Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil mewah yang berhenti di pekarangan rumah milik Endara. Meskipun usianya sudah terbilang tua, tetapi wanita itu masih tetap memperhatikan penampilannya yang mentereng, mulai dari baju, tas, sampai aksesoris yang semuanya asli dengan harga ratusan juta. Wanita paruh baya itu masuk begitu saja ke dalam rumah Endara tanpa perlu permisi.
“Mama.” Vega langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan penuh rasa hormat. Tidak hanya Vega, Afifa dan Dara juga melakukan hal yang serupa.
“Endara kemana?” wanita paruh baya itu bertanya seraya duduk di kursi meja makan. Sorot matanya yang dingin tidak pernah berubah. Membuat Vega dan Afifa terbiasa dengan tatapan tersebut.
“Mas Endara sedang bersiap di kamar Dara, Mah,” jawab Vega, dengan nada lembut.
Wanita paruh baya itu bernama Julian, berusia 70 tahun. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi wanita itu masih terlihat segar dan lincah saat melakukan aktivitas.
“Kok di meja makan nggak ada sarapan sama sekali? Sudah jam berapa ini? Apa gunanya ada tiga istri di rumah ini jika satupun tidak ada yang becus menjadi istri.” Setiap kali Julian datang ke rumah pasti wanita itu selalu mengomel.
“Sedang disiapkan, Mah. Vega dan Afifa juga baru bangun karena kelelahan karena acara kemarin. Biasanya pagi-pagi sekali sarapan sudah siap kok.” Lagi-lagi hanya Vega yang berani menjawab pertanyaan Julian.
“Halah, alasan. Pantas saja sampai detik ini kalian tidak bisa memberikan Endara keturunan, memberi pelayanan terbaik untuk anak saya saja kalian tidak bisa.” Julian memang sering kali berpendapat seenaknya tanpa memikirkan perasaan kedua menantunya.
“Kapan aku bisa menimang cucu? Punya dua menantu saja tidak becus.” Julian melirik Vega dan Afifa sinis.
“Putraku memang keras kepala, seharusnya aku tidak mengizinkan dia menikahi kamu, Vega. Karena sejak awal aku sudah mempunyai firasat buruk tentang kamu dan ternyata benar saja sampai detik ini anakku belum juga dikasih keturunan.” Lagi dan lagi, Julian berkata pedas sampai tidak mempedulikan perasaan Vega.
Vega yang mendapatkan kata-kata menyakitkan dari mertuanya itu hanya bisa menunduk diam dan menahan air matanya agar tidak tumpah. Afifa yang setia di samping Vega mencoba menguatkan.
“Percuma anakku menikah dengan kalian berdua, jika ujung-ujungnya anakku menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan. Apa sih sebenarnya yang kalian sembunyikan dari anakku? Jika mandul bilang saja, jangan membuat anakku terbebani dengan keberadaan kalian berdua disini.” Julian berucap pedas sampai membuat Vega dan Afifa sakit hati.
“Kamu, kalau dalam waktu satu tahun ini belum juga hamil, saya kembalikan kamu ke kampung.” Julian beralih menatap Dara tidak kalah sinis.
“Biasa-bisanya anak saya menikah dengan gadis kampung seperti kamu. Tidak menarik sama sekali,” ucap Julian, tatapannya merendahkan Dara.
Tidak berselang lama Endara datang dalam keadaan sudah rapi dan wangi. Baju kemeja yang Dara pilih sangat cocok di tubuh Endara yang tinggi dan kekar.
“Kenapa Mama tidak bilang kalau mau ke sini?” tanya Endara, sambil mencium punggung tangan Julian.
“Endara, kamu harus segera membuat gadis kampungan ini hamil. Di usia Mama yang sudah tua ini ingin segera menimang cucu,” ujar Julian, kepada Endara.
“Mama itu iri melihat wanita seusia Mama sudah menimang banyak cucu, sedangkan Mama sama sekali belum pernah.” Julian semakin mendramatisir keadaan, seolah hanya dia satu-satunya orang yang paling kecewa.
Vega dan Afifa yang mendengar ucapan sang mama mertua hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Selama ini kebaikan Vega dan Afifa tidak pernah terlihat di mata Julian. Wanita paruh baya itu hanya bisa menghina, memojokkan, dan berkata seenaknya kepada mereka.
“Iya, Mah, Endara juga sedang berusaha. Do’akan Dara bisa hamil tahun ini,” kata Endara.
“Mama sudah cukup sabar, Endara. Apa kamu tega sampai Mama meninggal belum juga menimang cucu dari kamu?” tanya Julian, kedua matanya berkaca-kaca agar Endara yang melihatnya iba.
“Dan kamu, Dara, jangan sampai kamu bermalas-masalan minum jamu yang sudah saya racik sendiri. Jangan seperti Vega dan Afifa yang selalu alasan tidak mau minum jamu buatan saya karena tidak suka dengan rasanya.” Lagi-lagi Julian menatap ketiga menantunya sinis.
Wanita paruh baya itu mengeluarkan botol berukuran sedang dari dalam tasnya. Botol yang sudah terisi penuh dengan ramuan jamu yang ia buat sendiri khusus untuk Dara agar gadis itu cepat hamil.
“Diminum setiap hari,” ujar Julian, sambil memberikan botol berisi jamu itu kepada Dara.
“Susah payah aku membuat ramuan itu dengan tanganku sendiri, awas saja kamu membuangnya,” sambung Julian.
Dara mengangguk saat menerima botol jamu pemberian mama mertuanya. Sebenarnya Dara juga tidak bisa meminum jamu, tetapi demi membuat Julian senang Dara ikhlas melakukannya.
“Dara, ikut saya sekarang!” perintah Endara.
Dara mengangguk, lalu gadis itu meminta izin kepada mertua dan kedua kakaknya, barulah Dara berani meninggalkan tepat.
Sesampainya Dara di kamar, gadis itu sudah melihat Endara duduk manis di atas kasur. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam laci. Dara melihatnya sebuah map coklat berukuran sedang ada di genggaman Endara.
“Apa itu, Mas?” tanya Dara, gadis itu penasaran dengan isi di dalam map berwarna coklat itu.
“Duduk!” perintah Endara, Dara pun mematuhi perintah suaminya.
Dara duduk di sebelah Endara dengan jarak tidak terlalu dekat. Kedua matanya terus menatap map yang dipegang Endara.
“Persiapkan dirimu karena sebentar lagi kita akan bulan madu,” ujar Endara, mengeluarkan tiket yang sudah ia pesan sehari sebelum akad nikah.
“Bulan madu?” Dara bertanya sambil menatap Endara tidak percaya. Jujur saja Dara belum siap untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Endara.
“Tapi kenapa mendadak sekali Mas?” Dara bertanya dengan wajah bingung.
“Tidak ada penolakan, Dara!” Endara berucap tegas. Lelaki itu sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Dara setelah melihat tiket bulan madu yang ada di dalam genggamannya.
“Saya ingin melihat Mama bahagia dan kebahagiaannya hanya satu, yaitu bisa menggendong cucu dari anak semata wayangnya,” ujar Endara. Jujur saja Endara sedih ketika Julian membahas masalah cucu karena Endara merasa belum bisa memberikannya.
“Nanti sore kita ke dokter, saya mau konsultasi hal apa saja yang harus dipersiapkan agar cepat mendapatkan keturunan,” kata Endara.
“Ke dokter?” lagi-lagi gadis itu terkejut dengan rencana Endara yang sebelumnya belum dibicarakan berdua.
“Sudah lah, Dara, jangan banyak bertanya, saya pusing mendengarnya. Sebaiknya kamu persiapkan diri dan tidak usah membawa banyak barang.” Endara berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku secara bersamaan.
“Tidak perlu terlalu banyak berpikir, cukup siapkan diri dan mental.” Lalu Endara keluar dari kamar tanpa persetujuan Dara.
Sesuai ucapan Endara kemarin, hari ini mereka berdua berangkat bulan madu ke luar negeri. Alasan Endara tidak hanya bulan madu saja, melainkan sedang menjalankan bisnis juga. Dara tidak mempermasalahkan hal itu, jika suaminya ingin bekerja maka Dara mempersilahkan, dan jika ingin berdua Dara juga selalu siap.Enam belas jam lamanya Endara dan Dara berada di udara, akhirnya mereka berdua tiba di Amerika dengan selamat. Tidak ada kendala saat penerbangan, hanya saja Dara sedikit mual karena terbang di atas udara adalah pengalaman Dara untuk pertama kalinya. Sekarang mereka berdua sudah tiba di hotel yang akan menjadi tempat menginap mereka selama beberapa hari berada di Amerika.“Masih pusing?” Endara menghampiri Dara yang sedang meringkuk di atas kasur.Dara hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, karena di saat Dara banyak berbicara maka perut dan kepalanya seperti di putar-putar.“Oleskan minyak ini, siapa tahu bisa mengurangi mual dan pusing.” Endara memberikan botol min
Pagi harinya ….Endara bangun lebih awal dari pada Dara, lelaki itu langsung menuju ke kamar mandi hanya sekedar sikat gigi dan cuci muka untuk sarapan pagi. Endara terlihat tidak peduli dengan Dara yang sedang tidur pulas di atas kasur dengan posisi meringkuk dan seluruh tubuh ditutup oleh selimut. Setelah menyelesaikan kegiatan di kamar mandi, Endara langsung berganti baju. “Dara, bangun” Endara mengguncang pelan tubuh mungil Dara yang ditutup oleh selimut. Dara mulai mengerjapkan matanya saat kedua telinganya mendengar suara Endara yang cukup dekat dengan dirinya. “Mas Endara.” Dara mencoba untuk bangun, tetapi tubuh gadis itu lemas seakan tidak bertulang, wajahnya juga terlihat sangat pucat. “Jika tidak bisa jangan dipaksakan,” ujar Endara, kembali membantu Dara untuk berbaring. Melihat kondisi gadis itu membuat Endara tidak tega, pasti penyebab utama Dara lemas seperti ini karena sedang datang bulan. “Saya bawakan ini, siapa tahu nyerinya sedikit reda.” Endara memberikan bot
Tidak terasa senja sudah tiba, berhubung cuacanya sangat cerah Endara berniat untuk membawa Dara pergi jalan-jalan, karena Endara yakin Dara bosan satu hari penuh hanya berada di atas kasur.“Mau kemana, Mas?” tanya Dara, gadis itu duduk bersila di atas kasur menatap Endara penasaran.“Perutnya masih sakit tidak?” tanya Endara, tanpa menatap Dara karena kedua matanya fokus menatap pantulan dirinya di cermin.“Sedikit Mas,” jawab Dara, pandangan matanya tidak lepas menatap Endara.“Cepat bersiap, aku mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Endara, sambil merapikan kerah kaos yang ia pakai.“Nggak mau Mas, Dara nggak bisa bahasa Inggris.” Dara menggeleng dengan wajah memohon agar Endaru tidak membawanya keluar. Bertemu banyak orang membuat Dara minder karena gadis itu tidak bisa bahasa Inggris.“Kan ada saya, nanti waktu keluar kamu harus tetap berada di samping saya.” Endara tetap keras kepala ingin membawa Dara keluar. Endara juga ingin Dara tahu bagaimana suasana di luar sana dengan cuaca c
Endara sangat telaten membersihkan tubuh Dara menggunakan selembar kain yang sebelumnya sudah dicelupkan ke air hangat. Ya, semua baju yang ada di tubuh Dara sudah diganti. Pelaku yang menanggalkan seluruh pakaian Dara termasuk pakaian dalam Dara adalah Endara, tidak ada rasa jijik sama sekali pada saat membersihkan area privasi Dara yang sedang berdarah.“Kamu hampir saja membuat saya jantungan, Dara,” ujar Endara, sambil memperhatikan Dara yang sedang tertidur lelap. Tangan kanan Endara menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu agar tidak menghalangi Endara memandangi wajah lugu istri kecilnya.“Kamu tahu, Dara, akibat perbuatanmu yang dibawah sana menjadi keras” ujar Endara, lagi-lagi pandangan matanya tidak bisa lepas menatap wajah polos Dara saat tertidur pulas.Endara menghela napasnya kasar, sekarang ia harus berpikir bagaimana caranya membuat yang di bawah sana bisa tidur kembali. Padahal pada saat melihat tubuh Vega dan Afifa tanpa sehelai tidak sampai membuat E
Wajah Dara terlihat cemberut sebab Endara tidak mengizinkannya untuk mandi. Padahal Dara ingin sekali membersihkan tubuhnya yang cukup lengket dan aroma yang tidak sedap akibat minyak angin yang menempel di tubuhnya.“Jangan bandel, kamu tidak mau demamnya semakin parah kan?” dari kejauhan Endara melihat Dara yang sedang berada di atas kasur. Lelaki itu menahan tawanya ketika melihat wajah istri ketiganya itu cemberut.“Tapi Dara pengen mandi, Mas.” Gadis itu tetap keras kepala ingin mandi, padahal kepalanya masih terasa pusing.“Ayo saya mandikan.” Endara berdiri bersiap menghampiri Dara tanpa senyum, padahal di dalam hati Endara tertawa geli melihat wajah Dara terlihat panik. Entah mengapa sejak saat melihat wajah Dara tidur pulas semalam membuat Endara candu untuk terus menatap wajah gadis itu.“Tidak, Dara tidak jadi mandi.” Gadis itu kembali berbaring, membungkus seluruh tubuhnya menggunakan selimut.Dara merasakan kasurnya bergoyang, karena penasaran dia pun membuka selimut, ter
Malam harinya, setelah meyakinkan diri sendiri akhirnya Endara memutuskan untuk mengajak Dara pergi jalan-jalan. Tidak terlalu jauh seperti kemarin, hanya di sekitaran hotel tempat mereka berdua menginap. Endara tidak akan membiarkan Dara lepas, ia selalu menggenggam tangan Dara setelah mereka berdua benar-benar berada di luar.“Mas, sebentar, tangan Dara kesemutan,” ujar Dara, mencoba melepaskan tautan tangan mereka. Akibat genggaman Endara terlalu kuat membuat tangan mungil Dara kesemutan.“Tidak. Saya tidak mau kamu hilang lagi.” bukannya memberi ruang agar tangan Dara bisa bernapas, justru Endara semakin mengeratkan genggamannya sampai membuat Dara meringis kesakitan.“Iya Mas, Dara tahu, tapi tangan Dara benar-benar kesemutan. Apa Mas Endara tidak bisa melonggarkan sedikit genggaman tangannya?” gadis itu menatap Endara memelas.“Baiklah, hanya melonggarkan sedikit saja.” akhirnya Endara melonggarkan sedikit genggaman tangannya.“Terima kasih, Mas.” Dara pun tersenyum lega karena
Sesampainya di hotel, Endara langsung mengobati luka gores di kaki Dara menggunakan betadine. Meskipun Dara memohon agar tidak mengoleskan cairan itu, tetapi Endara tetap melanjutkan aksinya.“Tahan, Dara, sakitnya tidak akan lama,” ujar Endara, yang sudah lelah mendengar rintihan Dara yang menurutnya sangat berlebihan.Dara langsung diam, membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara lagi. akhirnya Dara membiarkan Endara mengobati lukanya yang tidak seberapa itu, tetapi saat dibersihkan rasa sakitnya tidak bisa ditahan.“Sudah. Makanya kalau jalan itu hati-hati, matanya jangan dipakai untuk melihat laki-laki tampan saja,” ujar Endara, sambil membereskan peralatan yang ia keluarkan dari P3K.Bibir Dara maju beberapa senti, mendengar ucapan Endara membuat Dara merasa tersindir. Padahal akibat Dara jatuh adalah ulah Endara sendiri yang tidak bisa memelankan sedikit jalannya. Akan tetapi, lelaki itu tidak mau mengakuinya.“Dengar tidak apa yang saya ucapkan?” tanya Endara, kesal karena
Keesokan harinya, tepatnya jam dua belas siang, Endara sudah tiba di rumah sakit yang sebelumnya alamatnya sudah dikirim oleh Afifa. Tanpa pulang dan membersihkan tubuh terlebih dahulu Endara langsung ke rumah sakit dan Dara juga ikut serta bersamanya. Kedatangan Endara disambut oleh Vega penuh rasa bahagia, akhirnya rindunya bisa terlepas setelah melihat sang suami tercinta tiba dengan selamat di pelukannya.“Kamu sudah bikin Mas khawtair sayang,” bisik Endara, pada saat lelaki itu masih memeluk tubuh Vega yang terlihat sedikit kurus.“Aku rindu sama kamu Mas, makanya sakit kaya gini,” ujar Vega, dengan suara serak karena wanita itu sedang menahan tangisnya.Endara melepaskan pelukannya, menangkup pipi Vega menggunakan kedua tangannya. Tatapan yang diberikan Endara penuh cinta yang tidak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang.“Maafkan Mas yang sudah mengabaikan kamu,” bisik Endara, kening keduanya saling menyatu. Tanpa mereka sadari ada dua perempuan yang sedang menyaksikan kero
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang