“Ca ... maafin aku, aku enggak bisa kerja di caffe kamu lagi ... ma ... maafin ... .” Zara tidak mampu menahan sesak di dada, ucapannya terbata oleh isak tangis.Ia berjongkok di ruang ganti khusus karyawan sambil menempelkan ponsel di telinga. “Ra, kamu kenapa? Coba tarik napas dulu ... ngomongnya pelan-pelan.” Arsha yang berada di ujung sambungan telepon berusaha menenangkan.“Ta ... tadi cewek perawat yang mantannya Kak Arkana datang, singkat cerita kita berantem di caffe kamu ... maafin aku, Ca ... aku enggak bisa nahan ... .” Zara kembali menangis setelah berkata demikian.“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan, Ra? kamu yang menang, kan? Kamu cakar dia enggak? Apa kamu sempet nampar dia? Kamu boleh ancurin caffe aku, Ra ... asal kamu menang ngelawan cewek mantannya Arkana.” Zara yang sedang bersedih sedikit terhibur dengan ucapan Arsha, sahabatnya itu paling bisa membuatnya tertawa.“Tadi dia jambak aku, trus aku cakar tangannya.” “Kereeen, trus sekarang gimana keadaan kamu? Tunggu a
Zara termenung di jendela kamarnya, menatap taman belakang yang asri karena tangan dingin sang Bunda. Ucapan Arsha dan Angga siang tadi terngiang dalam benaknya.Semuanya mengatakan perjuangan Arkana dalam mencintainya. Arkana juga seringkali mengatakan cinta, pria itu sampai mengatakan jika Zara tidak perlu mencintainya cukup ia saja yang mencintai Zara.Lalu ingatannya ditarik mundur ke masa lalu.FLASHBACK ON “Zar, lo ada masalah apa sih sama Kak Arkana sampe dia terus-terusan ngisengin elo?” Ariana yang merupakan teman sekelas yang paling dekat dengan Zara bertanya demikian. “Enggak tau gue juga, naksir kali dia sama gue.” Zara menjawab tak acuh, ia mengatakan apa yang dikatakan sang Bunda kepadanya. Arkana bersikap seperti itu karena menyukainya.“Jangan ke ge’eran, lo ... Kakak kelas yang suka sama dia tuh cantik-cantik tauuu!” Ariana menekan pipi Zara dengan telunjuknya di akhir kata.Zara hanya tersenyum, ia memang sedang berbicara asal.Kantin yang saat itu ramai seketika
“Tolong lengkapi datanya pada setiap quartal dan tolong carikan rencana anggaran beserta realisasinya sampai lima tahun ke belakang,” titah Willy kepada sekertarisnya yang bernama Winda seraya memberikan berkas yang telah ia tanda tangani.“Baik, Pa ... saya permisi,” pamit Winda kemudian undur diri setelah mendapat anggukan dari Bosnya.Perhatian Willy kembali ia alihkan pada layar komputer, jemarinya begitu cepat menekan huruf beserta angka pada keyboard.Tenggelam berjam-jam dengan pekerjaan yang begitu ia syukuri setelah lama dalam pelarian hanya mengandalkan otot untuk mencari sesuap nasi.Sebuah pesan masuk ke ponselnya lantas tersenyum saat membaca isi pesan tersebut.Maya : Ayah sayang, jangan lupa makan siang. Bunda mau jalan-jalan sama Zara, boleh ‘kan?” Willy langsung mengetikan sesuatu membalas pesan istrinya.Willy : Boleh donk, istriku tercinta. Kabari Ayah pulang jam berapa, nanti Ayah jemput.Maya : Siap cintaku. Willy : Hati-hati ya, Bun. Ayah titip Zara. Ayah sayan
Apa pun yang Arkana inginkan harus terlaksana saat itu juga meski harus mengorbankan banyak hal.Seperti saat ini, Arkana bisa terbang pulang ke Indonesia dalam kurun waktu kurang dari satu jam.Tidak peduli bila Pilot maupun awak kabin kerepotan bersiap dan mendadak mendaftarkan penerbangan mereka ke menara kontrol dan harus merubah jam terbang pesawat lain.Ia juga tidak mempedulikan kerja sama bisnis senilai Triliunan rupiah dan malah meninggalkan sekertaris, Direktur terkait dan bagian legal untuk mendengar keputusan klien esok hari.Pokoknya Arkana harus pulang malam ini juga untuk menolong Zara dan Bundanya yang diculik oleh Baron.Raditya bahkan mengirim foto Zara yang mengenaskan baru bisa ia buka ketika telah mengisi daya pada ponselnya.Arkana belum bisa merubah raut wajahnya yang tegang, penuh emosi bercampur cemas.Baron, satu nama itu yang terngiang dalam benak Arkana setelah mendapat seluruh informasi dari Raditya.Willy di kabarkan syok dan ia bingung harus kemana menca
“Nak Arkana.” Suara Willy terdengar lemah dengan raut wajah memelas.Arkana segera menyambutnya, tidak perlu memelas pun ia akan membantu pria itu terlebih Zara adalah gadis yang sangat dicintainya.“Om tenang dulu, saya udah tau di mana Zara dan Tante Maya di sekap ... sekarang saya dan yang lain akan menjemput Zara.” “Nak!” Willy berseru sambil menggelengkan kepala. “Jangan ... ini masalah Om, biar Om yang menyelesaikannya sendiri dengan Baron.” Willy menyayangi pria yang mencintai anaknya itu, tidak ingin Arkana terseret oleh masalahnya. “Saya sudah menyiapkan uangnya, Om.” Arkana memberi kode kepada Roger agar membawakan dua tas hitam berisi uang.“Biar saya yang melakukan pertukaran.” Arkana menegaskan.Willy menahan tangan Arkana, ia menggelengkan kepala lagi. “Pikirkan keluargamu, pikirkan Zara ... biar Om saja dan bila Om tidak bisa keluar dari sana, tolong jaga Zara untuk Om.” Willy tidak dapat membendung air matanya, ia menangis menyesali pertemuannya di masa lampau hing
“Pak Baron, saya mohon ... anda bisa bunuh saya tapi tolong lepaskan anak dan istri saya ... mereka tidak bersalah.”Di tengah rasa sakit karena timah panas bersarang di tempurung lututnya, Willy Darmawan memohon kepada Baron sambil bersimpuh di lantai.“Bawalah uang ini dan pergilah,” ujar Baron sambil meringis.Pria itu tertawa tapi terdengar kering bahkan siapa pun pasti mengira bahwa tawa Baron hanya untuk menutupi ketakutannya.“Ada hubungan apa anda dengan Arkana Gunadhya?” tanya Baron, menaikan dagu Willy dengan moncong senjata api.Zara yang masih sadarkan diri berteriak sekuat tenaga tapi tertahan oleh kain yang menutupi mulutnya, wajahnya telah basah dengan keringat dan air mata.Tatapan Zara memohon agar Baron tidak melukai Ayahnya, satu timah panas saja di tubuh sang Ayah sudah cukup membuat hati Zara hancur berkeping-keping.“Nak Arkana adalah kekasih anak saya, dia juga yang membantu saya mengumpulkan uang sebanyak ini ... .” Willy memohon, apapun akan ia lakukan meski ha
Author Note :Teman-teman pembaca, Author meminta maaf karena ada kesalahan publish di Chapter sebelum ini.Tapi sudah Author publish ulang dan bisa teman-teman baca ulang ya, Terimakasih .**** “Berapa orang kita yang meninggal?” Arkana bertanya pada Darius yang berdiri di belakangnya.“Tiga orang ... tujuh luka berat dan sisanya luka ringan,” balas Darius melaporkan.“Beri santunan yang besar untuk keluarga tim kita yang meninggal dan beasiswa untuk anak-anak mereka,” titah Arkana dengan nada rendah.“Oke,” balas Darius cepat.Arkana menatap sendu pada wanita paruh baya yang terbaring tidak berdaya di atas ranjang ruang ICU.Dokter yang menangani Maya menceritakan banyak organ dalam di tubuh Maya yang rusak akibat benturan atau pukulan benda tumpul.Arkana menduga bila Baron menjadikan Maya pelampiasan karena ia tidak bisa habis-habisan menyiksa Zara mengingat gadis itu adalah incaran Jordi.Beberapa jam setelah selesai operasi—kondisi Maya menurun dan saat ini beliau sedang dalam
“Emh ... .” Desahan merdu terdengar memenuhi ruangan kamar dominasi warna coklat yang maskulin.Raditya mendorong tubuhnya cukup keras, menghujam Bunga yang tungkainya melingkar di pinggang pria itu.Peluh membanjiri tubuh mereka karena gelora hasrat membakar dari dalam.Bibir Raditya mengulum, mengisap bahkan menggigit puncak berwarna coklat yang telah mengeras di dada Bunga. Bunga melengkungkan tubuhnya ke atas, mendekap kepala Raditya di dadanya.“Yang lama di situ, Dit ... emh.” Bunga setengah memohon.Desahan Bunga yang sensual membuat gerakan Raditya kian cepat.Tidak puas dengan posisi tersebut, Raditya menegakan tubuh dan menggerakan Bunga agar merubah posisi berbaringnya menjadi menyamping tanpa melepaskan apa yang telah tertanam di dalam perempuan itu, Raditya kembali menghentak, awalnya perlahan kemudian lama-lama semakin kencang.Bunga yang mendapatkan hujaman bertubi-tubi mengerang, mendesah bahkan berteriak tidak peduli tetangga di apartemen Raditya akan mendengar.Rasa
Mata Zara menatap tajam pada seorang wanita dengan rok span pendek dan jas dokter yang membalut tubuh bagian atasnya.Dalaman blouse dengan tali panjang di leher memberi aksen manis pada tampilannya.Wanita dengan rambut panjang yang tengah berjalan berlawanan arah dengan Zara itu tersenyum tipis sorot matanya terlihat melecehkan Zara dibalik kacamata berbingkai besar.Demi apapun Zara ingin merobek mulut bergincu merah yang sedang tersenyum itu.Wanita itu bernama Saskia, merupakan anak dari pabrik obat merk ternama yang menjadi dokter di rumah sakit milik Edward-sang kakek mertua.Mereka berpapasan di depan pintu darurat, dengan kecepatan tangan karena latihan beladiri yang tidak pernah Zara tinggalkan meski telah memiliki banyak anak—ia bisa menarik Saskia sambil membuka pintu darurat dalam satu kali gerakan.Zara mendorong Saskia ke tembok seraya menodongkan pistol yang ia sembunyikan di balik punggungnya.“A ... apa-apa ... an kamu, Zara?” Senyum sinis Saskia luntur berganti raut
“Mommyyy ... juuu ... juuu.” Reyzio mengerucutkan bibir ketika mengatakannya.Ghaza, Nawa dan Reyzio begitu antusias bermain salju meski harus memakai mantel berlapis tiga ditambah syal, hoodie dan penutup telinga tidak lupa celana berlapis-lapis, kaos kaki khusus musim dingin dan sepatu water proof beserta sarung tangan membuat mereka seperti pinguin ketika berjalan tapi tidak menghentikan ketiganya bergerak aktif.“Iya sayang, itu salju ... jangan dimakan ya,” kata Ayara memperingati.Namun, apa yang dilakukan Reyzio selanjutnya?Batita itu malah memasukan salju ke mulut lalu tersenyum menatap sang mama.“Zioooo!!!” jerit Zara, berhamburan memburu Reyzio disusul Arkana dan bocah kecil itu semakin banyak memakan salju.“Adik, No!” Ghaza berseru melarang Reyzio, tangannya menahan tangan Reyzio yang hendak memasukan salju ke mulut.Tapi Reyzio terlalu keras kepala untuk menurut.Arkana menggendong Reyzio lantas tergelak sambil membersihkan mulut bocah nakal itu.“Ay, ini mah kamu bange
Zara merasakan sesuatu merangkak naik dari perut ke kerongkongan, bergegas lari—pergi dari ruang makan sebelum seluruh keluarga besar Arkana menyadari apa yang tengah ia rasakan dan tidak bernapsu lagi untuk makan malam.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul tanpa terkecuali di rumah Kallandra Arion Gunadhya sang kepala suku Gunadhya untuk merayakan hari ulang tahun Shareena Azmi Zaina-istrinya.“Zara kenapa Bang?” tanya Aura cemas.“Biasa, hamil lagi.” Arkana membalas santai.Mengulum senyum antara bahagia dan malu karena istrinya sudah berbadan dua lagi, menyalip sang Kakak Kalila yang baru memiliki tiga anak.“Seriusan?” Dan semua kompak bertanya demikian.Arkana mengangguk dengan senyum lebar. “Hebat gue ya, tokcer ...,” ujar pria itu pongah.Para adik dan kakak beserta iparnya segera merotasi mata malas.“Lo nyalip gue.” Mata Kalila memicing tidak suka.“Nanti kita buat, honey.” King, suami Kalila mengusap pundak istrinya sensual dengan sorot mata penuh napsu.“No! Bukan itu maksudku
“Kamu kangen anak-anak?” bisik Arkana di telinga istrinya.“Banget.” Zara tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.“Kalau punya anak keempat gimana?” cetus Arkana bukan meminta pendapat tapi meminta persetujuan.“Siapa takut?” Zara menantang lalu membalikan badan duduk di atas pangkuan Arkana dengan posisi berhadapan.Zara menaikan bokongnya sedikit untuk memudahkan milik Arkana yang sedari tadi telah menegang itu masuk ke dalamnya.“Tunggu, Yang ... aku enggak mau di sini, biar kamu nyaman kita pindah ke ranjang.”Arkana mengangkat tubuhnya keluar dari jacuzy membawa Zara ikut serta.Mulai melangkah pelan masuk ke dalam kamar sambil memagut bibir ranum istrinya.Kedua tangan dan kaki Zara melingkar posesif di tubuh Arkana.Sangat perlahan—penuh kehati-hatian—tanpa mengurai pagutan—Arkana merebahkan Zara di atas ranjang.Menggulirkan kecupannya ke sepanjang rahang dan berakhir di leher.Kedua tangannya sibuk meremat dan memainkan puncak di dada Zara.Zara melenguh merasakan sentuhan ta
Malam harinya pihak resort menyediakan barbeque atas permintaan Darius.Di masa lalu, acara barbeque pasti akan dilakukan di rumah Angga dan Bunga di Bandung setiap sebulan sekali.Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kesibukan mereka dalam mengurus anak, kegiatan tersebut hanya bisa setahun sekali atau paling sering setahun dua kali mereka bisa berkumpul seperti ini.“Jadi, kapan nambah anak lagi? Biasanya lo setahun sekali produksi.” Raditya bertanya setengah menyindir.“Sorry ya ... produksi mah setiap hari.” Arkana menjawab pongah.Mereka melingkari sebuah api unggun di pinggir pantai sambil menunggu koki menyajikan barbeque.Setidaknya acara barbeque sekarang mengalami suatu peningkatan karena Darius, Arkana, Angga dan Raditya tidak perlu repot memanggang hingga membuat pakaian mereka bau asap.Malah ketiga pria yang telah beristri itu, kini bisa duduk santai sambil memeluk istri mereka di atas day bed.Malang bagi Darius yang akan menjadi Jones alias Jomblo Nge
“Demi apa gue kangen sama kalian, sumpah!!” seru Darius yang tampak bahagia karena akhirnya bisa berlibur bersama para sahabat.Tapi antusias pria itu tidak ditanggapin oleh satu pun sahabatnya.“Elo mah kaya yang enggak happy liburan sama gue.” Darius menendang kaki Arkana yang tampak malas-malasan melihatnya.“Elo yang bikin acara liburan ini tapi elo juga yang dateng telat, padahal gue udah bela-belain ninggalin tiga anak gue buat dateng ke sini.” Arkana bersungut-sungut.“Sekarang Arkana jadi family man, geli gue.” Bunga mencibir.Yang bersangkutan mengerutkan kening sambil menurunkan kaca mata hitamnya agar bisa memperlihatkan tatapan tajam kepada Bunga.“Pake lagi kacamata kamu Arkana, kamu dilarang memandang sembarangan istri saya.” Angga mengatakannya dengan nada dingin penuh ancaman sebagai bentuk keposesifan.Darius tergelak hingga pundaknya berguncang lalu duduk di daybed di samping Arkana.“Kalian enggak pernah berubah,” kata Darius geleng-geleng kepala.“Kalau ketemu kaya
“Mommy,” bisik Ghaza membuat Zara buru-buru menghapus air matanya.“Jangan menangis, Mommy ... maafkan Ghaza ya.” Ghaza menegakan tubuhnya lantas mengangkat tangan mengusap air mata di pipi Zara.Bayi tiga tahun yang sudah pandai bicara sejak usia dua tahun itu kemudian memberikan pelukan untuk sang Mommy.Matanya tampak sayu mengantuk tapi Ghaza masih memaksakan diri terjaga dari tidurnya hanya untuk meminta maaf kepada Zara.“Ghaza maafin Mommy juga, kan?” Zara bertanya dengan suara parau.“Tentu saja Mommy, Ghaza sayang Mommy.”“Mommy juga sayang Ghaza.” Zara memeluk erat si sulung, memberikan banyak kecupan di wajah mungil anak tampannya.“Ghaza tidur lagi ya, udah malem ... besok Mommy anter Ghaza ke sekolah dulu sebelum ke kampus.”Ghaza mengangguk, menarik pipi Zara untuk memberikan kecupan di sana.Zara balas dengan memberikan kecupan di kening Ghaza lalu menyelimuti hingga dada dan membenarkan selimut Nawa yang tidak terusik dari mimpinya.Zara menyalakan lampu tidur dan mema
“Kenapa anak-anak nangis?” Arkana bertanya kepada dua Nanny yang bertugas menjaga Ghaza dan Nawa.“Enggak tau, Pak ... enggak biasanya, mungkin lagi mau tumbuh gigi.” Nannynya Ghaza yang lebih senior memberi alasan tapi Arkana bisa melihat kilat kebohongan dari pendar matanya.Arkana lantas meraih Ghaza dan Nawa, menggendong keduanya sekaligus di kiri dan kanan.Ghaza yang berumur tiga tahun dan Nawa berumur dua tahun lantas melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh sang daddy.“Abang sama Mas kenapa nangis?” Akhirnya Arkana bertanya langsung kepada kedua anaknya sambil membawa mereka ke kamar Ghaza.“Mommy ... tadi marah trus teriak ... Abang takut, Dad.”Ghaza yang sudah pintar bicara di usianya yang baru menginjak tiga tahun mengadu kepada Arkana.“Mommy nanis ... Sayang Mommynya cama Daddy.” Disela tangisnya yang seperti sedang merasa bersalah, Nawa juga berusaha menjelaskan apa yang baru saja terjadi.Langkah Arkana berhenti di depan kamar Ghaza, ia memutar tubuh menghadap
“Aaay, Ghaza nangis.” Zara bergumam dengan mata terpejam erat masih sangat mengantuk karena baru saja beberapa menit lalu selesai menyusui si bungsu Arnawarma Byakta Gunadhya.“Heeem.” Arkana membalas dengan gumaman, ia juga baru saja terlelap beberapa jam lalu sepulang pulang lembur.“Aaaay, cepetan.” Zara menendang kaki suaminya pelan mendengar tangis Ghaza yang kian kencang.Ghaza yang baru berumur satu tahun lebih masih suka bangun malam, perutnya tidak pernah kenyang meski sebelum tidur menghabiskan satu botol besar susu formula.Arkana mengembuskan napas berat tapi tak urung menegakan tubuhnya lalu turun dari ranjang.Rasanya begadang ini tidak pernah selesai karena dari Ghaza terus bersambung pada Nawa.Hanya empat bulan kosongnya rahim Zara dan langsung hamil kembali anak kedua.Arkana keluar dari kamar menuju kamar Ghaza, tangis bayi gempal itu kian kencang mengetahui sosok sang Daddy muncul seakan sedang mengadu jika dirinya lapar.“Bentar sayang, Daddy buat susunya dulu.”S