Dalam perjalanan pulang, Allura jadi banyak bicara hingga membuat Badai tak henti tersenyum. Sungguh berbeda saat di studio setelah mereka makan siang bersama tadi. Sekarang, Allura seolah kembali nyaman berada di sampingnya.
"Nanti saat bertemu wanita beruntung itu kau harus menunjukkan perhatianmu, Badai," katanya sambil menatap Badai dengan serius.
"Perhatian? Contohnya?" tanya Badai sambil memutar setir mobil saat berada di belokan.
"Cari tahu apa makanan favoritnya, lagu, hobi, dan film kesukaannya. Dan, oh, iya. Ajak dia nonton film, atau ke taman, jalan-jalan berdua. Dengan begitu dia pasti akan sadar dengan perasaanmu meskipun kau belum mengungkapkannya." Allura menjelaskan panjang lebar karena dulu saat Rayan mendekatinya, suaminya itu melakukan hal yang sama.
"Begitu? Kapan-kapan akan aku coba," jawab Badai tak berminat sama sekali. Dia bahkan belum membalas tatapan Allura karena fokus pada jalanan.
Rayan baru saja keluar dari kantor dan bergegas hendak pulang, tapi dia mendesah saat melihat ban mobilnya kempes. Rasanya saat pergi tadi kendaraan beroda empat miliknya itu baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa kempes begitu. Baru saja dia mengambil ponsel hendak menghubungi bengkel langganannya, suara klakson mobil membuatnya menoleh. Safiya terlihat menurunkan kaca mobilnya yang melintas di depan Rayan. "Kenapa, Mas?" tanya Safiya yang melihat wajah bingung Rayan. "Ban mobilku kempes, sepertinya aku harus pulang naik taksi," jawab Rayan lesuh. "Taksi? Ah, itu pasti butuh waktu lumayan lama, Mas. Karena di jam pulang kerja begini di mana-mana akan macet. Bagaimana kalau Mas ikut mobilku saja? Sekalian aku memang ingin ke rumah Mas untuk bertemu Mbak Allura." Rayan mengernyit. "Bertemu Allura? Kenapa?" "Kami ada janji, Mas. Kata Mbak Allura langsung ke rumah saja. Jadi, karena kita satu
Berada berdua dengan Rayan dalam satu ruangan membuat tubuh Safiya seakan makin meriang. Meskipun dia sudah meminum obat yang diberikan Rayan, tetap saja, dia tak bisa baik-baik saja. Setelah menghabiskan teh buatan suami Allura itu, Safiya hendak pamit pulang. Namun, karena waktu sudah cukup malam, Rayan tak enak membiarkan Safiya pulang sendiri, maka tanpa basa-basi dia mengantarkan Safiya pulang. Awalnya tentu Safiya menolak, karena kasihan jika Rayan harus pulang naik taksi, tapi karena Rayan setengah memaksa Safiya jadi luluh juga. Saat sampai di depan rumahnya, Safiya menawarkan pada Rayan untuk masuk, mengingat sudah terlalu malam untuk bertamu, Rayan menolaknya halus. Dia menyarankan Safiya untuk segera istirahat saja agar tubuhnya besok lebih baik. Setelah itu Rayan langsung naik taksi untuk kembali ke rumahnya. Rumah yang sepi tanpa kehadiran dari istri tercintanya. Memasuki rumah kembali, Rayan bergegas membersihkan
Terbangun dalam keadaan lelah karena semalaman menangis, membuat kepala Allura pening. Dia segera bersandar di head board sambil mengurut pelipisnya. Matanya belum benar-benar terbuka, namun dia tahu ini sudah menjelang subuh, karena adzan dari masjid yang tak jauh dari hotel tempat dia menginap telah berkumandang. Mengusap kedua matanya yang terasa membengkak, Allura membawa langkah menuju kamar mandi, dia ingin membersihkan diri lalu menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, yaitu salat subuh. Setelah bersujud dan meminta ketenangan hati pada Sang Pencipta akan semua yang terjadi pada hidupnya, Allura membereskan barangnya yang tak seberapa. Dia berniat untuk segera pulang, karena apa pun yang terjadi semalam, itu mungkin pertanda dari Tuhan, bahwa apa yang dia inginkan akan segera terwujud, dan Allura tak boleh bersedih untuk itu, dia harus baik-baik saja. Meski sudah merapikan penampilan, mata Allura tak bisa berbohong, ada gurat
Sepanjang perjalanan, Allura hanya diam. Dia sedang menyusun kalimat untuk menghadapi amarah Rayan. Dia yakin suaminya itu pasti sudah menghubungi mamanya dan menanyakan keberadaannya. Ponselnya sengaja dimatikan, karena Allura belum siap jika dikonfrontasi melalui ponsel. "Mbak, kita sarapan dulu sebentar, mau?" Allura tersentak dari lamunannya dan menoleh pada Badai yang menatap lurus jalanan. "Sarapan?" tanyanya mengulang apa yang Badai tawarkan. "Iya. Di hotel tadi pasti Mbak belum sarapan, kan?" Benar. Jangankan sarapan, Allura bahkan tak ingat apa dia sempat menyentuh air putih yang disiapkan di meja kamarnya tadi. "Tidak, Badai. Aku belum lapar," jawabnya sambil membuang muka kembali ke jendela. Jangankan memikirkan perutnya, saat ini yang ada di benak Allura hanya Rayan, suaminya. Apa laki-laki itu sudah sarapan, atau justru sudah pergi ke kantor. Allura sangat penasaran. Karena penolakan A
Mendapati kepergian Rayan dengan amarah, Allura langsung masuk ke kamar. Dia kembali menangis sambil berbaring di ranjangnya. Ternyata menangis semalaman belum cukup baginya, baru saja menginjakkan kakinya di rumah dia harus kembali menangis. Bahkan sekarang tubuhnya terasa sangat lemah. Dia memutuskan untuk tidur, karena dia benar-benar tak memiliki tenaga lagi. Bahkan Allura tak ingat jika dia belum sempat untuk mengisi perutnya. Karena tubuh yang begitu lemah, Allura butuh waktu untuk bangun dari tempat tidur, dia melihat ke arah jendela kamar, matahari sudah semakin meninggi. Perlahan namun pasti, dia membawa tubuhnya untuk ke kamar mandi sekadar mencuci muka. Setelah itu, Allura jadi kebingungan sendiri saat keluar dari kamarnya. Dia merasa tak tahu harus melakukan apa. Namun, suara dering ponselnya membuat Allura duduk di meja makan sambil mengangkat panggilan yang ternyata dari Badai. "Halo?" "Halo. Mbak, b
Suasana terasa sangat mencekam. Bagi Allura, Rayan terlihat seperti singa yang terluka, keganasan dan juga ketakutan, bahkan amarah dan kesedihan terlihat sangat jelas di matanya. "Kamu salah paham, Mas. Aku tidak melakukan apa pun yang kamu tuduhkan." Allura mencoba melepaskan diri, dia tak ingin apa yang akan Rayan lakukan membuatnya menyesal esok hari, namun, Allura tidak bisa. "Kamu bohong. Katakan padaku Allura, apa pria itu lebih gagah dariku? Apa dia sudah merasakan tubuhmu? Dan apa kau mendapatkan kepuasan darinya?" "Mas! Cukup! Tolong jangan tuduh aku!" Allura berusaha kembali membebaskan diri, dia mendorong dada Rayan sekuat tenaga agar menjauh. Namun, Rayan tetap teguh dengan posisi tubuhnya. Dia bahkan mengangkat kedua tangan Allura di atas kepala wanita itu hingga tubuhnya terkunci. Andai saat ini Allura tidak dalam posisi begini, dia akan melayangkan tamparan keras untuk menyadarkan suaminya itu. Allura sangat yakin
Semakin hari keadaan tidak menjadi lebih baik. Hubungan Rayan dan Allura benar-benar terasa dingin. Rayan terus mengabaikannya hingga berakhir selalu tidur di kamar tamu. Dan seperti hari-hari sebelumnya, Rayan tak bersedia memakai pakaian yang Allura siapkan, bahkan tak pernah sekalipun Rayan makan di rumah. Entah itu sarapan atau bahkan makan malam. Padahal Allura sudah menyiapkannya dengan setulus hati. Tentu saja Allura jadi semakin menderita. Dia tak mengira nasib pernikahannya akan jadi begini. Berusaha mencari cara, Allura ingin mengajak Rayan bicara. Dia benar-benar butuh berkomunikasi dengan suaminya itu agar masalah yang tengah mereka hadapi tidak semakin berlarut-larut. Baru saja Allura hendak menghubungi Rayan, dia mendapatkan panggilan lebih dulu, dan ternyata Safiya yang menghubunginya. "Assalamualaikum, Mbak," panggil Safiya di seberang sana. "Wa'alaikum salam, Safiya. Kenapa kau menghubungiku?" Allura bers
Perjalanan dari Jakarta ke Bandung lumayan lama, dan sepanjang jalan itu, Allura bercerita banyak hal tentang Rayan pada Safiya. Entah itu makanan favoritnya, kebiasaannya, keburukannya, hampir semua yang orang luar tak tahu. Allura melakukan itu tentu saja memiliki tujuan, agar saat Safiya bersama Rayan nanti, dia bisa mengambil hati Rayan. Namun, semakin membicarakan suaminya itu, Allura jadi semakin merindukannya. Andai dia bisa bicara sebentar dengan Rayan sebelum pergi tadi, tapi tentu saja hal itu tak mungkin. Suaminya masih marah padanya. Setelah menjelaskan pada Safiya jalan menuju rumah mertuanya, Allura tersenyum senang saat melihat pekarangan yang hijau penuh dengan bunga itu sudah terlihat. Safiya sampai terpukau melihat wajah Allura yang tadi mendung kini nampak bersinar. "Di sini ya, Mbak?" tanyanya sambil menginjak rem. Allura mengangguk dan segera melepas seatbelt. Dia keluar dan bergegas menuju ru
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, tidak terlalu cepat jaraknya sejak Rayan datang ke rumah orang tua Allura di kampung halamannya yang lumayan jauh jaraknya dari Jakarta. Pernikahan digelar di kampung saja karena Rayan sangat-sangat menghargai keputusan ibu dan ayah Allura yang ingin menjalankan tradisi adat di kampung beliau juga, ibu dan ayah Rayan tidak keberatan dengan hal itu karena menurut mereka apapun yang membuat anaknya bahagia maka biarlah seperti itu.Allura sudah mandi kembang di pagi-pagi hari sekali sesuai adat kampungnya, tidak ada yang menyalahi syariat dalam ajaran agama Islam menurut Rayan juga Allura karena itulah kedua sama-sama yakini.Acara pernikahan akan dilaksanakan pagi hari sekali di aula perkampungan. Seluruh warga di kampung sangat bersyukur dapat juga berpartisipasi dalam menyiapkan aula kampung sebagai tepat ijab kabul nanti dilakukan.Suasana kampung sangat meriah di hari sebelum hari pernikahan ini. Ada yang memasak, merapikan
Jujur saja seperti tidak ada pilihan yang tepat selain jawaban iya dari Allura karena memang itulah yang sekarang ada di hatinya. Rayan benar-benar mengagetkannya dengan lamaran yang mendadak ini dan mengatakan akan melakukan semuanya dalam waktu cepat, jika tidak ada yang sedang ditunggu-tunggu dan jika bisa.Saat ini hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga karena Rayan akhirnya melamarnya dan mengatakan akan segera juga menyampaikan niat baiknya kepada keluarganya Allura di kampung.Seusai ke area panahan pun Rayan mengajak Allura ke tempat makan di kapal yang ada di tengah sungai tidak jauh dari tempat panahan itu. Allura masih dalam mode diam yang senang, tidak bisa merespon apapun yang sedang Rayan ingin lakukan dengannya.“Allura,” panggil Rayan sambil sedikit menepuk pundak Allura hingga gadis yang sudah mengetahui perasaannya juga tujuannya untuk masa depannya itu menoleh ke arahnya.Masih gugup, masih sangat gugup.
Sudah sejak ia bertemu Allura Rayan memikirkan banyak cara untuk memberi Allura sesuatu yang mengejutkan di kehidupan Allura.Ingin sekali Rayan selalu memberi kebahagiaan kepada Allura yang saat ini sedang menghiasi pikirannya di setiap malam yang kini selalu terasa panjang karena rindu.Seminggu sudah Rayan menyiapkan satu kejutan besar untuk Alluara. Harinya telah tiba, hari di mana Rayan akan memberi Allura sesuatu yang sepertinya akan terjalin seumur hidupnya, rencana Rayan.Semuanya Rayan lakukan sangat rahasia, karena Rayan ingin menjadi satu hal yang paling membahagiakan di hidup Allura. Rayan selalu berpikir itulah tujuannya kanapa dirinya selalu bernafas hingga saat ini.Rayan sudah janjian dengan Allura tiga hari yang lalu, ketika Rayan sudah yakin kalau kejutannya sudah siap.Kebetulan sekali Allura tertarik kepada panahan, Rayan mengajaknya ke tempat panahan yang berada di taman yang cukup indah, Taman Cornalia yang berte
Hari nampak mendung kebetulan yang sangat langka kembali terjadi, ini seakan pertemuannya yang pertama dengan Allura. namun kali ini tidak sama dengan kali pertama karena Rayan sudah banyak sekali mengetahui tentang kehidupan Allura dengan baik, bahkan dengan sangat baik. “Hay,” sapa Rayan kepapa Allura yang tengah berdiri seperti biasa menunggu bus yang tak kunjung datang. “Masih jadi misteri ya, Rayan.” Allura tiba-tiba mulai berkata namun terhenti setelah melihat wajahnya. Rayan bertanya, “Misteri, kenapa?” Allura malah tersenyum. “Ini … kenapa setiap mendung busnya telat datang, padahal kan semua orang kalau sudah mendung seperti ini pasti tergesa-gesa dan menjadi cepat kerena takut nanti hujan. Lah, coba lihat bus yang sekarang tidak ada di sini, ini sudah melanggar etika duniawi. Busnya malah telat datang. Aneh sekali, bukan?” tanya Allura kepada Rayan yang sangat tertawa karena Allura yang tidak seperti biasanya memikirkan hal ya
Rayan dan Allura sudah jarang bertemu untuk jalan-jalan bersama semenjak keduanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Namun, keduanya masih sempat mengirim kabar melalu pesan singkat ataupun telepon suara. Allura kini sudah bisa memaklumi kalau Rayan begitu sibuk dan kadang tidak membalas pesannya walaupun masih dengan sedikit rasa kesal karena terabaikan. Ia juga masih sering curhat perihal Rayan pada Jena. Tentu saja Jena sebagai wanita yang lebih berpengalaman dalam hal pacaran daripada Allura pun memberinya banyak saran dan masukan. Walau terkadang saran dari Jena itu agak melenceng dan berbau hal-hal dewasa, tetapi Allura bisa memilahnya. Ia juga paham bagaimana sifat sahabatnya yang satu itu.Allura sangat senang karena ia baru saja mendapatkan kenaikan gaji setelah bekerja begitu keras. Ia sangat ingin membagi kebahagiaannya itu bersama Rayan. Saat itulah muncul ide untuk memberi sang kekasih kejutan. Allura berniat untuk datang ke rumah Rayan tanpa sepengetahuannya. U
"Jen, tanganmu kok jadi kekar begini sih? Kamu sering olahraga, ya?" tanya Allura memandang ke arah bawah tempat ia mengambil biji popcornnya. Ia merasa takut ketika tangan itu bukanlah tangan putih susu milik Jena. Melainkan tangan dengan warna tone yang lebih gelap.Allura langsung mengarahkan pandangannya ke samping. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui pemilik tangan itu bukanlah Jena. Pemilik tangan itu langsung tersenyum lebar ketika Allura memandangnya dengan tatapan terkejut. Mungkin jantungnya sudah hampir copot saat itu."Apa kabar, sayang?" tanya Rayan dengan senyum yang masih mengembang."Uhuk uhuk!" Allura langsung tersedak popcorn yang baru saja ia telan. Bagaimana bisa teman kostnya berubah menjadi Rayan?"Hei, pelan-pelan kalau makan. Ini minumlah," Rayan menyodorkan minuman lemon tea yang sudah ia beli sebelum masuk ke bioskop. "Kalau makan juga jangan sambil berbicara, yang ada kamu akan tersedak seperti ini."'Astaga bisa-bisa
Pagi-pagi sekali Allura sudah terbangun untuk memeriksa ponselnya. Padahal ini hari weekend, tidak biasanya ia bangun sepagi itu, terlebih langsung memeriksa ponselnya. Penyebab perubahan tingkah laku Allura itu tak lain adalah Rayan kekasihnya. Sudah beberapa hari ini Rayan tidak membalas pesan dari Allura. Ia tahu kalau Rayan sedang sibuk, tetapi apakah begitu sibuknya sampai tidak bisa mengirim satu pesan pun pada pacarnya sendiri?Dengan kesal Allura melempar ponselnya sembarangan ke kasur. Kemudian menenggelamkan kepalanya di bawah tumpukan bantal. Mencoba untuk memejamkan matanya kembali lalu menikmati kebahagiaan di alam mimpi. Daripada menunggu kabar dari Rayan yang seperti menunggu Bang Toyib pulang saja."Arrgghh!" teriak Allura frustasi. Ia tidak bisa begini terus. Mencoba tidur pun gagal ketika pikirannya hanya terus diisi oleh Rayan. "Aku harus bagaimana untuk menghilangkannya dari kepalaku?" tanya Allura sembari memegangi keningnya.
"Gadis yang aku sukai itu kamu, Allura," ucap Rayan sembari menyerahkan buket mawarnya pada Allura. "Aku sudah jatuh hati padamu sejak awal pertemuan kita. Bagaimana aku bisa melakukan saran yang kamu berikan tadi kalau gadis yang aku sukai itu adalah kamu?"Tiap kata yang dikeluarkan oleh Rayan saat itu bak mantra sihir yang bisa membuat orang menjadi patung. Begitulah yang dialami Allura sekarang, hanya diam tak bergerak. Betapa ia merasa malu karena sudah bertingkah sangat bodoh di depan Rayan saat itu. Semburat merah langsung terpampang jelas di permukaan pipinya. Ia sudah tidak bisa menahan lagi desiran hangat itu. Sebelum Rayan mengatakan hal yang lebih lanjut lagi, cepat-cepat Allura menghabiskan makanan penutupnya.Rayan bingung ia harus bersikap bagaimana. Jelas-jelas sang gadis sedang merasa malu karena sikapnya sendiri, tetapi Rayan tidak bermaksud untuk seperti itu. Sikap Allura yang salah tingkah pun tampak menggemaskan bagi Rayan. Sampai-sampai ia sangat
Satu pekan sudah berlalu, keadaan Ayah Allura pun sudah membaik. Itu berarti saatnya Allura kembali ke Jakarta untuk bekerja. Selama perjalanan pulang pikiran Allura selalu terganggu dengan satu lelaki yang belakangan ini memang sering berada di kepalanya. Hatinya gelisah ketika memikirkan wanita yang disukai oleh Rayan. Ia tak ada niat untuk berharap lebih, tetapi apalah daya jika hati tak sanggup tuk berdusta. Allura sudah terlanjur memiliki perasaan pada Rayan, tetapi Rayan malah menyukai wanita lain–begitu pikirnya.Melihat pemandangan melalu jendela adalah hal yang sangat menyenangkan. Apalagi jika pemandangan seperti desa tempat Allura dibesarkan. Namun, tatapan Allura hanya kosong seolah tak menikmati pemandangan yang ditangkap oleh netranya."Ah, untuk apa aku memikirkannya. Lagi pula dia pasti sedang memikirkan gadis yang disukainya," gumam Allura yang masih saja menatap kosong ke arah luar.Beberapa menit berlalu Allura masih saja memikirkan Raya