dari nada bicaranya, wanita itu tedengar cukup gelisah dengan semua yang sudah dibayangkan, akibat dari perbuatan salah satu anggota keluarganya."Tidak tahu, Mi. Mungkin memang sudah seharusnya kita pindah ke luar pulau," jawab suami dari wanita itu terdengar begitu lemah. Selain panik, wajah pria itu juga sesekali menunjukan kegeramannya karena tidak menduga hal ini akan terjadi kepadanya."Masa pindah sih, pi? Aku nggak mau," satu-satunya putri sepasang suami istri itu merengek, karena dia sangat keberatan dengan kepindahan tempat tingggalnya. Mendengar rengekan sang anak, sontak membuat sang Ayah menatap tajam kepadanya."Kalau bukan karena kebodohan kamu, kita nggak bakalan bernasib seperti ini!" tunjuk Papi lantang dengan segala amarah yang masih membara dalam benaknya. "Papi tuh sudah bilang sama kamu, sudah ngasih peringatan, jangan bertindak gegabah, biar papi aja yang bergerak. Tapi kalian, malah see
Setelah menghubungi seseorang, pria yang saat ini masih duduk di sofa dalam kamarnya kembali terdiam. Matanya menerawang, menatap ranjang yang malam ini hanya akan dia gunakan sendirian. Pria itu mendesah, mengurai sesak yang menghimpit rongga dadanya."Baru tadi pagi kamu pergi, tapi entah kenapa, rasa sepi yang sering aku rasakan kembali melanda hatiku, Ay," gumam pria itu kala kembali teringat akan istrinya. Pria itu kembali terdiam, merenungi segala hal yang telah dia lewati bersama istri barunya. Beberapa kali pula pria itu mendesah, hingga pikirannya buyar saat telinganya mendengar pintu kamar ada yang mengetuknya."Iya, Bi," teriak pria itu menyahuti hingga si pengetuk pintu langsung mmenghentikan ketukannya."Di depan ada Tuan Marco, Tuan," balas sang Bibi dengan suara yang cukup lantang juga. Bukan karena Bibi tidak sopan, tapi agar majikannya mendengar karena pintu kamarnya tertutup."Iya, Bi, suruh tunggu sebentar," sahut pria itu, dan setelahnya suara Bibi pun menghilang.
Seperti yang sudah direncanakaan, saat ini Elang nampak berdiri tegap, menatap gedung tinggi yang bertuliskan nama perusahaannya sendiri. Sebelum masuk ke dalam gedung itu, Elang menghela nafasnya dalam-dalam lalu mata pria itu terpejam, memanjatkan doa serta menenangkan gemuruh di dalam hatinya.Setelah sekian detik kemudian, mata Elang terbuka dan senyum pria itu terkembang. Elang melangkah penuh keangkuhan dan rasa percaya diri yang begitu tinggi, seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Kedatangan Elang yang terlihat tenang tentu menjadi perhatian semua mata yang melihatnya.Ya, semua mata yang menyaksikan sosok Elang saat ini, nampak begitu heran. Dari dalam benak mereka timbul banyak pertanyaan atas sikap yang ditunjukan pemimpin Harmoni grup tersebut. Pria itu begitu tenang, bahkan senyumnya terkembang bersamaan sikap ramah yang dia tunjukan kepada orang yang menyapanya. Sikap Elang yang tidak biasa, membuat semua mata nampak terpukau sekaligus tercengang.Sudah pasti, semua
"Wahh, foto apa itu?" seru beberapa orang kala mata mereka menyaksikan beberapa foto yang terpampang pada layar lebar. Bukan hanya orang-orang yang berada dalam satu ruangan pertemuan dimana dalam ruangan tersebut terdapat banyak wartawan, tapi suara penuh keterkejutan juga menggema dari berbagai pelosok, orang-orang yang menyaksikan tayangan konferensi pers seorang pemimpin perusahaan dari berbagai media."Elang? Kenapa dia bisa berbuat nekat seperti itu? Apa sebenarnya yang dia rencanakan?" gumam seseoang, yang sedari tadi duduk di antara para wartawan. Orang yang memilih kursi di deretan paling belakang tersebut benar-benar tercengang dengan apa yang dilakukan Elang saat ini.Berbagai tanggapan dan dugaan pun mulai bermunculan seiring terpampangnya beberapa foto tersebut. Ada yang mengomentarinya dengan cukup bijak, ada juga yang langsung menghina dan memaki serta menvonis dengan segala perkataan buruk. "Ma, kenapa Mas Elang menunjukan foto-foto itu? Apa Mas Elang mau nyari mati?