"Weleh! Kamu ke sini cuma mau pamer bekas cupangan sama aku nih, Re? Oke! Awas aja! Besok-besok kalau aku nikah lagi, aku pamerin bekas cupangan yang lebih banyak dari kamu!"Reina tergelak, sedangkan Tara mengerucutkan bibirnya sembari mempersiapkan bahan-bahan dari kulkas. Setelah puas tertawa atas pembalasan yang akan Tara layangkan di masa depan, Reina mendekati sang sahabat dan membantu mengambilkan beberapa bahan. "Gimana? Udah paham sama bahan-bahan yang kamu catat kemarin?" tanya Tara."Hm, ada beberapa yang lupa, tapi kalau ngikutin kamu, kayaknya nanti ingat lagi deh.""Oke! Mari kita mulai!"Reina berupaya dalam mempelajari cara memasak kari ayam. Pelahan, dia mampu mengikuti arahan yang diberikan oleh sahabatnya. Meski beberapa kali terdengar seruan Tara yang mengingatkaan Reina untuk mengecilkan api atau memotong dalam beberapa ukuran, Reina mampu mengimbanginya.Pukul sepuluh, masakan pertamanya jadi. Tara bersedekap, berdiri dua langkah dari Reina. Sudah seperti juri d
Reina mencoba untuk membuka mata walau kepalanya pusing bukan main. Sebuah aroma asing menyapa indra penciumannya. Terdengar pula rerintikan hujan menjatuhi satu-satunya jendela yang berada pada ruangan tersebut.Gadis itu mencoba untuk duduk, mengedar pandang dan menemukan dirinya berada di ruangan asing berbau melati yang tak pernah dipijakinya. Reina berpikir sejenak. Hanya butuh beberapa detik baginya untuk menyadari jika dirinya berada di sebuah kamar hotel.Lekas berdiri, dihampirinya pintu kamar tersebut. Terkunci. Entah karena memang sistem dari hotel tersebut untuk meninggalkan satu orang, atau memang disengaja, Reina tak bisa berpikir jernih setelah menggali ingatan mengenai apa yang terjadi sebelumnya."Andre ...."Reina berputar pelan, mencari sesuatu di dalam ruangan yang bisa digunakan untuk menghubungi pacarnya itu. Namun Reina menyadari jika tak ada barang miliknya yang terlihat. Hanya dirinya saja, dikunci di sebuah kamar hotel biasa yang entah berlokasikan di mana."
Gustav membentak sopirnya agar mengemudikan mobil lebih cepat lagi. Tadinya dia sedang melaksanakan makan malam dengan salah satu mitra bisnis yang meminta pembatalan kerjasama, lalu mendapatkan interupsi dari sebuah panggilan masuk. Kepalanya bertambah pusing setelah menyambungkan panggilan masuk dari Sinta. Lima belas menit berikut, Gustav memasuki kediaman kebanggaannya dan langsung berhadapan dengan Alex. Semula Gustav belum mengenali sosok gagah yang berdiri tiga langkah darinya itu, namun Sinta menghampirinya dan memperkenalkan Alex sebagai suami dari Reina sekaligus pemimpin perusahaan Hindrawan yang sekarang."Oh! Pak Alex kan? Ada apa ya, Pak? Saya sampai terkejut, pertemuan dengan mitra bisnis saya jadi saya sudahi karena mendapat pemberitahuan tentang kedatangan Pak Alex di rumah saya. Mari duduk, Pak!""Tidak perlu, Pak! Saya hargai kebaikan Pak Gustav, tapi saya ingin bertanya, di mana anak bapak sekarang?" Putus Alex."Anak saya? Maksudnya Andre?" Gustav menatap sang is
Alex mengabaikan payung yang disodorkan oleh Yohan. Dia tak membutuhkannya selagi Reina belum berada dalam genggamannya. Tentunya, tidak mudah menyuruh Gustav untuk memberitahu keberadaan Andre. Bahkan pria itu masih mengelak, berkata tak mengetahui apa pun soal Andre dan rencana apa yang tengah memutari isi kepalanya.Sinta baru membuka mulut ketika Yohan memperlihatkan bukti wawancara dengan seorang montir yang bertugas untuk mengacaukan mobil yang dikendarai oleh Hindrawan beserta sang istri. Meski Gustav masih ingin bungkam, Sinta tak mau hidup di balik jeruji besi.Mereka merupakan dalang dari kepergian Hindrawan dan sang istri. Motifnya merupakan uang yang tak bersedia dipinjamkan, lalu Hindrawan mengetahui kebohongam besar terkait dana dari pemegang saham yang disalahgunakan.Didasari oleh hal tersebut, Gustav memutuskan untuk memusnahkan Hindrawan. Berbekalkan sebuah harapan, seluruh harta keluarga Hindrawan diturunkan kepada Reina yang akan dinikahi oleh Andre. Mereka sudah b
Sentakan yang berasal dari mimpi buruk bernamakan Andre itu menyadarkan Reina. Napasnya menderukan suatu kelegaan setelah mendapati dirinya terbaring di kamar Alex. Ya, bukan kamarnya sendiri, namun lebih baik begini daripada harus terbangun di tempat lain.Selagi memandangi langit-langit kamar, kesunyian menyertainya, menarik gadis itu pada ingatan mengerikan yang membuat seluruh tubunya bergetar pelan. Kedua tangannya mencengkeram selimut, gigi bergemeletuk ketakutan, dengan mata yang bergerak gelisah.Dalam keremangan kamar yang menyapa pandangan, gadis itu bergerak gelisah. Mencemaskan monster berwujud Andre yang sewaktu-waktu berkesempatan menampakkan diri dari sudut ruangan. Keringat membanjiri keningnya, pendingin ruangan pun kalah dengan trauma baru yang mendera."Reina?""Jangan!"Reina menyembunyikan diri di balik selimut secepat kilat. Napasnya beradu dengan degupan jantung yang menggila akibat kegelisahan membludak. Dari ambang pintu, Alex menghidupkan lampu kamarnya. Laki
"Jadi? Tara bela-belain cariin aku ke alun-alun? Dalam kondisi hujan-hujanan? Cuma karena dia mau memastikan teori kalau aku ketemu sama Andre di tempat itu?"Alex mengangguk sembari menyuapi Reina. Dia baru saja menceritakan perjuangan Tara yang berhasil menemukan sebungkus kari ayam di tempat parkir alun-alun dengan tas kain pemberiannya. Mendengar kari buatannya ditemukan dalam keadaan terinjak-injak, Reina mengerucut sebal."Sialan! Capek-capek masak kari ayam buat Mas Alex, malah dibuang sembarangan sama si berengsek.""Hush!" Alex mengecup bibir Reina sekilas. "Jangan bicara kasar, Reina."Reina tersenyum manis seperti anak kecil yang baru mendapat permen. "Tapi kemarin aku masak kari ayam di rumahnya Tara memang buat Mas Alex lho, sayangnya malah harus ada kejadian mengerikan itu.""Minggu besok, kita masak bareng, gimana? Kamu mau?" tawar Alex.Reina berbinar senang. Cepat-cepat mengangguk, lalu menerima suapan dari Alex sekali lagi. Tak lama kemudian, terdengar salam dari Ren
Alex selesai memindahkan barang-barang milik Reina ke kamarnya, sementara Reina berada di kamar mandi. Selepas pulang dari kantor, senyum yang menghinggapi wajah Alex enggan pudar barang sedetik. Membayangkan dirinya akan memulai rumah tangga yang sesungguhnya dengan Reina, Alex sangat bersyukur dan takkan melewatkan kesempatan berharga ini.Dahi Reina berkerut heran. Alex sudah seperti om-om mesum yang menantikan proses bercocok tanam dengan anak SMA. "Mas, kamu aneh lho kalau senyum terus kayak gitu. Malah merinding aku ngelihatnya."Alex menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya cukup malu dikatai demikian oleh istri manjanya sendiri. Aroma parfum yang disemprotkan oleh Reina menguar memenuhi indra penciumannya. Alex mendekat, menelan ludah susah payah setelah menyadari penampilan Reina yang sangat menggoda."Ka-kamu cantik, Reina."Reina terkekeh, maju selangkah. "Aku tau kok, Mas. Mas Alex kenapa mukanya kayak gitu? Hayooo mesum ya? Katanya mau nunggu sampai aku mendingan?"
Hubungan antara Alex dan Reina kian membaik. Sesuai janji Alex pada sang istri, akhir pekan ini merupakan waktunya memasak bersama. Mereka baru saja keluar dari supermarket, selesai membeli beberapa bahan makanan yang kurang.Setibanya di rumah, keduanya disambut oleh suatu keluarga kecil yang kehadirannya tidak Alex harapkan. Refleks, Reina merangkul lengan Alex saat turun sembari membawa belanjaan."Mas, kok mereka tau kita bakalan masak banyak sih?" bisik Reina keheranan."Mas nggak tau, Reina. Mungkin mereka punya firasat bagus buat bertamu di hari apa." Berdirilah keluarga mantan istrinya dulu. Pak Yitno, Bu Lastri, dan Yunia. Hanya Lastri dan Yunia yang menyambut kedatangan Alex dengan senyum merekah, sedangkan Yitno terlihat tak enak hati."Mas Alex! Aku main nih!" Yunia berseru senang, menghampiri Alex. Melompat secara tiba-tiba hingga mendaratkan dirinya untuk memeluk Alex. "Aku kangen banget sama Mas Alex!"Reina melotot. Beruntung Alex segera melepaskan tangan Yunia dan me
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen