“Sejujurnya, aku merasa sangat bodoh karena mempertahankan sesuatu yang terus menerus menyakitiku,” tutur Danila dalam hati sedu.Hugo mendekap tubuhnya dengan erat. Setelah menyelesaikan urusannya tadi. Apa dia lupa, bahwa hari ini masih pagi. Bukankah seharusnya dia kembali lagi ke perusahaan? Danila tidak merasakan kebahagiaan saat mendapati dekapan hangat itu darinya.Cinta yang tidak pernah ada. Dari hubungan pernikahan mereka terjadi karena adanya kesepakatan maupun perjanjian antara dua keluarga. Danila justru malah tiba-tiba teringat pada Bagas. Mantan kekasihnya yang sampai saat ini masih mencintainya.“Bagas ... aku mau pulang. Tolong bawa aku pergi dari sini,” gumam Danila meringis dalam hati lagi.Namun otak Danila kembali memutar. Bagaimana mungkin, Bagas masih mau menerimanya? Sementara dirinya sudah bukan lagi seorang gadis perawan. Hugo telah mengambilnya setelah pulang dari makan malam bersama dengan wanita penggoda di kantornya itu.“Kau ingin pergi dari tempat ini?
Setelah bermenit-menit kemudian, Danila dan Haga tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah restoran cepat saji yang didatangi oleh keduanya atas permintaan dari Haga sendiri. Danila mengerutkan keningnya seraya menatap nanar Haga kecil.“Haga ingin makan itu?” tanya Danila. Haga terlihat mengangguk pelan.“Baiklah, kalau begitu kita turun sekarang. Yuk!” ajak Danila sembari menggandeng pergelangan tangan Haga. Anak itu mengangguk sambil melompat turun ke bawah dari kursi mobilnya. Keduanya lantas keluar dari kendaraan roda empat itu. Danila menuntunnya dengan erat, berjalan memasuki ke dalam restoran yang ada didepan mereka sekarang. Haga tampak berbinar ceria wajahnya. Danila tersenyum tipis mengembang menatap putra sambungnya, yang sudah banyak berubah sikap kepadanya.“Selamat datang! Mau pesan apa?” sapa customer servicenya. Danila menoleh ke bawah menatap Haga. Anak itu terlihat merentangkan kedua tangannya ke atas. Bermaksud agar Danila menggendongnya. “Baiklah, Haga mau pesan apa
“I-iya, Kakak percaya. Lalu Haga ingin pergi ke mana?” ujar Danila bertanya-tanya.“Ke tempat yang ada banyak anak-anak kan, aku bilang.”Helaan napas terdengar memanjang keluar dari dalam rongga hidung Danila. Kedua matanya mengerjap sesaat. Lalu menatap wajah Haga yang saat ini tengah fokus memainkan tablet miliknya.“Tempat yang ada banyak anak-anak biasanya di taman bermain. Kalau di wahana permainan, tidak semua anak ada di sana,” tutur Danila. Tiba-tiba Haga mendongak menatap Danila dengan tatapan berbinar.“Benarkah? Kalau begitu Pak, kita ke taman kota sekarang! Aku mau bermain di sana,” celetuk Haga memerintahkan sopirnya. Danila mengerutkan keningnya keheranan.“Astaga, anak ini. Ya sudahlah, aku hanya mengikut saja. Ujung-ujungnya pun aku juga yang akan terkena umpatan dari pria gila itu,” gerutu Danila dalam hati pasrah.Sampai tibalah mereka di tempat yang dituju. Sebuah pemandangan indah terletak ditengah-tengah kota ini. Ya, itu adalah taman bermain. Haga bergegas turu
“Nona muda!” panggil pengawal yang diutus oleh Hugo pada Danila. Wanita itu lantas menoleh.“Eh? Ciko? Kalian...” ujar Danila terperanjat saat melihat anak jalanan yang ia temui didekat tempat sampah itu tiba-tiba muncul lagi. Tapi kali ini dia tidak datang sendirian. Melainkan bersama dengan teman-temannya.Haga yang sedang asyik menikmati makanannya sontak terbangun dan berdiri sambil memperhatikan ke arah mereka semua. Danila membantu membersihkan sisa dari makanan yang masih menempel pada bibir mungilnya. Tampaknya Haga begitu senang dengan kedatangan mereka.“Hei, kalian kenapa baru datang? Aku sudah menunggu sejak tadi,” tutur Haga berteriak kecil. Suara imutnya terkesan lucu.“Kak, aku minta maaf. Karena sudah salah mengira Kakak tadi,” ucap Ciko seraya tertunduk sedu pada Danila.Guratan senyum Danila mengukir tipis. Ia mengelus lembut wajah Ciko yang terlihat sedikit kotor. Para anak itu melihat sikap Danila yang memperlakukan Ciko seperti orang yang sudah kenal lama. Mereka t
Singkat cerita, mereka pun tiba di kediaman utama. Danila turun lebih dulu dan masuk ke dalam rumah. Lalu Haga ikut mengekor berjalan dibelakangnya menuju ke kamarnya. Tersisa Hugo sendiri bersama dengan sekretarisnya.“Jo, cari tahu apa yang mereka lakukan hari ini di taman kota itu dalam lima menit dari sekarang,” titah Hugo pada sekretarisnya yang bernama Jo.“Baik, Tuan muda,” balasnya sambil membuka sebuah tablet kecil yang ia genggam.Setelah lima menit kemudian....“Tuan kecil hari ini pergi ke sebuah restoran cepat saji bersama dengan Nona Danila. Total semuanya berjumlah senilai sepuluh juta. Setelah itu, Tuan kecil dan Nona Danila pergi ke taman kota dan mencari anak-anak jalanan untuk membagi-bagikan semua makanan itu pada mereka. Informasi yang saya dapatkan hanya itu saja, Tuan muda,” lanjut sekretaris itu menjelaskan pada Hugo.Raut ekspresi wajah Hugo yang semula dingin berubah normal lagi. Posisi duduknya berubah tegap. Ia tampak menekan keningnya sesaat. Tiba-tiba gur
Ting nong! Terdengar suara bel kediaman rumah utama berdengung dan menggema ke seluruh ruang. Sepertinya ada tamu yang datang. Bahkan Danila bisa mendengar suara belnya. Rasa penasarannya begitu menggebu. Siapa orang yang datang ke tempat ini? Hatinya menerka-nerka bila tamunya adalah Bagas, mantan kekasihnya. “Apa itu Bagas? Aku harus bertemu dengannya,” gumam Danila dalam hati bersemangat. Langkah kaki Danila berjalan sedikit cepat menuruni anak tangga. Raut wajahnya tampak berbinar, tidak sabar untuk melihat kondisi Bagas yang sekarang. Karena sudah lama ia tidak bertemu lagi dengannya. Namun saat Danila tiba didekat pintu utama, ekspresi wajahnya langsung berubah.Tamu itu bukan Bagas ternyata. Melainkan seorang wanita berpakaian baju seksi tengah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Rasa kesal dalam gejolak hati Danila seketika berdesir hebat ketika menatap ke arahnya. Terlebih lagi, Hugo sudah lebih dulu menemuinya dan tengah berdiri diambang pintu itu. Danila lantas berbal
Malam pun tiba, suasana di kediaman rumah utama tampak begitu tenang. Semua orang kini berada di satu meja yang sama. Mereka tengah menikmati makan malam bersama. Terlebih lagi, Adriana pun juga ada. Ya, wanita itu memang menginap di sini. Dia berniat untuk membantu Danila pergi dari jeratannya Hugo.Namun siapa sangka, Adriana melakukan semua itu bukan bermaksud benar-benar ingin membantu Danila. Melainkan dia ingin menggantikan posisi Danila di rumah itu sebagai nyonya sekaligus ibu sambung untuk Haga.“Hei, anak manis? Kamu yang bernama Haga, ya? Salam kenal, aku Adri...” ujar Adriana terpotong sebab Haga langsung membalasnya menggunakan kata-kata tajamnya.“Aku tidak butuh perkenalan diri darimu!” cetus Haga seraya mendelik tajam menatapnya.“Haga, Ayah tidak pernah mengajarimu untuk bersikap tidak sopan pada orang lain. Minta maaf!” sanggah Hugo sang ayah membela Adriana terang-terangan.Haga lantas terdiam, namun pandangannya tidak beralih menatap wajah wanita itu. Danila memili
“Apa benar yang akan dikatakan Adriana itu? Dia benar-benar akan membantuku pergi keluar dari rumah ini? Tapi bagaimana bila Hugo tahu? Aku sudah tidak tahan berada di sini. Aku rindu dengan kebebasanku,” celoteh Danila seraya mondar-mandir berjalan memutari ranjang. Danila yang tengah mencemaskan rencananya untuk besok pagi bisa kabur dari kediaman utama ini, tanpa sadar langsung dikejutkan oleh kehadiran sosok Hugo yang tiba-tiba muncul dan mendekap tubuhnya dari arah belakang. Membuat kedua bola mata Danila membelalak lebar terperanjat tidak menyangka.“Apa yang kau lakukan? Kau masih belum berganti baju?” ujar Hugo dengan suara baritonnya. Tangannya meraba-raba tubuh Danila yang saat ini masih memakai jubah kimono mandi berwarna putih. Padahal sebenarnya ia tengah memakai baju dobel didalamnya. Yakni baju tidur kurang bahan yang digantikan para pelayan di sini.“Hei, hentikan tanganmu itu!” teriak Danila dalam hati menjerit.“Kenapa kau tidak memakai baju yang sudah aku belikan u
Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini
"Apa yang kau lakukan?" cetus Danila bertanya. Hugo lantas semakin bertindak melebihi batas. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Danila. Sosok arogan yang biasanya ia tampakkan untuk menindas istri kecilnya kini berubah bertekuk lutut dihadapannya. Dalam hati, Danila tersenyum penuh kemenangan. Merasa puas dengan melihat sosoknya yang lemah. Itulah bayaran dari perlakuannya terhadap Danila pada kehidupan sebelumnya."Maaf..." gumam Hugo sambil mendekap erat tubuh Danila dengan melingkarkan kedua tangannya pada perutnya yang rata. Saat semuanya sudah terjadi, kata maaf saja tak mampu bisa menghapus segala ingatan memori yang sudah terlanjur tenggelam dalam benak Danila. Hugo sudah melewati batas kesabarannya. Dengan mudahnya dia mengatakan kata-kata maaf. Setelah melakukan semua yang terjadi. Kasus penculikan, bahkan Danila hampir saja keguguran karena perencanaan aborsi itu."Hujan semakin deras. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu," sanggah Danila mengalihkan obrolan. Tapi reak
Hugo melakukan pertemuan dengan dokter yang menangani laboratorium uji tes DNA pada bayinya Danila secara rahasia. Tampaknya, pria itu masih belum percaya dengan hasilnya. Aura serta raut wajah yang dingin begitu menyergap di meja pertemuan itu. Dokter Reno terlihat memberikan secarik surat berisi hasil tes uji coba yang kedua. Hugo lantas mengambilnya sambil menatap dokter tampan ini dengan tatapan tajam pada kedua mata elangnya.“Apa kau tahu, aku benci dengan kesalahan. Kau harusnya tahu, kan. Apa akibatnya jika kau benar-benar melakukan kesalahan?” ujar Hugo menggertak. Dokter tampak meneguk salivanya, lalu menunduk ke bawah sana sembari mengangguk pelan.Hei, hei, hei! Dia mengatakan itu karena dia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan. Yang benar saja, orang perfeksionis sepertinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Benar-benar serigala yang menyebalkan!“I-iya, Tuan. S-saya yakin seratus persen, kalau saya tidak melakukan kesalahan.” Hugo mengernyit sambil membaca isi d
Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kau telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan datang, walaupun kau tidak menginginkan kedatangannya. Bukan berarti hatinya tak sakit, bukan pula hatinya tak hancur, bukan pula hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringi. Danila telah tiba didepan halaman kediaman rumah keluarganya. Tubuh kecil dan lemah itu terlihat menggendong makhluk mungil dengan penuh ketulusan. Sekretaris Jo mengantarkannya sampai didepan pintu saja. Bahkan para pengawal itu pun tak membawakan barang-barang miliknya sampai ke dalam sana. Mereka pasti begitu malu, dan tak punya wajah untuk melihat kedua orang tua Danila yang sampai detik ini masih belum mengetahui kehamilan serta kelahiran cucu pertama mereka. “Terima kasih, sekretaris Jo.” Danila berkata sungkan seraya menundukkan pandangannya. Tatapan sekretaris Jo justru tampak bimbang menatap ke arahnya. Seperti orang yang kehabisan kata-kata tuk menjawabnya. “Tak perlu berterima kasih, Nona