Tamu seharusnya dihormati tuan rumah. Tapi bila tamunya seperti mereka, apakah aku masih wajib menghormati? Tentu tidak! Menurut teori sendiri tapi.Setelah semua keluar dari mobil, barulah kutahu, siapa saja yang datang. Mbak Eka dan suami, kedua mertua serta Rani. Seneng dong mereka saat ini? Berkumpul semua keluarga di rumah itu, kecuali aku. Ah lupa! Aku kan tidak dianggap keluarga.Keluarga mertuaku saat ini tengah melepas penat di teras dengan berselonjor kaki. Belum ada yang mengajakku bicara. Mereka mengobrol sendiri tanpa melibatkan menantu yang diabaikan ini. Mudah-mudahan sebentar lagi akan nebjadi calon menantu.Kubawa diri ini masuk ke dalam, hendak membuatkan minum. Kebetulan ada mbak Wati yang sedang melakukan pekerjaan rumah tangga. Maka kuminta saja sekalian membuat minum. Lalu aku kembali
Bapak datang dari arah pintu. Keluarga mertua seketika berdiri bersalaman dengan beliau. Bapak menyalami dengan tanpa sikap ramah seperti sebelum terjadi masalah ini. Kuambil kursi plastik untuk duduk, karena sofa di ruang tamu tidak cukup.“Pak Rahman apa kabar? Lama tidak berjumpa. Tidak pernah main-main ke rumah kami, kenapa pak?” Bapak mertua bertanya dengan ramahnya.“Alhamdulillah, baik. Iya tadinya minggu-minggu besok saya akan ke sana. Ingin menengok Agam, barangkali sakit apa gitu, sekian lama tidak berjumpa di rumah ini.” Bapakku menjawab sambil menatap tajam Mas Agam.“Ah tidak sakit apa-apa, Pak. Hanya saja, Aira lagi manja banget sama Agam, jadi susah ditinggal…” Ibu mertua menyahut sambil tertawa kecil. Dikiranya lucu, tapi Bapakku sama sekali tidak tertarik untuk menertawakan. Beliau malah melirik sinis pada Aira yang bergelayut manja pada pangkuan suami mbak Eka. D
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
Mencoba mendorong tubuh kekar yang kini memelukku dengan erat bukanlah sebuah hal mudah. Meski saat adu kekuatan dengan gundiknya, aku menang telak, namun Mas Agam seorang lelaki yang memiliki tenaga jauh lebih kuat dariku. Dalam kepasrahan tanpa bisa melawan, muncul sebuah ide gila. Wajahku kini berada di dadanya, kugunakan gigi runcingku untuk menggigit.Dia mengaduh kesakitan, dan saat bersamaan, terlepas tangannya dari tubuh ini.“Nia, kamu gila ya? Kenapa menggigitku?” Tanyanya dengan muka masih meringis menahan sakit.“Sakit Mas? Bentar lagi sembuh kok. Beda dengan luka yang kau ukir dalam hati ini. Tak sesederhana itu hanya dengan kata maaf. Kamu fikir aku apa hah? Hatiku ini batu? Setelah apa yang kamu lakukan terhadapku, setelah segala keburukan kau torehkan dalam kehidupan rumah tangga kita, semudah itukah mengharap maaaf dariku? Jangan mimpi!&
Semalaman aku berfikir keras tentang keputusanku. Mempertimbangkan dampak baik buruknya terutama bagi anak-anak. Bila aku bercerai, ototmatis, Dinta dan danis menjadi anak yang hidup tanpa ayah. Akan tetapi, bila terus bersama Mas Agam, tidak bisa dipungkiri hatiku menolak. Lagipula bukankah selama ini, anak-anakku memang sudah hidup seperti tidak punya sosok ayah? Kupandangi wajah polos mereka berdua saat tengah terlelap. Ada rasa sakit yang menusuk dalam relung hati ini. Mengingat betapa nasib mereka berdua tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki keluarga dan orangtua yang harmonis.Di sepertiga malam, kugelar sajadah. Memohon petunjuk yang terbaik yang harus kulakukan. Karena keputusan kita bisa saja salah, bila tanpa meminta diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa***Pagi hari, aku kembali ke rumah. sembari mengecek, apakah Mas Ag
Rupanya, keberadaan Mas Agam di sini bukan sebuah niat tulus ingin menjalin kembali biduk rumah tangga kami yang hampir hancur, tapi karena, lagi-lagi demi keluarga tercinta. Baiklah kalau begitu. Kamu jual, aku beli, Mas.Setelah sekedar menemani anak-anak makan siang dan bermain, aku kembali ke rumah.Hari ini, kebetulan ada janji dengan reseller yang bernaung pada memberku untuk mengadakan kopi darat di sebuah rumah makan. Mereka berjumlah tiga puluh orang, sekaligus acara tasyakuran bagi pribadiku karena diberikan kemudahan dalam menjalankan bisnis ini. Dan keberhasilanku tentunya tak lepas dari peran mereka, para reseller yang dengan semangat memasarkan produk. Acara akan dimulai jam dua siang. Salah satu dari mereka yang secara hubungan pertemanan paling dekat denganku, sudah kuminta untuk memesan menu ikan bakar terlebih dahulu.Masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Agam sedang tidur di
Di tempat pertemuan dengan para reseller, sudah pasti kami berfoto-foto bersama. Hal itu menjadikanku ingin mengunggah ke story whatsapp. Kutulis caption, ‘Kalian luar biasa. Tanpa kalian aku bukan siapa-siapa… emot love.Sebuah notifikasi masuk membalas story yang kupajang. Dari Mas Agam.[Dek, kamu dimana?][Mas susul, ya? Pakai motor kamu.]Hanya kubaca tanpa kubalas. Lanjut acara sharing dengan para reseller. Seperti menemukan dunia baru saat berjumpa muka dengan mereka. Benar kata pepatah, kita harus sakit dulu agak merasakan nikmatnya sembuh. Dalam hati bertekad, aku harus lepas dari Agam dan keluarganya. Namun, akan kugunakan cara cantik untuk membalas sakit hatiku.Sebuah notifikasi kembali berbunyi. Kali ini dari Pak Irsya.
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”