Pagi ini di rumah Frisca kedatangan kedua orang tua Daniel yang baru saja sampai dari Sepanyol. Mereka ingin bertemu secara langsung dengan Frisca. "Di mana istrimu, Niel?" tanya Silvia menatap putranya, wanita itu membawa koper yang ada di tangannya. "Masih tidur Ma, dia kurang enak badan. Jadi aku menyuruhnya tidur lagi." Daniel meraih koper di tangan Mamanya dan memberikan pada Bibi. Kenan, Papa Daniel nampak berdiri menatap foto pernikahan Daniel dan Frisca. Laki-laki itu tersenyum manis, dia adalah sosok yang Daniel tiru selama ini, laki-laki yang sangat sabar. "Aku tidak menyangka akan berbesanan dengan Johan. Seingat Papa dulu kau ditolak oleh Adiknya Dante," goda laki-laki itu pada putranya. Daniel berdecak kecil. "Papa...." Silvia dan Kenan menoleh ke ujung atas anak tangga di mana nampak gadis cantik berambut hitam lurus berdiri di sana menatap mereka dengan penuh tanda tanya. Tatapan mata Frisca teralih pada Daniel yang tersenyum manis mengulurkan tangannya dari jau
"Istriku di mana Bi?" Suara Daniel mengejutkan pembantunya yang tengah menata makan malam seorang diri. Wanita itu membalikkan badannya dan ragu-ragu menjelaskan pada Daniel karena ada Silvia di ruang keluarga yang tidak jauh dari sana. "Nona Frisca di kamarnya, Tuan. Baru saja naik," jawab Bibi. "Tadi dia makan sing, kan? Frisca tidak makan yang aneh-aneh kan, Bi?" "Tidak Tuan." Bibi tertunduk takut. Tidak. Daniel menyimpulkan kata Tidak, tidak makan siang, dan tidak untuk yang lainnya. Segera Daniel menaiki lantai dua tanpa bertegur sapa dengan Mamanya. Ia sangat kecewa setelah mengetahui sikap Mamanya ke istrinya. Langkah Daniel menuju ke lantai dua. Pelan Daniel membuka pintu kamar, di sana ia menemukan istrinya yang duduk di tepi ranjang, punggungnya terlihat bergetar dan lesu."Sayang, kenapa menangis?" Daniel sontak menekuk lututnya di hadapan sang istri. Ia menatap wajah sedih Frisca, kedua matanya berair dan tertunduk meremas jemarinya. Entah kesedihan apa lagi yang d
Pagi ini semua teman-teman Frisca terkejut dengan kedatangannya di kampus. Rumor kedekatannya dengan Daniel ternyata masih tidak diketahui banyak orang. Daniel melenggang meninggalkan istrinya saat tahu gadis itu ditemani salah satu temannya, Anastasia. Mereka berjalan menuju ke kelas. "Kangen banget pokoknya!" pekik Anastasia memeluk Frisca dengan erat diikuti oleh Allana. "Frisca, sorry ya kita tidak bisa menamanimu saat kau sakit," ucap sedih Allana memeluk Frisca. Frisca mengangguk. "Tidak papa, tenang saja. Suamiku tidak beranjak sedikitpun kok," jawab Frisca berbisik pada mereka. "Aaa... Jadi pingin nikah kan!" pekik Allana menjadi-jadi. "Wahh... Jadi pingin peluk juga!" Suara seseorang berasal dari tepi lapangan basket, Frisca dan kedua temannya menoleh di mana Leon berada di sana memakai jersey basketnya dan tersenyum manis pada Frisca. "Heh buaya buntung, ingat ya, kalau Frisca udah ada pawangnya!" peringat Anastasia pada Leon. "Ck, bawel banget sih pacarnya tukang m
Daniel meninggalkan kantornya lebih awal, ia baru saja ditemui oleh Dante yang marah besar padanya, bahkan kalau Justin tidak di sana, Dante mungkin akan menghabisi Daniel. Dengan perasaan kacau, Daniel mengemudikan mobilnya menuju ke rumah mertuanya. "Apa lagi yang terjadi kali ini, astaga...." Daniel mengusap wajahnya sesekali. Stir mobilnya ia cengkeram erat-erat. Pikirannya yang sangat kacau tentang istrinya. Butuh beberapa menit Daniel sampai di rumah mertuanya. Segara Daniel turun dari dalam mobil seraya menggulung lengan panjang kemejanya dengan tergesa-gesa. Daniel masuk ke dalam rumah, ia sudah disambut dengan Johan. "Maaf Pa, aku terlambat. Aku....""Duduk!" sentak Johan marah, Daniel merasakan kekecewaan lelaki itu. Daniel pun langsung duduk, di rumah cukup sepi dan Mama mertuanya tidak terlihat menyambutnya. Apa lagi Dante yang jelas-jelas marah padanya. "Papa tidak habis pikir denganmu, Daniel," ujar Johan tegas menatap wajah Daniel. "Selama ini Papa memang berlak
Keesokan harinya, Frisca dibujuk oleh Daniel untuk diajak pulang. Daniel berjanji akan melindunginya dan tidak akan membiarkan Frisca kembali disakiti oleh Silvia. Daniel juga menjelaskan pada istrinya untuk mencoba lebih dewasa menghadapi masalah, Frisca punya Daniel yang bisa ia ajak berbicara. "Kak, Frisca takut," lirih Frisca menggenggam tangan Daniel.Daniel merangkulnya erat. "Kenapa takut, Sayang? Ini rumah kita, rumahku sama saja dengan rumahmu. Aku akan meminta pada Mama untuk cepat pulang!" Frisca mendongak menatap wajah suaminya. "Kakak mengusir Mama?" "Heem, dia menyakitimu." "Tapi Kak Daniel, Mama...."Ucapan Frisca terhenti begitu Daniel menariknya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Di sana kedua orang tua Daniel menyambutnya, termasuk Kenan yang begitu merasa bersalah pada Frisca. Laki-laki itu mendekati menantunya dan menatap wajah Frisca yang sangat sedih. "Nak, kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Kenan dan Frisca menggeleng. "Drama! Istrimu itu kebanyakan d
Pagi ini suasan kelas sangat jenuh, semua siswi sudah berdandan centil menunggu Daniel. Tapi belum muncul juga hingga beberapa teman Frisca terlihat kesal. "Frisca, Pak Daniel ke mana sih, kok kelasnya diganti sama Pak Sam?" Brenda, gadis berambut pirang yang duduk di belakang Frisca mulai bertanya. Seolah mereka semua tahu kalau Frisca sumber jawaban dari kebingungan mereka tentang Daniel. Anastasia yang duduk bersama Frisca langsung berdecak pelan. "Apa kau pikir Frisca ini stalkernya Pak Daniel yang tahu ke mana aja laki-laki itu pergi?!" sinis Anastasia. "Ada kok, cuma dia bilangnya tidak masuk ke kelas kita hari ini. Dia pergi meeting pagi tadi di kantornya sama beberapa koleganya dari Praha. Mungkin sekarang sudah di sini." Frisca menjawab dan menjelaskannya secara detail pada teman-temannya. Brenda, Selia, Kalle, dan yang lainnya menaikkan kedua alisnya. Mereka sedikit heran tentang Frisca yang tahu sedetail itu. Kalau Anastasia dan Allana yang tidak lagi heran dengan jaw
Setelah satu minggu Frisca menjalani kehidupan normalnya seperti dulu, tidak ada hambatan apapun. Hubungannya dengan Daniel sangat baik, laki-laki posesif yang terus mengintai Frisca ke manapun Frisca berada. Pagi ini Frisca berada di kampusnya, gadis itu membawa banyak buku dari perpustakaan dengan sangat kewalahan. "Berat," lirih Frisca membawa tumpukan buku. "Ke mana Anastasia, tumben belum datang." Langkah gadis itu melewati sebuah ruangan, Frisca menoleh ke dalam sana di mana nampak Daniel yang tengah mengobrol dengan seorang wanita. Sangat akrab dan begitu dekat. Mereka sedang asik tertawa, bahkan wanita itu juga nampak memukul pelan pundak Daniel. Bisa-bisanya wanita itu genit dengan Daniel. "Ekhem! Cemburu hanya nambah berat, mana bukunya!" Frisca mendongak menatap sosok laki-laki yang berdiri di hadapannya saat ini. Leon berdiri tersenyum manis memakai jersey basketnya berwarna merah. Frisca memberikan semua bukunyapada Leon dengan kasar. "Bawa ini semua, bawa!" pekik
Daniel mengembuskan napasnya panjang kala keluar dari dalam mobilnya seraya menyampirkan mantel hangat miliknya di lengan. Lengan panjang kemeja yang ia gulung sampai siku. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah. Kedatangannya malam ini tidak disambut oleh sang istri kecilnya seperti biasanya. Melainkan hanya Bibi yang sedang menyiapkan makan malam untuk Daniel. "Malam Bi," sapa Daniel membuat wanita itu menoleh ke belakang dan tersenyum. "Malam juga Tuan." Bibi mengembuskan napasnya pelan. "Itu Tuan, Nona sudah makan malam, tadi pulang sore diantarkan Tuan Dante. Katanya tidak mau bertemu Tuan dulu, lagi males kata Nona."Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang dia di mana?" "Nona ada di kamarnya, Tuan." Daniel mendongakkan kepalanya menatap lantai dua, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Keningnya mengerut diikuti alisnya yang terangkat sebelah setelah membaca selembar kertas yang ditempelkan di depan pintu kamarnya. 'Tidak menerima laki-laki genit t
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just