"Selesai makan, kamu langsung tidur. Kalau ada yang di butuhkan, Bunda yang akan membantumu," ujar Tias bersamaan dengan sendokan terakhir yang dia arahkan pada mulut Asih, artinya makan pun selesai.Kemudian Tias memberikan piring di tangannya pada Barra.Barra tentu saja bingung dengan apa yang dilakukan oleh Bundanya, dia bahkan tidak lantas mengambil alih piringnya, yang ada hanya melihat dengan penuh tanya.Dia bingung dengan sikap Tias, mengapa pula memberikan piring kotor padanya."Kenapa diam? Ambil, kemudian antar ke dapur," Tias pun memperjelas maksudnya agar Barra tidak hanya melihat piring di tangannya dan tampak wajahnya yang bingung."Barra?" tanya Barra yang belum percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Bundanya.Lihat saja wajah pria itu, masih saja bingung dengan maksud Bundanya. Padahal sudah demikian diperjelas oleh Tias."Iya, nama kamu, Barra, 'kan?" tanya Tias.Barra pun mengangguk lemah saat mendengar pertanyaan dari Tias dengan wajah bingungnya, hingga akhirn
"Ya, ampun. Hampir saja wajahku yang terkena daun pintu," gumam Barra yang penuh dengan kekesalan.Dia benar-benar merasa diperlakukan layaknya orang asing oleh wanita yang sangat menyayanginya dan melahirkannya itu dalam sekejap saja.Dan itu semua karena kehadiran Asih, di tambah dengan calon anaknya."Baru di perut Ibunya saja sudah berhasil menggeser posisi ku, apa lagi setelah lahir nanti?" Barra pun bergumam sambil mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring.Dia sibuk memikirkan sesuatu hal yang kini sangat berubah drastis, yaitu posisinya yang benar-benar sudah bergeser dari anak kesayangan, berubah seakan menjadi anak tiri.Tapi ada hal yang membuatnya menjadi lebih penasaran, yaitu sikap Asih dan keanehan yang terjadi pada wanita tersebut.Dia pun mengambil ponselnya dan mencoba untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap Asih yang sangat drastis itu.Hingga mendadak dia pun mendudukkan tubuhnya kembali setelah mengetahui bahwa Sandi menemui Asih di toko.Barra pun berpi
"Sopan? Kamu bicara soal kesopanan?" Asih pun menantang Barra, dia tak mau mengalah sama sekali.Karena menurutnya Barra menuduhnya tanpa jelas alasannya, apakah mungkin dia hanya bisa diam menerima itu semua."Ya, kamu semakin kesini semakin tidak karuan saja. Ada apa? Apa setelah bertemu dengan, Sandi?""Apa hubungannya? Tidak ada!" Asih pun menepis semua tuduhan yang diberikan oleh Barra padanya.Barra pun mencoba untuk diam, mungkin Asih demikian karena pengaruh hormon kehamilan.Barra tak ingin pertengkaran berlanjut dan malah menciptakan sebuah masalah."Kenapa diam? Apa yang aku katakan benar, makanya kamu diam, karena memang tidak punya alasan untuk mengelak lagi. Kamu, dan, Sandi bersaudara dan sama-sama bersaing mendapatkan aku. Agar merasa hebat, kamu jahat!""Aku dan Sandi memang bersaudara, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak.""Lalu apa?" Asih pun membuang tatapan matanya, dia lebih memilih untuk melihat arah lain dari pada Barra di hadapannya.Kesal sekali rasanya, u
"Ada apa ini? Kalian bertengkar?" tanya Tias yang tiba-tiba muncul.Awalnya dia hanya melihat saja, tapi dari kejauhan sana matanya melihat Barra dan Asih yang sedang berbicara dengan wajah serius.Dirinya yang penasaran pun langsung menghampiri anak menantunya tersebut, tujuannya hanya satu.Dia tak ingin pertengkaran keduanya membuat janin di rahim Asih malah mendapatkan imbasnya.Tapi saat dia bertanya kedua orang itu hanya diam sambil melihat dirinya."Kenapa tidak menjawab, Bunda nggak mau ada pertengkaran. Karena, sebesar apapun masalahnya, akan tetap ada jalan keluarnya," tambah Tias lagi."Nggak ada masalah apa-apa, Bun, hanya saja ada orang yang marah-marah tidak jelas sebabnya apa," jelas Barra.Barra pun melihat Asih, begitu juga dengan Tias yang ikut melihat Asih juga."Enak aja, aku nggak marah-marah tidak jelas. Aku marah jelas penyebabnya!" kata Asih yang juga berusaha untuk membela dirinya."Ya, dan masalahnya kamu cemburu!" jawab Barra lagi.Asih pun hanya bisa diam s
Cinta?Apa lagi itu yang ada di benak Asih, mengapa jadi dia yang merasa tidak nyaman untuk melihat wajah Barra saja."Tapi, ngomong-ngomong soal cemburu, kata orang-orang, cemburu itu tanda cinta," lanjut Barra.Glek!Nah, kenapa kali ini Barra malah merangkak menjadi seorang cenayang?Lihat saja, dia bahkan tahu apa yang tengah di perdebatan oleh Asih dengan pikirannya sendiri.Sulit dimengerti, tapi haruskah Barra mengetahui perasaan yang ada?Tapi rasanya itu tidak perlu, sebab itu terlalu memalukan sekali bagi Asih tentunya."Istri, Mas kok diem? Tapi, tidak membantah apa yang, Mas bilang berarti benar!" kata Barra lagi."Apaansih, sok tahu!" Asih pun segera menuju kamar mandi, dia tak ingin Barra tahu tentang dirinya yang menegang karena ucapan Barra yang begitu manis.Asih pun segera mencuci wajahnya, dia melihat wajahnya dari pantulan cermin.Sesaat kemudian kembali mengingat panggilan Barra untuknya."Cantik."Ah, lagi-lagi dia berbunga-bunga karena panggilan sederhana itu.T
"Lihatlah pria itu, bahkan dia juga tidak perduli. Dia pergi begitu saja, sangat menjengkelkan!" gerutu Asih.Asih belum juga bisa meredam kemarahannya, apa lagi saat Barra memutuskan untuk pergi dengan begitu saja."Bilang aja kalau sebenarnya dia nggak sayang sama aku, nggak cinta. Dasar pria aneh!" kata Asih lagi yang kini sibuk berdebat dengan dirinya sendiri sambil memunggungi pintu.Tanpa sadar jika Barra berada di sana, dia kembali untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan di atas sofa. Sebuah laptop yang seharusnya dia bawa untuk memeriksa beberapa pekerjaan meskipun berada di dalam rumah.Namun, dia malah mendengar sesuatu yang sepertinya sangat lucu.Awalnya dia pikir sebuah pernyataan tidak perlu, karena mengingat sudah sama-sama dewasa.Bukankah perlakukan jauh lebih membuktikan?Baiklah, mungkin bagi seorang wanita seperti istrinya sedikit berbeda.Barra masih berdiri di sana, menggaruk alisnya sambil terus berpikir melihat istrinya yang sibuk berbicara sendiri menunggui d
Dua jam berlalu, Asih masih saja merasa tidak tenang.Penyebabnya pun masih saja sama, yaitu Barra.Hingga kini dia pun menjadikan meja sebagai tempat untuk menopang tubuhnya.Kedua tangannya mengetuk-ngetuk meja, dan tak mengerti harus bagaimana.Mungkin bagi orang lain itu bukan masalah rumit, hanya saja berbeda dengan Asih yang sedang mengandung dan agak sensitif.Mungkin saja karena hormon tersebut hingga sulit rasanya untuk mengendalikan pikiran.Huuuufff.Asih pun menarik napas saat melihat Nilam keluar dari ruangannya."Nilam!" seru Asih yang sedang tak ingin sendiri, dia ingin di temani, itu saja."Bentar, Mbak."Nilam tetap memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut.Lagi-lagi Asih menarik napas dan itu sudah untuk yang kesekian kalinya.Satu menit, dua menit, dua puluh menit kemudian."Mbak Asih, gimana kalau kita makan? Aku lapar," kata Nilam yang kini akhirnya kembali lagi setelah beberapa saat lalu keluar.Asih pun tersentak kaget, mendengar suara Nilam yang tiba-tiba.
Sampai saat ini akhirnya Barra hanya diam, antara bingung harus melakukan apa dan juga malu karena sudah bersikap seperti orang bodoh."Kok, Mas, diem?" tanya Asih karena sampai detik ini Barra masih saja diam sambil berdiri saling berhadapan dengan Asih.Asih juga penasaran apa yang kini dipikirkan oleh seorang Barra.Yang jelas semoga saja semoga saja suaminya itu tak bersikap lebih aneh, karena Asih sudah mulai tak bisa menahan tawa karena kelucuan ini."Hehehe," Barra pun menggaruk kepalanya, untuk hal seperti ini sungguh dia sangat sulit untuk meluapkannya."Oh, ya, Mas, itu contekannya jatuh," Asih menunjuk ada sebuah kertas kecil.Asih tau kertas tersebut ada tulisannya, contekan untuk mengungkapkan sebuah kalimat cinta yang barusan keluar dari bibir Barra.Ingin rasanya Asih tertawa lebar saat ini juga karena mengingat bertapa konyolnya Barra, namun sampai detik ini pun dia masih berusaha untuk menahan diri. Sekaligus menghargai usaha suaminya itu, bagaimana pun ini tak mudah
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan