Kilas Balik.
Beberapa bulan sebelumnya.
“Eh, nanti belikan soto bogor tiga bungkus ya.”
Aliya menghentikan sejenak kegiatannya menyeterika pakaian. Ia menoleh pada suaminya yang tengah duduk berselonjor di depan TV. “Sekarang?”
“Ngga. Ntar malem sepulang kamu ngajar,” jawab Bisma tanpa menolehkan pandangannya dari layar TV.
“Kok banyak banget? Satu bungkus buat kita berdua juga cukup, kok.”
“Ntar malem kawan-kawanku mau datang kesini. Mau ngobrolin bisnis.”
“Oh,” respon Aliya lalu kembali melanjutkan menyeterika. “Uangnya nanti taro aja di atas tas ku di kamar, a. Takutnya aku lupa.”
“Uang apa?” tanya Bisma.
“Lah, Uang beli soto-nya.”
“Ya aku mana ada uang lah. Pake kamu aja dulu, ntar aku ganti.”
Seketika Aliya menghentikan kembali tangannya yang tengah menyeterika. “Aa, ini tuh akhir bulan. Aku kan belum gajian. Uang sisa yang ada, cuma cukup buat beli makan sama bensin aku sampai awal bulan nanti.”
“Paling berapa sih, buat soto doang? Pake aja dulu yang ada. Ntar aku gantiin,” tukas Bisma santai.
Oh ya? Aliya menghela napas. Helaan yang menunjukkan ia mengalah lagi. Ya. Lagi. Karena sudah tak terhitung berapa kali suaminya itu mengatakan ‘akan mengganti’. Sementara sepanjang Aliya ketahui, Bisma masih belum memiliki pekerjaan.
Bagaimana ia akan menggantinya?
Jangankan untuk mengganti, untuk menafkahi-pun Bisma belum bisa melakukannya. Atau lebih tepatnya lagi, belum mau melakukannya. Ia hanya berada di rumah. Menonton TV atau bermain ponsel.
Ketika diminta Aliya untuk bekerja, Bisma selalu beralasan bahwa tidak ada perusahaan yang mau menerima lulusan SMA seperti dirinya.
“Kau lulusan SMA? Bukannya kau seorang sarjana teknik informatika?” tanya Aliya saat itu kaget. Setahu dirinya, Bisma mengatakan bahwa ia berkuliah di suatu sekolah tinggi ilmu komputer.
“Ga sampe selesai. Keluar pas semester empat,” jawab Bisma santai saat itu.
Ia lalu memberikan alasan bahwa kendalanya pada biaya kuliah. Ia harus mengalah untuk dua adik-adiknya yang tengah bersekolah di SMA dan SMP.
Namun satu ketika, Aliya pernah mendengar dari adik iparnya, bahwa kakaknya itu bukan berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Namun dikarenakan DO, karena Bisma jarang masuk kuliah.
Saat itu ayah Bisma adalah orang yang cukup berada dan terpandang di kecamatan mereka tinggal. Ayah Bisma dulu seorang juragan tanah dan memiliki banyak kios di pasar. Memang hal yang hampir tak mungkin, mereka tidak bisa membiayai kuliah Bisma.
Awalnya, Aliya cukup marah mengetahui itu. Merasa dibohongi Bisma. Terutama ketika Bisma lalu menolak bekerja di pabrik, dengan alasan takut mempermalukan nama baik ayahnya yang terpandang itu.
Kini situasi ekonomi mertua Aliya itu mengalami kemunduran karena ditipu orang kepercayaannya. Bahkan sampai kehilangan sebagian besar aset-aset mereka, Bisma tetap enggan bekerja sebagai buruh pabrik.
Hingga akhirnya, sejak awal mereka menikah, Aliya lah yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya bersama Bisma. Bahkan sampai untuk keperluan Bisma pribadi pun, Aliya yang memenuhinya.
Aliya memendam ini semua dan menyembunyikannya dari kedua orangtua Aliya. Bagaimana ia memiliki muka dan sampai hati menceritakan ini pada kedua orangtuanya?
Dulu saat mengenalkan Bisma pada papa Aliya, sang papa menolak menerima Bisma sebagai calon mantunya. Papa Aliya mengatakan bahwa Bisma tampak seperti pemuda pemalas.
“Bisma seperti gunung es yang memang kelihatan megah. Tapi di dalamnya tersembunyi banyak hal-hal lain yang mungkin tidak kamu sukai atau bahkan kamu benci,” papa Aliya memberikan alasan lain pada Aliya kala itu.
“Bukannya Papa bersikap judgemental? Suudzon itu ga baik, pa. Papa ga kenal Bisma, dari mana Papa bisa menilai dia pemalas dan lain-lainnya itu?”
“Lalu apa kamu mengenalnya dengan baik?” Papa Aliya bertanya balik.
“Well… ya memang belum lama kenal Bisma. Tapi aku juga punya penilaian sendiri, Pa. Dia cukup pintar dan pekerja keras.”
“Dari mana kamu tau itu?”
“Dari kami mengobrol, Pa. Cara dia menjawab dan sudut pandang dia terhadap beberapa hal.”
Aliya akui, papanya jarang salah dalam membaca karakter orang dari body language atau bahasa tubuh mereka. Aliya yang memang belum lama mengenal Bisma, merasa telah jatuh hati pada Bisma yang terlihat energik dan aktif berorganisasi saat itu.
Aliya lalu berdebat panjang saat itu dengan sang papa dan bersikeras untuk menikah dengan Bisma. Pada akhirnya papa Aliya mengalah lalu membiarkan mereka menikah.
Sekarang, Aliya menuai buah yang ia tanam. Nasihat papanya yang dulu ia abaikan, menjadi bumerang baginya. Namun semua telah terjadi.
Aliya telah memilih hidup bersama Bisma, meskipun kemalasan Bisma dan ketidak-bertanggung-jawaban seorang Bisma selaku suami, adalah resiko pahit untuk Aliya yang harus dijalani.
Karena itu, diam adalah cara terbaik sementara ini bagi dirinya demi keberlangsungan rumah tangganya bersama Bisma, pilihan hatinya saat itu. Masalahnya bersama Bisma, tidak untuk diketahui baik oleh kedua orangtuanya, maupun oleh adik-adiknya.
“Oya, aku juga pinjam lima puluh ribu ya,” suara Bisma memecahkan lamunan Aliya. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah suaminya yang masih asyik menonton. “Untuk apa?” “Ya buat rokok-lah.” “Ga ada, aa. Kan nanti buat beli soto.” “Coba deh kamu pinjam siapa dulu kek. Adikmu atau siapalah. Masa iya kita ada tamu, ga disediain rokoknya?” ucap Bisma ringan. Aliya menghela napas kasar. Ia lalu mencabut kabel setrika dari stop kontak listrik, menggulung kabel, melipat kain alas setrika, lalu menyimpan semuanya dengan rapi di sudut ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu itu. Mereka masih mengontrak di sebuah perumahan kecil di wilayah Cibinong, Bogor. Aliya merasa beruntung bisa menemukan kontrakan yang terbilang masih murah di suatu kompleks perumahan. Untuk bayar kontrakan ini pun, Aliya yang harus memikirkannya. “Aku ga bisa pinjam lagi ke adikku, a. Yang terakhir pinjam bulan lalu saja belum lunas,” ujar Aliya sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya. “Emang kamu pinja
“Ya, gapapa Miss Milah. Saya maklum. Mungkin Miss perlu periksakan mata Miss ke dokter, setelah kelas hari ini,” Aliya merespon sambil tersenyum juga. “Apa maksudnya?” Kedua bola mata Milah membesar. “Bukan apa-apa Miss,” sela Aliya cepat. “Saya sedikit khawatir aja. Gelas sebesar ini oleh Miss ga keliatan…” Aliya memasang muka khawatir. “Ka-kamu…” “Morning Miss Aliya, morning Miss Milah!” Suara cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Itu Mr. Eddie. “Morning, Mister…” jawab Aliya dan Milah hampir bersamaan. Ia adalah principal atau kepala sekolah di lembaga kursus ini. Mr. Eddie masuk cukup tepat pada waktunya. Ia mencegah Aliya melakukan kekisruhan yang lebih panjang dengan Milah. Aliya bukan biang keributan. Namun hari ini, sungguh ia tengah tidak dalam suasana hati yang baik untuk bersabar dan hanya diam. “Mister Eddie…!” Milah langsung berbalik dan melangkah mengikuti Mr Eddie ke ruangannya. “Saya mau konsul overview saya, Mister…” Mr. Eddie mengangguk. Ia pun melanju
Di pelataran parkir. Aliya baru saja melambai pada pak Amas, satpam di tempat ia bekerja, ketika ia terhentak sedikit ke depan oleh senggolan seseorang dari belakang. Ia menolehkan kepalanya. “Sorry,” tukas Milah yang kini telah dua langkah berada di depan Aliya. Sudut kiri bibirnya tertarik ke atas. “Miss ngehalangin saya.” Aliya menghela napas. Ia mengabaikan ulah Milah yang seakan memancingnya untuk marah. Ia meneruskan langkahnya ke arah parkiran motor. “You mau ngasih privat lagi hari ini?” Pertanyaan dari Milah itu tidak digubris Aliya. “Hati-hati Miss, jangan pake bahan-bahan milik kantor untuk kepentingan pribadi ya.. Ngga etis dan melanggar hak cipta,” tambah Milah lagi yang mengekori Aliya. Aliya lagi-lagi mengabaikannya. “Kasian banget sih kamu, segitunya nyari tambahan. Emang kamu beneran punya suami, Miss? Kok kaya ga ada faedahnya gitu ya…” Langkah Aliya terhenti. Ia lalu berbalik menghadap Milah yang sedari tadi mengikutinya di belakang. “Saya rasa yang ga ad
Aliya lalu mencoba melihat profil teman f******k lainnya. Ia hendak melakukan uji coba dengan klik info pertemanan yang ada di sebelah kiri itu. Jarinya bergerak dan meng-klik kembali. Matanya menatap layar. Berhasil. Ia lakukan kembali pada dua orang teman lainnya. Penghapusan pertemanan, bisa dilakukan tanpa kendala. “Lah, ini ga ada gangguan. Bisa hapus pertemanan…” gumam Aliya dengan mata terus menatap pada layar. Setelah ia mengajukan permintaan pertemanan kepada ketiga teman yang tadi ia hapus, jarinya kembali bergerak. Mencari profil akun asing yang tadi gagal untuk di hapus status pertemanannya. Mata Aliya menatap lekat pada layar. Jarinya terlihat beberapa kali mengetuk tombol. Namun, pada akun f******k milik seseorang bernama Einhard itu, Aliya sama sekali tidak bisa menghapus pertemanan. Pilihan ‘Hapus Pertemanan’ itu sama sekali tidak merespon, tak peduli berapa kali Aliya meng-klik nya. “Aneh sekali…” gumam Aliya.
Dalam bungkusan plastik itu adalah jas hujan. Aliya mengeluarkannya perlahan. Kepalanya kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tidak terlihat satu pun orang yang lalu lalang di sana, yang tampak mencurigakan.Aliya kembali melihat barang di tangannya. Itu jas hujan satu set, dengan label tag yang masih menggantung. Jas hujan ini tebal dan halus, terasa seperti jas hujan mahal.Secarik kertas terselip dalam lipatan jas hujan itu.[Pakailah. Jika telah tidak dibutuhkan lagi, boleh berikan pada yang lebih membutuhkan]Kening Aliya berkerut. Lagi-lagi pandangannya beredar ke sekelilingnya. Mencari siapa kira-kira orang yang begitu iseng atau terlalu dermawan meletakkan jas hujan di atas motornya, seakan tahu ia tengah membutuhkannya. Apalagi jas hujan ini tampak mahal.Suara gemuruh di langit membuyarkan keraguan Aliya.‘Duh… semoga ga ada apa-apa dengan aku memakai ini,’ ujarnya dalam hati.Ia segera mengenakan ja
“Hai Miss Diani,” balas Milah dengan senyuman ramah. ‘Aissh! Giliran nyapa miss Diani nih orang ramah banget. Luar biasa lihai pasang topengnya,’ gerutu Aliya dalam hati. “Lagi ngomongin orang yang ga punya teman sama sekali, Miss?” cetus Milah bertanya pada Diani sambil melirik Aliya. Diani terkekeh. “Ngga juga. Itu Miss Aliya sedang nyiapin bahan overview tentang anak introvert,” jawab Diani spontan. Kali ini Aliya yang melirik. Dengan ujung matanya ia seolah menyatakan terima kasih pada Diani atas jawabannya ke Milah. Aliya sangat paham, Diani bukan tipe perempuan yang suka bergosip ataupun menggunjingkan orang lain, terutama rekan kerja sendiri. Diani juga seorang pekerja keras dan seseorang yang tegas. Meskipun ia seorang perempuan, ia tidak pernah ragu untuk menyatakan pendapat dan menyampaikan jika sesuatu yang salah adalah salah. Diani juga guru part-timer satu-satunya yang hampir tidak pernah ditegur Mr. Eddie. Tidak heran memang, jika Milah pun agak segan terhadap Dian
“Kenapa Miss?” Suara Diani terdengar.Aliya menggaruk kepalanya. “Entah nih…” Aliya lalu menyodorkan ponselnya ke hadapan Diani.Sesungguhnya Aliya tidak sedekat itu dengan Diani atau siapapun di kantor ini, sampai harus memberitahunya hal-hal kurang penting seperti ini.Namun entah bagaimana, Aliya terdorong untuk membiarkan Diani tahu apa yang tengah membuatnya bingung.“Apa nih?” tanya Diani sambil matanya melihat isi pada layar ponsel Aliya.“Jadi, ini tuh kemaren ada akun yang aku konfirmasi friend request nya,” Aliya memulai penjelasan.“Eh salah,” ralat Aliya. “Aku ga merasa approve request itu sih. Tapi intinya, akun orang ini ada dalam daftar temanku.”“Paling Miss Aliya lupa udah approve orang,” tukas Diani.“Oh ngga dong. Aku emang cuma berteman sama yang aku kenal aja. Kalau yang ga aku kenal, aku ga pernah approve tuh&h
Aliya tercenung. Mencoba memahami maksud dari kalimat jawaban itu. Ia lalu mengetik lagi di kolom tanggapan.[Siapa namamu? Apa kau kenal saya? Atau hanya random melihat akun saya?]Tak lama kemudian muncul lagi balasan. [Einhard. Itu nama saya. Saya pernah melihatmu]Ketika Aliya hendak menanyakan sesuatu lagi, terdengar suara gedoran pintu yang sangat kencang.“Yaaa!! Buka pintunyaa!!” Suara teriakan Bisma terdengar nyaring disertai gedoran pintu depan yang masih sangat kencang.“Iya! Sebentar!” sahut Aliya sambil setengah berlari menuju pintu depan dan langsung membukakan pintu untuk suaminya itu.Begitu pintu terbuka Bisma langsung menerobos masuk, berjalan dengan cepat ke arah kamar tidur mereka yang bisa dicapai hanya dengan lima langkah lebar saja.“Ada apa?” Nada suara Aliya terdengar sedikit kaget dan bingung. Ia mengekori suaminya masuk ke dalam kamar.Namun Bisma tak segera menjawa
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj