Penilaian akhir semester untuk anak sekolah jenjang Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak dilaksanakan secara serempak. Aku sudah meminta Fani untuk booking hotel di Bali. Rencananya, kami akan membawa mobil ke Pulau Dewata itu, agar tidak harus menyewa transportasi di sana. Sudah bisa dipastikan, tarifnya sangat tinggi.
Dinta dan Danis sangat bahagia mengetahui hal itu. Aku tidak memberi syarat khusus untuk piknik kali ini. Kurasa, apa yang dialami mereka sangatlah berat. Tak perlu menambah beban dengan menuntut agar mendapat nilai terbaik saat tes nanti. Biarlah hidup anak-anak memgalir begitu saja. Yang penting aku terus memberikan pemahaman etika dalam bertingkah laku.
Siang itu, selepas pulang mengajar, aku mengoreksi hasil tes anak-anak didikku. Sengaja kubawa ke rumah agar bisa mengerjakannya sambil bersantai. Di tengah kesibukanku, bel rumah berbunyi. Dengan malas, kuberanjak untuk membuka pintu.
Sesosok laki-laki baya bersama dengan pria yang seumuran
Telunjuknya selalu diarahkan padaku saat berbicara. Menandakan diri ini begitu salah dan rendah di hadapannya.“Terus, Mbah inginnya bagaimana? Mbah ke sini maunya apa?” tanyaku sengaja mengalah, tapi bukan berarti aku akan mengabulkan keinginannya.“Ya, minta supaya kamu itu memberikan Agam bagian dari harta yang dikumpulkannya di sini.” Intonasi yang keluar dari mulut pria ini, selalu palan dan terarah, tapi menusuk.“Mbah, kalau ada yang Mas Agam kumpulkan di sini, pasti saya kasih. Tapi, memang tidak ada yang Mas Agam beli, Mbah. Yang dikatakan Pak Hanif, itu bohong. Masa iya, Simbah tidak malu, minta-minta barang yang bukan miliknya?”“Kok, aku bingung? Kata Hanif, Agam yang beli. Kata kamu, kamu yang beli. Yang benar itu yang mana? Wong kok senenge minta bener semua. Siapa yang salah kalau seperti ini?”“Memang kenyataannya seperti itu. Yang ada, Mas Agam beli tanah juga yang di sana
“Kalau di pinggir jalan begitu, biasanya laku mahal, ya, Gun?” Pandangannya menoleh pada ojeknya.Yang ditanya iya-iya saja. Posisi duduknya kembali ditegakkan. Tangan kanan lelaki itu meremas mulut dan hidung. Semakin terlihat wibawanya di mataku.“Yawes, kamu saya maafkan. Ya, kan, saya itu tidak akan marah sama kamu? Asalkan kamu itu jujur. Sudah, tidak apa-apa. Tak doakan Gusti Allah mengampuni dosamu, Nia.”“Nggeh, Mbah. Aamiin yaa robbal alamiin.” Kuusapkan kedua telapak tangan ke muka untuk mengaminkan doanya.Ya Rabb, semoga Engkau benar-benar memberikan ampunan padaku.“Tak ke sana, ya? Sebelah mana? Bisa jalan kaki atau harus naik motor?”“Naik motor saja, Mbah. Soalnya agak jauh,” jawabku. “Sebenarnya saya ingin membuatkan bengkel untuk sampingan Mas Agam. Rencananya mau buat kejutan.”Kami berdua bangkit bersamaan. Kupersilahkan kakek Mas Agam me
AntiAku dan Mas Agam adalah sepasang kekasih sejak masih berseragam abu-abu. Kami berdua dijuluki pasangan paling serasi pada masanya. Tak ada hari tanpa kami lewati bersama, kecuali saat salah satunya harus izin karena sesuatu hal.Uang sakuku berarti uang saku Mas Agam, begitupun sebaliknya. Tidak ada rahasia antara satu sama lain. Banyak impian yang kami rangkai bersama, membayangkan indahnya maghligai rumah tangga yang kelak akan kami arungi bersama.Gaya pacaran kami, sudah lebih dari batas normal cinta remaja kala itu. Aku dan Mas Agam sering melewati waktu hanya berdua, di saat rumahku atau rumah Mas Agam dalam keadaan sepi.Selepas lulus SMA, hubungan kami masih dekat. Jarak yang ditempuh dari rumahnya menuju tempat tinggalku hanya tiga puluh menit. Saat itu, baik aku maupun Mas Agam, belum memiliki arah maupun tujuan dalam hidup.Beberapa bulan kemudian, dirinya berpamitan untuk merantau ke Jakarta untuk mengais rezeki dengan membantu pam
Januari menjadi masa hujan selalu turun sepanjang hari. Namun, kami tetap berangkat, karena sepatutnya menjalankan tugas sebagai abdi negara. Rintik hujan yang turun sepulang mengajar itu, menciptakan hawa dingin. Berada di atas kendaraan dan memakai satu mantel bersama orang yang dicintai mengundang tubuh ini untuk merapat pada punggung Mas Agam. Aroma parfum menguar, laksana magnet untuk semakin menempel. Tanpa malu, kulingkarkan lengan pada perut lelaki yang masih berstatus bujangan ini.“Anti, jangan nakal!” ucapanya, malah emakin membangkitkan hasrat untuk mendekat.“Kangen,” jawabku, manja.Aku paham apa yang dirasakan mantan kekasihku saat itu. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untukku mengenal pribadinya, termasuk juga perihal itu.“Kita jangan pulang dulu, ya, Mas,” pintaku masih dengan nada manja.Tanpa kusadari, Mas Agam berkendara sangat lama. Kita berhenti di sebuah villa. Di sanalah, untuk pe
Mas Tohir sampai membatalkan jadwal berlayar dan memilih pulang. Semua ATM disita. Aku sudah tidak punya apa-apa, karena gajiku selalu habis untuk menunjang penampilan. Keluargaku juga berada di pihak Mas Tohir. Ditambah lagi, anak semata wayangku dibawa Mas Tohir ke rumah orang tuanya, sampai saat ini aku tdak boleh menemui.Hendak dilaporkan ke polisi, Pak Hanif membayar denda sejumlah dua puluh juta, menggunakan uang yang akan digunakan untuk beribadah umroh.Singkat cerita, kami digugat cerai oleh pasangan masing-masing, tanpa diberikan harta gono-gini. Diperparah dengan turunnya surat mutasi kerja menjadi staff TU di salah satu kecamatan, sanksi atas perbuatan amoral yang telah kami lakukan. Sedangkan Mas Agam menjadi staf UPT di kecamatan lain.Sedikit penyesalan hadir dalam relung hati ini, manakala mengingat kehidupanku yang dulu bergelimang harta, kini harus serba menghemat pengeluaran. Mas Agam berjanji langsung menikahiku, setelah masa idah sele
Liburan ke Bali sudah usai. Saatnya kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Dan tentang permintaan bapak, aku belum terlalu memikirkannya. Biar saja mengalir sesuai takdir yang Allah gariskan. Dan malam ini, kami baru pulang dari mal. Anak-anak puas bermain di sana. “Mbak, makan di alun-alun, yuk?” ajak Fani yang duduk bersama Dinta di belakang. “Boleh, tuh.” Aku mengangguk setuju. “Fan, kamu gak ingin belajar nyetir? Buat gantian kalau kita pergi bareng.” “Iya, nih. Tante Fani kenapa gak bisa nyupir? Kan, ketinggalan jaman. Ibu aja, yang udah mau tua, bisa nyupir.” Pertanyaan polos Danis mengundang tawa keras adik semata wayangku. Mendengar aku dikatakan mau tua, tentu saja gadis itu bahagia. “Danis pinter banget, sih? Ibu udah mau tua, ya? Bener banget, tuh. Tapi, gak inget umur, dandannya suka heboh banget kalau keluar rumah.” Gadis yang duduk di sebelah Dinta tertawa terus. “Tapi, gak apa-apa. Ibu tinggal sendiri, jadi haru
Tak ada pilihan lain. Aku sangat lelah, pasti tidak bisa konsen menyupir. Demi keselamatan bersama, aku menyetujui juga. Perihal bapak, diurus belakangan.Pak Irsya menggendong Danis yang mulai mengantuk. Kami berjalan beriringan menuju parkir mobil. Pria itu juga menelpon seseorang. Tak lama, datang sesosok pemuda dan segera menerima kunci mobil yang terulur dari Pak Irsya.“Dinta di depan, ya?” pintanya.Si kakak mengangguk saja, dirinya juga pasti kelelahan.Setelah kami masuk semua, mobil mulai berjalan pelan, tanpa ada obrolan di antara kita. Hanya suara Fani yang terdengar tertawa sendiri. Kadang, gadis itu berkata tidak jelas. Sepertinya, sedang bertukar pesan dengan seseorang. Danis juga sudah tertidur di pangkuanku.Di tengah perjalanan, Pak Irsya menepikan mobil. Pria itu sedikit membungkuk ke arah Dinta yang duduk di jok depan. Setelahnya, sandaran kursi anak gadisku dimiringkan ke belakang. Ternyata, Pak Irsya melakukan itu
Siang itu, aku baru selesai mengurus pesanan bersama Sinta, pekerja khusus produk kecantikan. Tiba-tiba aku dan Fani dipanggil ke ruang makan oleh bapak. Perasaanku mengatakan, ada sebuah masalah serius. Jangan-jangan, perihal tadi malam. Diriku sudah pasrah kalau harus dimarahi.Aku dan Fani duduk berdampingan, berhadapan dengan Bapak. Sedangkan ibu, berada di depan pintu belakang sembari membersihkan beras di tampah.“Nia, jawab jujur. Semalam, kamudiantar pulang sama siapa?”Dugaanku tepat. Pasti Dinta dan Danis sudah menceritakan semua yang terjadi tadi malam. “Diantar Pak Irsya, Pak,” jawabku dengan nada takut.Lelaki yang duduk di hadapanku itu terdengar mengambil napas dalam. “Kamu sudah tahu bapak tidak ingin kamu dekat dengannya, kan? Bapak ingin yang terbaik untuk kamu, Nia. Makanya, bapak tidak mau kamu mengulangi kesalahan yang sama. Bapak kecewa, kamu berani melanggar perintah bapak.”Kalimatnya terh
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”