Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Frisca sudah jauh lebih baik, dan ia juga sudah berjalan meskipun tidak keras dan cepat. Bersama dengan Daniel yang tidak sedetikpun meninggalkannya, Frisca merasa sangat terjaga saat Daniel berada di sampingnya. "Papi, kok adik nggak bangun-bangun sih? Dari tadi tidur terus apa dia nggak capek memejamkan mata terus?" tanya Miko, dia berdiri di samping keranjang bayi milik adiknya. "Tidak sayang, justru tadi sekarang belum bisa bermain. Sama dokter adik diminta untuk tidur terus," ujar Daniel pada sang putranya. "Nanti kalau adik sudah besar Miko bisa bermain sepuas-puasnya sama adik." Frisca menyahuti. Miko hanya tersenyum kecil dan anak itu kembali menatap adiknya yang tertidur, dia mengeluarkan jari telunjuknya dan menusuk-nusuk pipi gembil adik bayinya. "Celia... Ayo bangun Dan menangislah yang keras," ujar Miko, ia cemberut karena adiknya tidak bisa merespon apapun. "Hemm... Tidak seru, Miko pikir punya Adik bisa langsung diaja
Miko malam ini duduk di teras rumah sendirian. Anak itu memangku anjing kecil peliharaannya yang Dante belikan. Di sana, Miko diam menatap kilauan air kolam yang sangat terang malam ini. Miko memikirkan kehadiran adiknya di tengah-tengah mereka semua. 'Mami sama Papi, mereka bener-bener nggak ya, Sayang sama Miko? Apa kalau sudah adik, Mami dan Papi sayangnya cuma sama adik? Seperti yang Om Dante bilang?' Miko merasa resah, ia tidak mau kehilangan kasih sayang mami dan Papinya begitu saja. Anak itu kembali mendengus pelan dan ia menggantung kedua kakinya di atas sofa. "Miko kangen Mama Silvia," gumam lirik anak itu dengan kepalanya yang miring dan ekspresinya yang sedih. "Tapi sayang, Mami Silvia kan tidak pernah sayang sama Miko." Miko mengusap-usap kepala anjing kecil yang ia panggung dan anak itu tersenyum manis. "Dulu Miko juga pernah diusap-usap seperti ini, sama Mami dan Papi. Hemm... Sekarang pasti yang diusap-usap adik terus." Tanpa diketahui anak itu, ternyata di bali
"Miko mau sekolah berangkat bareng Papi?" Tawaran itu sangat-sangat tumben dilontarkan oleh Daniel pada putranya, meskipun dalam hati Miko juga bertanya-tanya, mimpi apa Papanya semalam. Bocah itu terlihat sedikit cuek dan murung, mungkin benar kata Dante kalau Miko sedikit takut, kesal, dan anak itu mulai mempertimbangkan posisinya. "Miko." Frisca menatap anak itu lagi. Secepatnya Miko menggeleng. "Eum... Nggak deh, Miko mau berangkat bareng Om Dante aja. Papi kan orangnya sibuk, nanti yang ada Miko buat Papi terlambat," jelasnya. "Nggak kok, kalau cuma ke sekolah saja, Papi bis-" "Nggak usah, Miko nggak mau," sela bocah itu cepatseraya menundukkan kepalanya. Barulah Frisca menatap suaminya dan ia mengangguk meminta pada sang suami untuk menuruti apa yang diinginkan anaknya. Di samping Miko, ada Johan dan Dante. Tatapan mata mereka pada Daniel begitu tulus karena tahu bagaimana kesalnya hati Daniel saat sang putra menolaknya. "Biar Miko bareng Papa aja, Niel. Dante juga har
"Miko, kalau misalnya Miko jadi anak Om Dante, mau nggak?"Dengan perasaan yang jahil seperti biasa, Dante memberikan penawaran yang aneh-aneh pada Miko. Sedangkan anak itu hanya diam mengerjapkan kedua matanya dan memberikan lirikan yang amat sangat tajam pada Dante. "Euumm... Kan Miko sudah punya Mami sama Papi, Om!" seru anak itu. "Kalau Om jadi Papinya Miko, terus tidak punya Mami, itu kan nggak lucu! Miko jadi anaknya Duda gitu, iya nggak, Om?!" Helaan napas pelan terdengar dari bibir Dante, ternyata menyebalkan juga saat seruannya dijawab dengan sangat polos oleh Miko. Tapi tidak salah juga dengan jawaban Miko, bahkan Siera di sana juga terkekeh saat mendengar jawaban dari Miko yang membuat Dante kena mental. "Miko pintar sekali," ujar Siera mengusak pucuk kepala Miko dengan gemas. "Iya dong Tante, lagian pertanyaan Om Dante itu aneh." Miko cemberut menjawabnya. "Ada Tante Siera yang mau jadi Mamanya Miko, gimana?!" Dante tiba-tiba berucap. Siera langsung menoleh dan mel
"Kau punya hubungan apa dengan sekretaris barumu itu, Dante?! Papa lihat kalian dekat sekali." Johan menatap sang putra, Dante yang tengah duduk bersama Frisca yang memangku Celia, hanya diam saja. Dan di sana, Daniel juga memperhatikan Dante yang abai pada Papanya. Memang, Dante selalu mudah mengabaikan Papanya meskipun dia yang selalu dibanggakan. "Pacarnya Dante dia, Pa," sahut Daniel. Demi apapun, ia menolak memanggil Dante dengan embel-embel 'kakak' karena tidak enak pula Daniel dengar. Seketika Dante meraih bantalan sofa dan ia lemparkan pada Daniel dengan sangat mudah. Memang kadang Daniel juga sesuka hatinya mengatakan sesuatu. Tapi kali ini benar-benar membuat Dante kesal. "Enak aja kalau ngomong, punya bukti apa kalau aku dan Siera punya hubungan yang istimewa?!" sinis Dante pada adik iparnya tersebut. Daniel hanya terkekeh. "Aku memang tidak punya bukti apa-apa, tapi aku pikir kau mungkin hanya malu saja untuk mengakuinya." Jawaban dari Daniel membuat Dante merasa t
"Om, besok Miko mau pulang ke rumah, Om tidak mau kasih hadiah apa, gitu?!" Anak itu mengganggu Dante yang tengah sibuk di dalam ruangan kerjanya. Suara Miko yang sengaja membuyarkan lamunan Dante, memang sejak tadi bahkan dua jam lamanya Dante di dalam sana ia tidak fokus pada kerjaannya, melainkan malah berpikir tentang Siera. "Om, dengerin Miko nggak sih!" pekik Miko menatap sang Paman dengan tatapan kesal. Barulah Dante mengembuskan napasnya panjang dan menatap penuh permusuhan pada Miko. "Apa, hah?!" serunya agak sinis. Miko tersenyum kecil. "Itu Om, Miko nanti mau pulang ke rumah Papi. Om Dante nggak ngajak Miko jalan-jalan dulu atau bagaimana, gitu?!" Dante menjentikkan jemarinya di dagu, ia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Om Dante sibuk!" Miko cemberut, tidak biasanya Dante menolak ajakannya. Biasanya malah langsung dituruti dan iya-iya saja. Tapi kali ini Miko sepertinya harus putar otak untuk merayu-rayu Dante. Tiba-tiba saja Miko mengulurkan tangannya dan anak sit
"Miko pulang..." Suara teriakan anak itu seraya bersamaan dengan gedoran pintu depan saat hari sudah malam. Frisca yang tengah bersama Daniel di kamar lantai satu menemani bayinya, sontal langsung berdiri dan Daniel berjalan membuka pintu. Begitu pintu rumahnya terbuka, di depan sana nampak Miko tersenyum lebar membawa banyak paper bag di tangan Dante. "Nih! Bocil-mu narget!" seru Dante dengan mata yang menyipit kesal pada sang keponakan.Miko hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya saja dan memasang wajah-wajah tak berdosa. "Miko kan hanya mau mainan baru!" seru Miko seraya terkikik geli. "Ya sudah sana masuk, ganti baju terus istirahat. Miko bobo sana Mami, temani adik ya, biar Papi tidur di sofa," ujar Daniel pada sang putra. "Iya, Papi!" seru anak itu berlari masuk ke dalam rumah. Frisca yang berada di dalam kamar, ia menengok-nengok ke depan dan menanti-nanti. Ia hanya mendengar suara putranya saja. Sebelum akhirnya nampak Miko membuka pintu kamar setelah beberapa me
Beberapa tahun kemudian...."Kakak... Celia ikut!" Suara terikan itu membuat langkah Miko terhenti di ujung bawah anak tangga, pemuda itu menoleh ke atas di mana Adiknya berlari mengejarnya. Miko menenteng tas kecilnya yang berisi bola basket. Anak itu kini sudah berusia dua belas tahun, dan Miko tumbuh menjadi anak yang mempunyai posisi tubuh tinggi besar. Adiknya yang masih berusia lima tahun kini berlari terbirit-birit mengejarnya. "Mi... Pi... Adik ikut terus!" teriak Miko dengan nada kesalnya. "Ikut!" pekik Celia, anak itu tiba-tiba saja memeluk punggung Miko dari belakang. "Nggak usah, Celia! Kamu ini cengeng, di rumah saja, nanti ikut Mami ke rumah Om Dante, ajakin gelud aja nanti Om Dateng ya, Kakak mau latihan basket... Huhh... Celia!" Miko membanting tasnya ke lantai dan menatap sang adik yang berlari keluar menghadang pintu. Tingkah Celia sangat jahil dan juga nakal, hal itu seringkali membuat Miko merasa kewalahan dan marah-marah karena tingkah adiknya yang sangat-
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just