Jarum jam sepertinya sangat lama berpindah dari tempatnya, padahal dari tadi Asih terus saja melihat jam yang terpasang di dinding kamarnya.Dia merasa waktu siang sangat lama sekali tiba, karena sudah tak sabar untuk segera pergi bersama dengan Barra.Sialan memang, mengapa dia menjadi seperti ini? Asih pun menyadari keanehan dirinya yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya, dan semuanya beralasan karena seorang pria yang dulunya sangat dia benci.Bahkan seperti seorang perawan yang tengah mabuk kasmaran saja, rasanya ini sangat diluar logika.Hingga dia pun segera menuju kamar mandi, memilih untuk mandi kemudian memilih pakaian yang menurutnya paling bagus dan paling cocok untuk dia pakai.Walaupun masih harus menunggu sampai waktu siang.Namun, layaknya wanita yang tengah dimabuk asmara. Asih merasa pakaiannya tidak ada yang benar, semuanya sangat tidak bagus sama sekali.Hingga wajahnya pun tampak murung sambil terus menatap pakaiannya."Aku pakai yang mana, coba? Nggak ada yang
"Kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Barra sesekali melirik Asih duduk di sampingnya.Asih pun menggelengkan kepalanya, rasanya untuk berbicara saja bibirnya terlalu berat.Ada apa?Ada getaran di dada yang tak kunjung mereda, setelah mendengarkan kalimat manis yang terucap dari bibir Barra.Dia bahkan baru tahu jika Barra bisa berucap dengan begitu manisnya."Kita sudah sampai."Asih pun melihat sekiranya, tampak sebuah restoran di hadapannya.Restoran yang cukup mewah dan sepertinya akan menjadi tempat makan siang mereka berdua.Saat tangannya bergerak untuk membuka pintu, tiba-tiba saja Barra menahannya."Ada apa?" tanya Asih bingung."Biar, aku saja yang membukanya."Asih pun mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil, dia hanya diam sambil melihat Barra yang duluan turun dari mobil.Kemudian setelah itu membukakan pintu mobil untuk dirinya.Waw, sungguh luar biasa meskipun hanya sebuah perlakukan yang sederhana."Terima kasih," Asih pun perlahan turun dari mobil rasanya sep
Setelah itu kini rasanya lebih menegangkan, ada rasa malu yang dirasakan oleh Asih.Ya, dia menyadari apa yang barusan dia lakukan. Pasrah saat Barra menarik tengkuknya.Kenapa bisa dia menjadi seperti ini?Merespon dengan baik saat-saat yang paling menegangkan itu."Ayo turun."Asih pun melihat Barra yang sudah membukakan pintu untuknya, dia pun tersadar ternyata mereka sudah sampai di tempat tujuan.Seorang penjual rujak di sisi jalan seperti apa yang diinginkan oleh seorang Asih.Kenapa bisa dia tidak menyadarinya, bahkan sampai Barra sudah membukakan pintu untuknya saat ini, ataupun mungkin karena terlalu larut dalam pikirannya yang sungguh menguras tenaga.Akhirnya Asih pun turun setelah itu keduanya pun duduk di kursi sambil menunggu rujak pesanan mereka tiba.Tanpa ada kata yang keluar dari mulut keduanya sama sekali, ada apa?Mungkin masih merasa malu setelah kejadian di lampu merah tadi.Hingga kini keduanya pun sudah mulai menikmati rujak yang sepertinya cukup membuat Asih t
"Aku serius," kata Barra lagi.Asih pun akhirnya selesai makan dia pun kini menatap wajah Barra yang lagi-lagi membuat dadanya berdegup kencang."Wah, ini wanita yang meminta tanggung jawab itu, kan?" ucap seorang wanita yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Asih dan juga Barra.Asih dan juga Barra pun melihat wanita tersebut, ternyata itu adalah Fera yang tak lain adalah Ibu dari Sandi.Wajah wanita itu tampaknya hanya menunjukkan kebencian mendalam terhadap Asih, seketika matanya pun melihat perut Asih."Hey, kau juga bisa terjebak dalam kebusukan hati wanita ini. Dia bisa menjadikan mu kambing hitam!" papar Fera pada Barra.Asih pun menunduk dia sangat malu sekali saat mendengarkan seorang wanita yang menuduhnya tanpa belas kasih.Tanpa dasar yang jelas, bahkan tanpa ingin mencari tahu kenyataannya sebenarnya."Dia ini hamil entah anak laki-laki yang mana, tapi dia meminta tanggung jawab pada putraku. Dia ini wanita murahan, suka tidur dengan pria mana saja, aku hanya mengingatkan
Setelah kejadian tadi kini wajah Asih benar-benar berubah menjadi murung, sepertinya pikiran wanita itu benar-benar kacau seketika.Tidak lagi ada senyum manis seperti sebelumnya, bahkan dia juga mendadak bertanya-tanya apakah Barra benar-benar yakin jika anak di rahimnya adalah anaknya.Asih tak mau seseorang bertahan dengan dirinya karena sebuah keterpaksaan saja.Tapi dia juga bingung hal apa yang membuat Barra memilih untuk tetap bertahan dalam pernikahan ini, apakah karena Tias?Karena dia adalah anak yang berbakti pada Bundanya, dan semata-mata hanya untuk Bundanya saja?Ini sangat membingungkan."Kamu masih memikirkan ucapan wanita tadi?" tanya Barra sambil terus saja melihat jalanan.Hanya saja dia merasa Asih sudah jauh berbeda dengan sebelumnya.Dia yakin penyebabnya adalah Fera, karena hanya wanita itu yang barusan mereka temui tanpa sengaja, ucapan wanita itu memanglah sangat tajam. Lebih tajam dari belati sekalipun.Padahal seharusnya tidak sewajarnya seorang wanita yang
Yang ada justru Barra yang banyak bicara, dulu dan sekarang seakan begitu jauh berbeda.Sangat jauh dan tak pernah terpikirkan oleh seorang Asih, jika bisa melihat tingkah laku Barra yang sangat aneh ini.Aneh bagi dirinya yang belum mengenali Barra dengan jauh."Coba tersenyum," pinta Barra."Senyum?" tanya Asih bingung."Senyum," Barra pun menarik kedua sudut bibir Asih dengan tangannya sendiri.Supaya apa?Tentu saja untuk melihat Asih kembali tersenyum tanpa harus terbebani karena ulah wanita tadi."Apaansih, nggak jelas banget," gerutu Asih sambil berusaha melepaskan tangan Barra dari bibirnya."Nah, gitu dong. Senyum, kan, enak di lihat," ujar Barra."Enak? Memangnya makanan!" gerutu Asih."Iya, kalau kau siap aku juga bisa memakan mu," jawab Barra."Apaansih!"Asih pun memukul lengan bagian atas Barra, karena semakin lama Barra semakin berbicara sembarangan.Dan setiap kalimat yang keluar dari mulut pria itu rasanya hanya omongan yang tak bermakna sama sekali.Lihat saja sampai
Seketika itu juga Asih mengingat satu perkataan Nia sebelumnya.Ada kejutan yang disiapkan oleh Nia, Apakah mungkin kejutan ini yang dimaksud oleh Nia?Sepertinya memang begitu adanya, karena siapa lagi yang bisa melakukan apapun selain Nia di rumah tersebut.Namun, saat ini malah menjadi masalah besar untuk Asih.Rasanya sangat geli sekali harus tidur di tempat seperti ini.Apa lagi bersama dengan Barra, rasanya sangat luar biasa.Akhirnya perlahan kaki Asih pun melangkah masuk, bahkan kakinya menginjak mawar yang bertaburan di lantai.Dia juga penasaran dengan pintu kamar mandi yang terbuka lebar, ada bunga pula ke arah sana.Dan ternyata benar, kamar mandi pun tidak lepas dari hiasan yang sangat indah.Hanya saja sepertinya ini tidak tepat untuk Asih, sebab dirinya dan Barra belum seperti pasangan suami istri pada umumnya.Lantas bagaimana?Entahlah, tetapi perasaan Asih benar-benar sangat tegang sekali.Padahal, baru saja dirinya lepas dari ketegangan. Namun, sepertinya hal itu ta
Asih masih saja terdiam di tempatnya, tepatnya berdiri dengan tegak di depan pintu almari dengan pikirannya yang benar-benar sangat kacau.Membuat Barra pun bingung dan memutuskan untuk berjalan ke arah Asih.Dia ingin melihat lebih dekat lagi keadaan Asih, sebab wajah Asih memang tampak sangat pucat.Tentunya Barra khawatir akan keadaan yang seperti ini, mengingat Asih sangat sulit untuk makan.Belum lagi sering merasa mual, namun sulit untuk muntah.Belum lagi ada janin yang membutuhkan nutrisi yang cukup dan itupun masih harus berbagi dengan Ibunya."Kamu sakit?" tanya Barra yang kini sudah benar-benar sangat dekat dengan Asih.Tangannya pun bergerak memegang dahi Asih, memastikan suhu tubuh wanita itu dengan benar.Tetapi sepertinya tidak ada yang salah, karena suhu tubuh Asih tampak normal meskipun wajahnya tampak begitu memucat.Asih pun semakin terkejut melihat Barra yang ternyata sudah berdiri di hadapannya.Sejak kapan?Ya, ampun Asih. Sepertinya kamu itu sangat stress memiki
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan