Erland langsung tersenyum. "Mana mungkin aku tidak senang? Dengan ingatanmu kembali, kita bisa mengenang masa lalu kita, Irene."Meski sudah sering mendengar nama itu disebut oleh beberapa orang di dekatnya. Tapi, Aruna tetap saja merasa asing. Seperti tak pernah memiliki nama itu sebelumnya."Aku kira kau tidak senang."Jemari Erland mengelus perutnya. "Aku senang, Irene."Meski bibir Erland mengulas senyum saat mencium pipinya. Namun, ekspresi kembali berubah dingin setelah menjauhkan kepala darinya."Risih! Apa kau tidak tahu!"Erland mengulas senyum, lantas mulai menghentikan kegiatan mengelus perut Aruna. Dia hanya berharap adanya kehidupan di dalam sana, dengan begitu dia bisa menjerat Aruna. Dan tak membiarkan siapa pun mendapatkan Aruna, meski Yuda sekali pun."Sayang, apa kau tidak ingin tidur?" bisik Erland membuat kepalanya menjauh."Kalau mengantuk, aku juga bakal tidur sendiri.""Oh ya? Aku kira bakal minta ditemani," Erland masih saja berbisik."Aku bukan anak kecil!" ke
Masih di rumah minimalis yang sama. Diana berlarian mengejar Yuda yang hendak berangkat kerja. Merasa tak bisa mencapai tubuh Yuda, wanita itu langsung berteriak."Kau masih cari Aruna!"Langkah kaki Yuda seketika terhenti dengan tangan menggantung di hadapan pintu mobil. Pria itu segera berbalik, nampak marah dengan nama yang disebutkan oleh Diana."Jadi kau yang membongkar dompetku? Dasar sialan!"Diana menarik napas. Rupanya pria itu telah menyadari sejumlah uang yang hilang. Melihat Diana yang begitu santai usai mencuri, membuat Yuda merangkai cara untuk menghukum di dalam otak."Apakah itu lebih penting ketimbang Aruna?" tanya Diana."Apa aku meracau saat mabuk?" Yuda justru balik bertanya, satu hal yang pria itu takuti dengan jelas, yakni pembunuhan malam itu."Aku melihat Aruna, foto wanita yang ada di dompetmu."Yuda menatap serius, kemudian terburu mendekat. "Kau bilang apa barusan?"Bibir Diana langsung mengulas senyum, nampak senang melihat Yuda yang tertarik. "Aruna, aku m
Aruna membiarkan suaminya tetap memeluknya. "Kau harus minum obat, aku akan buatkan sarapan untukmu."Mendengar kata obat. Erland langsung menyesap kulit lehernya. Tentu membuat Aruna berusaha mendorong suaminya untuk menjauh."Erland," sebutnya dengan nada protes."Diam, aku sedang menerima obatku.""Kau tidak waras!"Erland tak menghiraukannya. Tetap menyesap lehernya, bahkan lebih antusias. Aruna yang kesal mengambil sendok di dekatnya.Telinga dia mendengar suara sendok beradu, langsung melirik ke arah tangan Aruna. Lantas, Erland terburu menjauh sendiri. Tidak masalah jika tenaga Aruna saja, kalau sendok bisa jadi benjol."Sayang, apa kau ingin memukul dengan sendok?" tegur Erland dengan menatap tak percaya.Jemarinya menunjuk kamar di lantai atas. "Pakai bajumu, setelah itu tunggu aku buat sarapan dan terakhir minum obat. Apa tiga hal itu saja sulit bagimu?"Erland tersenyum. "Baiklah, istriku yang galak."Netra Aruna mengikuti tubuh Erland yang berjalan pergi dan menaiki anak t
Sementara Yuda yang telah dibebaskan dari tuduhan. Nampak kesal, karena pria itu menyewa orang untuk mencari tahu keberadaan wanita bernama Irene. Sayangnya, jangankan mendapat informasi, orang yang disuruh pun tak kembali sama sekali."Siapa orang yang menyembunyikan kamu, Aruna? Sehebat apa dia? Hingga aku kesulitan mencari dirimu."Yuda menyandarkan punggung pada sofa dengan mata menatap langit-langit. Pria itu nampak kesal, membunuh Diana bukanlah orang lain, justru harus Yuda sendiri. Sayangnya pria itu sudah keduluan orang lain."Harusnya dia mati sebelum aku memberinya uang," gerutu Yuda dengan kesal.Tapi, pria itu jauh lebih geram. Karena tak mendapat petunjuk terbaru mengenai Aruna."Apa dia berbohong demi uang? Tak mungkin Aruna mengganti namanya tiba-tiba."Lantas, Yuda menatap jam di dinding. Pria itu harus bekerja untuk mendapatkan uang dan menyewa orang lagi. Meski, Yuda tak yakin, tapi dia tak mau berhenti mencari keberadaan Aruna.***"Nyonya, tuan menelpon untuk menc
Yuda berdiri dengan tangan penuh berkas terkumpul. Pria itu menatap nomor lift yang Aruna naiki dengan serius. Hingga tersenyum sinis."Jadi, tempatmu berada di lantai paling atas ya Aruna? Apa kau ingin aku menjemputmu, Sayang?"Membayangkan Aruna bersimpuh dengan tangan memohon ampun pada Yuda yang memegang ikat pinggang. Pria itu tersenyum senang. Tapi, kebahagiaan sesungguhnya bagi Yuda adalah menculik Aruna dan mengurung wanita itu.Sementara Erland sendiri sedang sibuk menatap layar presentasi sembari menanti Daffa membawakan dokumen yang diminta. Tapi, pintu yang tiba-tiba diketuk membuat pandangan seluruh orang tersita.Begitu pula dengan Erland yang bersiap untuk memarahi karena telah mengganggu. Namun, amarah itu semakin memuncak bersama rasa panik yang menjalar. Saat mata dia menyaksikan sosok Aruna berdiri di ambang pintu."Erland," sebut Aruna dengan tangan mengangkat berkas kuning. Terburu Erland berdiri dan meninggalkan rapat demi mendekati Aruna. Membuka pintu masih d
"Bukankah ini sudah siap?" Aruna bertanya dengan mata menatap sebentar, demi memastikan sekali lagi.Aruna menatap milik Erland yang sudah berdiri. Tapi, tangan Aruna sepenuhnya berada di sana. Erland tersenyum melihat Aruna yang menelan ludah."Gerakkan tanganmu, Sayang," tuntun Erland.Atas permintaan itu, Aruna mulai menggerakkan tangannya membuat Erland memejamkan mata. Dia menikmati perbuatan Aruna. Namun, Erland yang tak sabar langsung merebahkan dirinya.Aruna sendiri menatap tangannya dengan tak percaya. Pasalnya, ia merasakan bagaimana tekstur milik suaminya. Aruna yang sibuk dengan pemikirannya sendiri, tersentak dengan tubuh yang sudah bersatu mulai bergerak karena Erland."Ah sebentar."Jemari Aruna yang mendorong pundak, langsung digenggam oleh Erland. Lantas kembali menusuk dengan cukup kasar."Pelan-pelan," keluhnya."Tenang saja, kau akan lebih puas nanti," bisik Erland kemudian menyesap lehernya sangat kasar.Aruna menggigit bibir yang dipoles lipstik, guna meredam su
Aruna benar-benar kesal hingga memukul Erland dengan kasar. Erland mengadu kesakitan dan sepenuhnya berhenti meraba. Apalagi tatapan tajam dari sang istri."Aku istrimu, bukan wanita bayaran yang bisa kau ajak main di mana saja!" sewotnya.Erland menatap dalam diam, lantas mulai bicara, "justru sudah jadi istri, di mana saja boleh.""Kau masih bicara?" tegurnya kesal.Mata Erland tetap membingkai wajah sang istri. Diam jauh lebih lama, dan membiarkan Aruna keluar dari mobil. Dia mengikuti tubuh sang istri dengan tatapan mata."Sial," gerutu Erland pelan dan menarik napas.Lantas, dia ikut keluar dari mobil. Membiarkan mata Aruna menatap sangat tajam sekaligus marah."Kita ke sini untuk apa? Belanja atau tidak!""Belanja!" sahut Erland sama kesalnya.Aruna mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Erland yang menghela napas. Dia kerap membandingkan Aruna dengan Irene, yang memiliki karakter terbalik. Terkadang Erland merasa menyenangkan hidup bersama Aruna, dengan sifat berbedanya. Tapi
"Kau bilang apa?" tanya Erland dengan amarah yang jelas.Aruna masih terlihat santai. "Iya, aku ingin menambahkan foto baru di dinding."Erland diam dengan mata menatap ke arah lain. Sementara Aruna yang melihat suaminya tak menyahut, membuatnya kembali bicara."Aku lihat hanya foto lama, jadi aku ingin berfoto dan memajangnya di sisi yang kosong. Bagaimana menurutmu?""Jadi, kau ingin mengisi dinding yang masih kosong?" tanya Erland setelah mendengar dan amarah sedikit menghilang."Benar." Aruna terdengar antusias.Hal itu, mengundang Erland untuk menatap tertarik pada sang istri. Kehidupan seperti apa yang Aruna jalani dahulu? Itulah yang dia pikirkan. Sosok wanita cerita sekaligus galak, Erland penasaran dengan segala hal tentang Aruna."Baiklah. Aku akan mendatangkan fotografer ke rumah, kemudian mencetaknya." Erland setuju kalau soal menambahkan, bukan mengganti."Oke," sahutnya masih terlihat senang.Jemari Erland mengusap wajahnya. "Apa kau mengantuk?""Belum. Aku masih ingin m
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat