Meski kesal atas pukulan telapak tangan Aruna yang membuat hidung bangir berdenyut. Tapi, Erland memutuskan untuk berhenti sejenak, karena sang istri kesakitan dalam berhubungan."Apa dengan bantal cukup?" tanya Erland."Akan lebih cukup, jika kau berhenti dan biarkan aku istirahat."Erland tak menurut. "Kita akan pakai bantal dan aku akan lebih lembut."***Erland mengetuk meja dengan jemari. Dia nampak tak tenang, memikirkan fotografer yang datang ke rumah. Mengarahkan Aruna berpose."Kau yakin fotografernya seorang wanita?" tanya Erland membuat Daffa yang membereskan meja langsung melirik."Bukankah Anda sudah memastikannya sendiri, Tuan?"Lantas, mata Erland menatap ponsel yang menunjukkan proses pemotretan. Memang seorang wanita yang mengarahkan sekaligus memfoto Aruna."Meski begitu, aku tetap tidak suka orang lain tahu wajahnya, bahkan menyentuhnya," ujar Erland membuat Daffa menatap dalam diam.Dia takut membiarkan Aruna seorang diri, dengan pintu terbuka dan fotografer bebas
"Irene!"Mata Aruna langsung tertuju pada Erland yang keluar dari mobil dan bergegas mendekat. Aruna sendiri menyembunyikan kartu nama yang diberikan padanya. Curiga dengan identitas sendiri, tentunya bukanlah hal yang dilarang.Tapi, Aruna memutuskan untuk tidak membiarkan Erland tahu. Karena pria ini orang pertama yang akan mencegahnya mengetahui masa lalunya."Kau siapa?" tanya Erland dengan sengit.Lantas menyembunyikan dirinya di belakang tubuh. Namun, Aruna yang masih kesal. Langsung memundurkan diri membuat mata Erland sempat melirik."Ah saya hanya tukang kurir Pak. Saya hanya tanya nama pak Sudirman saja rumahnya di mana," ujar pria ini terdengar ramah.Mata Aruna dan Erland menatap penerima dari paket yang disodorkan. Aruna sendiri mengerutkan dahi. Kenapa penerima paketnya tidak sama dengan yang dirinya lihat tadi."Kami tidak kenal, lebih baik tanya pada orang lain saja!" Erland terdengar ketus."Kalau begitu terima kasih Pak, Bu."Setelah memastikan pria itu mengendarai m
Yuda nampak marah atas ucapan Aruna. "Kamu mengira aku sedang bercanda?"Lantas mata Aruna memandang Yuda dengan merendahkan. "Berapa yang kamu butuhkan?"Yuda mendengkus kesal. "Kamu baru saja bicara nominal denganku?""Jujur saja, aku muak berurusan dengan orang miskin sepertimu."Sepenuhnya Yuda dibuat kesal oleh Aruna yang rupanya telah berubah. Pria itu yakin, Aruna sudah tertular sifat Erland.Yuda mengeluarkan sebuah bingkai foto. Di sana berdiri beriringan Aruna dengan Yuda mengenakan baju pernikahan sembari sama-sama tersenyum. Lantas benda yang paling sering Aruna pakai ketika bepergian."Kalung ini, kamu sering pamer pada temanmu. Karena aku membelinya sewaktu valentine, dan kamu anggap ini sangat berharga," jelas Yuda.Aruna menatap lama benda yang Yuda keluarkan. "Oh benarkah? Tapi kenapa aku tidak merasa pernah menerimanya."Mata Yuda menjadikan wajahnya sebagai objek. "Kamu mengalami kecelakaan, mungkin saat itu kamu lupa ingatan."Sempat Aruna terdiam sejenak. Merasa b
"Kenapa harus tiba di waktu yang tidak tepat."Itu bukan keluhan dari Erland. Melainkan keluar dari mulut Aruna sendiri. Dia mengulas senyum, menjadi saksi seolah sang istri yang paling tidak rela kesenangan hari itu telah gagal."Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Erland begitu Aruna mulai beranjak dari ranjang."Mandi, lantas memakai pembalut dan istirahat," sahutnya.Erland nampak mengangguk mengerti. Dia begitu cekatan mengambilkan pembalut di laci sebelum Aruna bergerak. Lantas, Erland berdiri di hadapannya."Ayo.""Ke mana?" tanya Aruna heran."Aku temani kamu pakai pembalut, Irene."Atas ucapan itu, Aruna melotot dengan kesal. "Kamu tidak waras ya? Kamu kira aku anak puber yang baru kali pertama pakai?"Erland langsung tersenyum. "Hanya mengingatkan saja, takut kau lupa. Nanti perekatnya malah tidak di dalaman, malah menempel pada milikmu."Aruna menghela napas mendengar ucapan suaminya. Aruna merampas pembalut dari tangan Erland dan bergegas ke kamar mandi. Mengunci pintu, membu
Netra Aruna membingkai mawar yang telah tersimpan rapi di dalam vas bunga. Lantas, bibir mengulas senyum. Aruna begitu menyukai momen ketika bunga tetap memancarkan aura kehidupan, dan hampir tak layu."Bukankah bunganya sangat indah?" Aruna bertanya masih dengan perhatian tertuju pada mawar.Sedangkan, tatapan Erland mengunci wajahnya. Dia mengulas senyum atas pertanyaan dari sang istri. Lantas, mulai menyahut tanpa penuh rasa beban."Benar, sangat indah, cantik dan berkilau."Pemikiran Aruna pun menjadi fokus. Hingga pertanyaan mawar mana yang berkilauan dalam benaknya. Kepala Aruna menoleh dan mendapati Erland sedang menatapnya dengan bibir penuh senyuman.Jadi, yang indah, cantik serta berkilauan itu bukanlah bunga mawar. Jemari Aruna pun menangkup wajah suaminya, membuat kepala Erland sedikit melengos. Meski diperlakukan demikian oleh Aruna, tapi Erland masih tetap tersenyum."Aku bertanya perihal bunga, kenapa kamu menjawab lain?" tegurnya pelan.Erland melepaskan tangannya dan
"Nyonya baru tak sadarkan diri!"Suara Sonya masih terdengar kuat dan kaki yang mulai lelah itu berhenti berlari. Karena mobil yang dikemudikan oleh Erland berputar balik.Tanpa mendengar penjelasan apa pun dari Sonya. Begitu memasuki pekarangan rumah, Erland langsung keluar mobil dan berlari ke arah rumah. Sonya meraup napas rakus setelah memastikan sang tuan akan membawa nyonya baru ke rumah sakit."Irene!"Suara teriakan Erland yang dipenuhi kecemasan itu mengisi beberapa ruangan di rumah luas tersebut. Juga suara yang mampu menyingkirkan para pembantu, semula berkerumun untuk memindahkan tubuh sang majikan dari lantai."Irene," sebut Erland menjadi sedikit pelan.Setelah tangan berhasil meraih kepala Aruna. Bola mata Erland begitu tak fokus, menatap wajah sang istri yang terlihat damai dalam keadaan tak sadarkan diri."Bawakan identitas Irene di dalam kamar dan segera susul ke rumah sakit," titah Erland dengan tangan mengangkat tubuh Aruna."Baik Tuan."Selama melangkah pergi dari
"Apa keluarga Irene kaya?"Erland tertawa mendengar pertanyaan dari sang istri. Sedangkan, Aruna langsung mengerutkan dahi. Perlahan matanya mulai menatap marah karena tersinggung."Ada bagian yang lucu dari pertanyaanku?"Mata Erland menatap Aruna lekat. "Jika kamu mengincar harta, tetap tinggallah di rumahku dan nikmati kekayaan milikku.""Tidak perlu, aku merasa terbebani. Bukan istrimu tapi seenak jidat menikmati harta milikmu," celetuknya.Erland menarik napas. Dia telah mempersiapkan segalanya, ketika ingatan Aruna kembali. Tapi, tak mengira kalau hari itu tiba begitu cepat.Jemari Erland mengeluarkan ponsel dan melempar ke arah ranjang. Aruna sendiri menatap lama ponsel suaminya yang mendarat di sebelah kakinya. Pikirannya bertanya-tanya, apa maksud dari Erland."Lihatlah."Aruna pun memberanikan diri mengambil ponsel. Lantas, mulai menatap serius sampai dahi mengerut. "Apa ini?" tanya Aruna melihat foto surat pernikahan."Aruna dan Erland telah resmi menikah, dengan bukti itu
"Aku tanya sekali lagi," ujar Erland karena melihat Aruna bimbang."Kamu tidak takut bertemu Yuda, jika aku memberi kamu kebebasan?" Mata Aruna menatap suaminya lekat. "Lantas bagaimana denganmu? Apa kamu akan membiarkan aku bertemu dengan Yuda?"Pertanyaan yang sangat bagus bagi Erland, sampai bibir menyeringai. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku biarkan pengganti Irene kabur dari hidupku."Pengganti? Aruna membisu. Entah kenapa, hatinya sedikit kesal mendengar kenyataan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang pengganti. "Kalau begitu, aku tidak perlu cemas," sahutnya karena butuh kebebasan."Tapi, apa kamu lupa Aruna. Bahwa aku bukanlah iblis yang terus berada di sekitarmu," singgung Erland."Jika sampai bertemu, bukankah itu sangat merepotkan?" tanya Erland.Aruna tahu, pria ini hanya berniat menyurutkan semangatnya untuk menjalani kehidupan seperti manusia lainnya. Keluar rumah ketika ada keperluan."Sekarang identitasku adalah Irene, dia tidak akan berani macam-macam," ujarnya
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat