“Nia, tolong bilangin sama adikmu. Aku berhak mendidik dia. Aku tidak mengajaknya pada jalan kesesatan. Belum apa-apa, sudah membangkang.”
“Maaf, Mas Umar—”
“Mbak! Kenapa pakai panggil dia kayak gitu segala, sih?”
Belum selesai bicara, Fani sudah memotong saja. Dinta dan Danis—yang sedang bermain—menatap Umar penuh ketakutan.
“Kakak, bawa Adek ke rumah Mbah, ya? Sekalian minta Mbah Kung ke sini,” perintahku, langsung dijawab anggukan oleh si Sulung. Lali, aku kembali fokus pada Umar. “Kamu mau ajak adikku ke mana? Dan atas dasar apa kamu mengajaknya?” tanyaku mencoba sabar
Aku memang lebih suka menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Jadi, selagi mampu mengendalikan diri, akan aku coba.
“Kamu tahu, kan, kemarin aku sudah mengkhitbah Fani? Jadi,, aku sudah harus mulai menata masa depan tentang akhirat dia. Aku tidak mau, istriku kelak menjadi wanita ahli n
Aku tahu kalimat itu hanyalah alasan yang akan dijadikan pembenaran atas yang ingin ia sampaikan. Perasaanku mulai tidak tenang. Sebagai ibu, tentu hati ini sangat tahu, bila ada sesuatu yang tidak baik yang akan menimpa anak-anak. Pastilah rasa khawatir itu hadir.“Jangan bertele-tele, Mas. Langsung saja ke pokok permasalahan.”“Aku sangat berhak atas Dinta, apa pun itu. Jadi, apa yang aku lakukan terhadap dia, kamu tidak berhak melarang.”Kulirik Mas Agam dengan tajam. “Bicara yang jelas, Mas!”“Aira, cepat atau lambat, harus mendapatkan pendonor ginjal. Setelah kami diskusi, maka diputuskan, Dinta yang akan menjadi pendonor ginjal untuk Aira. Dengan atau dengan izin kamu, Nia.”Jangan tanya sehancur apa perasaanku saat ini. Aku sama sekali tidak menyangka Mas Agam sampai hati untuk berpikir sejauh itu.kAku kasihan pada Dinta, kalau harus menjalani operasi saat besar nanti, itu akan berpenga
“Berhenti memberikan saran konyol yang tidak masuk akal, Nia! Terimalah dengan lapang dada, anggap ini sebagai amalan baik dari kita. Demi kelangsungan hidup Aira. Apalah artinya hidup di dunia yang hanya sebentar ini kalau tidak untuk saling berbagi?”Aku sudah kehabisan kata. Segera kuambil tas yang tergelatak di atas kursi tadi dan mengalungkan dengan asal pada pundak. Aku tidak mampu lagi bicara dengan orang ini.“Masa depan dan keselamatan Aira terletak pada Dinta, tolong Nia, jangan egois!” Suaranya masih menghiba.“Aku, tidak peduli! Mau dia menderita atau sekarat, itu bukan urusanku maupun Dinta. Anggap saja ini balasan atas perbuatan kalian terhadap kami.”Selesai berkata demikian, aku melangkah menuju motor yang yang terparkir tak jauh dari tempat kami duduk. Tak kuhiraukan Mas Agam yang masih memanggil namaku.Setelah bertemu Mas Agam, aku langsung pulang ke rumah ibu. Akan kusampaikan hasil pert
“Kalian ke sini minta harta gono gini, saya masih bisa menghadapi dengan sabar. Bahkan, seluruh keluarga dikerahkan pun, saya tidak sampai naik pitam,” tegasku dengan lantang. “Tapi jika kedatangan kalian kali ini untuk meminta ginjal Dinta, aku tidak akan pernah bisa menerima. Pergi sekarang, atau akan kuambil air keras untuk menyiram muka kalian satu per satu?”Ancaman yang kusampaikan ini sungguh nyata adanya. Sepertinya, masih ada air keras sisa Agam waktu masih berstatus sebagai suamiku.“Mbak, kumohon, jangan lakukan itu pada kami. Tolong, Mbak, pahami keadaan kami. Berbuat baiklah kepada kami, Mbak, sekali ini saja. Akan kulakukan apa saja, agar Aira mendapatkan ginjal Dinta.” Rani bersimpuh di kakiku.“Nia, kami sudah terlanjur mengkonsultasikan ini dengan dokter yang menangani. Dinta, meskipun masih kecil, bisa mendonorkan ginjalnya. Asalkan ada persetujuan dari pihak orang tua.” izinkan Dinta ikut k
RaniNamaku Rani Khairunisa. Aku hanyalah gadis lulusan Sekolah Menengah Pertama yang dianugerahi wajah yang sangat cantik. Wajahku memilki bentuk yang sempurna. Hidung mancung, bibir tipis, dengan mata berbulu lentik.Waktu itu, diriku adalah seorang kembang desa. Banyak sekali pemuda kampung yang berlomba mendekati, termasuk seorang guru yang mengajar tidak jauh dari rumah.Kami sempat menjalin hubungan, tetatapi harus kandas karena orang tuanya—berasal dari keluarga terpandang—tidak menyetujui bila hubungan kami berlanjut. Alasannya, tidak lain karena, latar belakang pendidikan dan strata sosial yang tidak sepadan dengan mereka.Setelah putus dengannya—tentu—masih banyak yang ingin menjalin hubungan denganku. Dari semua pemuda yang mendekati, hanya Mas Iyan yang memiliki kesempatan untuk singgah di hati ini. Kami berdua bertetangga kampung.Awal perjumpaan terjadi saat aku bekerja di sebuah toko fotokopi. Sementara Mas Iy
Niat mereka mendukung perceraian kakak iparku batal karena melihat kondisi Mbak Nia yang karang. Dia sudah sangat sukses dengan usaha yang digeluti. Apalagi dia juga sudah bermobil sekarang. Segala upaya dilakukan, tapi Mbak Nia bersikukuh tidak mau lagi hidup bersama Mas Agam. Hingga akhirnya, sebuah peristiwa memalukan menimpa Mas Agam dan semakin mempermudah proses perceraian yang diajukan Mbak Nia.Keuangan keluarga ini jadi kacau pasca terjadinya penggerebekan di rumah Mbak Anti. Uang yang akan digunakan untuk perjalanan umroh bapak dan ibu mertua, harus dikuras habis untuk membayar denda yang diajukan pemerintah desa tempat Mbak Anti tinggal.Pangkat dan jabatan mereka pun ikut diturunkan. Tentu hal itu berpengaruh pada jumlah gaji yang diterima Mas Agam. Kini, dia juga tidak lagi menerima tunjangan sertifikasi. Namun, lelaki itu tetap berjanji akan membayar setoran bank yang diajukan untuk usahaku ini.Mbak Anti sangat berbeda dari Mbak Nia. Sebelum menik
Mbak Anti menatap tajam pada diriku yang duduk di lantai bersandar tembok. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.“Mbak, jangan bicara sembarangan pada istriku. Aku tidak suka. Lagian, Mbak ini belum ada kedudukan apa-apa di rumah ini. Jadi, tidak berhak berbicara seperti itu pada Rani yang notabene menantu di keluargaku.”Mas Iyan, sudah pasti akan melindungiku.“Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja?” Dengan cepat, Mbak Anti membalikkan ucapan Mas Iyan. “Maaf ya, aku bingung dengan jalan pikiran kalian. Apa kalian akan tega pada Dinta? Banyak orang yang bisa mengajukan diri di sini. Bapak, Ibu, Iyan, Rani, Mbak Eka. Bila kalian memang sayang pada Aira.”Yang ada, aku yang heran. Kenapa Mbak Anti malah menentang keputusan keluarga ini? Apa haknya, coba?Aku hanya diam, tidak bisa melawan Mbak Anti. Aku ini wanita yang berpendidikan rendah, tentu Mbak Anti bukanlah tandingan untuk adu bicara. Terlebih tidak ada Mbak Ek
Sekarang, aku melarang Dinta untuk keluar rumah tanpa pengawasan darikuu maupun anggota keluarga yang lain. Saat dirinya bertanya, kami hanya menjawab bahwa ada orang yang mau menculik.Bapak memintaku untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya karena takut pikiran anak itu akan terganggu. Hati Danti pasti akan terluka jika tahu ayahnya ingin mengorbankan dirinya untuk orang lain.Sebuah panggilan telepon dari nomor baru masuk ke gawaiku. Hati ini sedikit was-was. Aku tidak akan meladeni keluarga Mas Agam lagi. Mulai sekarang, aku tidak akan memberi celah mereka untuk mendekat ke kehidupanku. Kuabaikan saja dering telepon yang berbunyi. Jika penting pasti memberikan pesan. Aku lanjut membenahi kesalahan data dapodik siswa.Sampai rumah, aku memeriksa gawai kembali. Sebuah pesan masuk dari nomor tadi.[Nia, ini Anti.]Dahiku mengernyit. Mau apa dia? Di atas pesan itu, ada lagi pesan dari nomor yang sama. Agak ragu, tapi akhirnya aku buka juga.
“Bukannya membela teman saya, tapi seburuk dan sesalah apa pun Anti terhadap Anda, dia sudah berani meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Jika memang belum bisa melupakan, itu hal yang wajar. Namun, itu tadi, pasti ada hikmah di balik sakit dan terlukanya hati yang Mbak Nia alami.”Kupandang wajah teduh wanita yang menemani Anti kemari. Sepertinya, ia sengaja diminta membantu untuk berbicara denganku. Seketika, seperti mendapat ilham untuk memberi jawaban pada Anti lewat perempuan yang usianya—kutaksir—sama dengannya. Kulempar senyum pada mereka berdua dan mengambil napas panjang.“Betul sekali, Mbak. Jika bukan karena peristiwa dengan Anti, perceraianku dengan Mas Agam pasti dipersulit. Dengan bercerai dari Mas Agam, aku juga terlepas dari bayang-bayang pernikahan tanpa kebahagiaan.” Aku beralih pada Anti. “Dan aku akan berusaha memaafkan kamu, tapi tidak untuk melupakan. Karena, kalaupun rasa sakit ini bisa disembuhkan, pas
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”