Terseok-seok, Arash membawa langkah lebarnya kembali ke ruangan tempat istrinya dirawat. Dengan fakta yang baru ia ketahui, justru membuatnya benar-benar shock.Pikirannya berkecamuk, tidak bisa menyangka jika Zeva memiliki niat buruk kepada ibunya. Andai tidak ada Farraz, dia mungkin sudah lebih percaya pada wanita yang selama ini cintai.Sakit memang, tapi ... jika dibandingkan dengan Shiena, dia jauh lebih sakit dengan apa yang ia lakukan padanya.'Shiena ... maafkan aku,' batin Arash.Memegang tembok, agar tubuhnya tak limbung. Arash belum mampu menopong badan sendiri dengan apa yang terjadi.Juga, pikirannya sangat gamang. Antara masuk atau tidak, dia malu dan menyesal, jika menunjukkan wajah di hadapan orang ia buat kecewa. Shiena, Farraz dan Shanaya."Bodoh! Kau benar-benar brengsek!" makinya pada diri sendiri.Menahan isak tangis, dirundung perasaan bersalah yang kian besar. Sekarang, Arash ingin menemui anak dan istrinya. Urusan Zeva, biarlah diurus nanti."Kenapa kau datang?
Shiena merasa lega. Karena Baby Rara—anaknya mendapatkan kasih sayang sepanjang hari dari mertuanya. Farraz dan Shanaya begitu baik, mengurus Akira.Dengan begitu, Shiena bisa istirahat sejenak. Paling dibangunkan jika anaknya sudah ingin menyusui. Seperti sekarang ini, Shanaya sedang duduk di sofa sambil menggendong cucu pertamanya, di sebelahnya Farraz yang ikut nimbrung."Wajahmu kenapa mirip sekali dengan putraku, Sayang? Ah, mengingat ayahmu itu, Grandma jadi kesal," bisik Shanaya, telunjuknya menoel pipi chubby Akira yang sedang tidur.Mendengar nama 'Grandma' diucapkan Shanaya, Farraz terkikik geli dengan panggilan baru itu. Dia tidak menyangka, keduanya sudah memiliki cucu."Aku malah kesal, mendengar kata grandma terlontar di mulutmu," kekeh Farraz, melingkarkan tangan di perut istrinya dan menyandarkan dagu di bahunya.Shanaya mencebik kesal, dia tidak menyangka sudah setua ini. "Mau bagaimana lagi? Kita memang sudah tua, Mas. Kita sudah memiliki cucu yang cantik dan lucu."
Arash meneguhkan hatinya untuk menemui Shiena dengan mata yang basah. Dia membuka pintu, Shiena sedang berjalan tertatih untuk duduk di ranjang. Terdengar ringisan, dengan wajah kesakitan.Shiena menyusui Baby Rara yang menangis, kemudian dibaringkan jika sudah tenang.Diam dan memperhatikan, Arash tidak tega melihat perjuangan Shiena yang pertama kalinya menjadi seorang ibu."Baby rewel?" tanya Arash, mengejutkan.Kepala Shiena terangkat. "Kau belum berangkat, Mas? Maaf tidak bisa membantumu.""Tidak apa, aku bisa melakukannya sendiri. Duduklah." Shiena yang sempat berdiri, diminta duduk kembali.Tubuh Arash berjongkok di hadapan Shiena, kedua pasang mata mereka saling menatap satu sama lain. Shiena menunduk, sakit setiap kali melihat wajah rupawan itu."Ada apa, Mas? Kenapa matamu merah?" Suaminya menggelengkan kepala, menyembunyikan kesedihannya di depan sang istri. "Kelilipan mungkin," alibinya.Di tempat duduknya, Shiena makin tak karuan, dia ingin menjauh lantaran tak sanggung
Malam ini, anggota keluarga sedang kelimpungan menenangkan Baby Rara yang terus menangis dan susah ditenangkan. Membuat Shiena khawatir, takut terjadi sesuatu pada anaknya.Guna menghalau kekhawatiran Shiena, Shanaya mengambil alih cucunya, menimang-nimang supaya tenang. Sayangnya, Baby Rara tidak berhenti mengeluarkan tangisan."Apa yang terjadi pada Rara, Mom? Apakah Rara baik-baik saja?" tanya Shiena melirih pilu, siapa saja pasti sedih, jika melihat anaknya seperti itu."Tenang, Sayang. Jangan khawatir. Mommy tenangkan dulu," ujar Shanaya. Melihat ke arah Shiena yang masih belum bisa bergerak leluasa, lantaran nyeri dibagian inti tubuhnya."Apa sebaiknya telpon Dokter saja?" usul Farraz, ikut gelisah jika cucunya belum menenang juga dari tadi. Alhasil, mereka bertiga begadang di tengah malam.Shanaya terus menenangkan, sesekali mengusap bokong Baby Rara. "Kelihatannya Rara baik-baik saja, Mas. Mungkin lagi haus. Asi Shiena macet," katanya."Ada apa? Kenapa ramai sekali?" tanya ses
Shiena yang sedang nyamannya bersandar, terpaksa menjauhkan badan. Tidak enak dilihat tamu mertuanya. Mereka bersalaman, meski Shiena tidak tahu dan tidak kenal. Melihat keakraban Arash dan wanita itu, sepertinya mereka berdua memang kenal dekat."Selamat atas kelahiran anak kalian, ya. Tante senang bisa berkunjung ke sini. Maaf, saat nikahan Tante tidak datang," kata Raisa, sambil menepuk pundak Arash yang lebih tinggi darinya, mirip Farraz sewaktu muda.Arash dan Raisa memang kenal dekat, karena Shanaya sering mengajak Raisa jalan-jalan bertiga saat itu."Terima kasih, Tan. Aku senang bertemu denganmu. Oh iya. Perkenalkan, dia Shiena, istriku," kata Arash pada istrinya yang menurunkan kaki."Eh, duduk saja, Nak. Biar Tante yang menghampirimu," pekik Raisa, mencegah Shiena yang akan berjalan.Raisa menghampiri, bersalaman dan berpelukan pada wanita muda. Ia kagum, dengan istri keponakannya itu, cantik dan manis. Apalagi bayi di gendongannya."Aku Shiena, Tante," kata Shiena memperke
Tak terasa, 4 tahun sudah berlalu. Rumah tangga Arash dan Shiena juga jauh lebih baik dari sebelumnya. Keduanya membesarkan putrinya sama-sama.Arash tengah disibukkan dengan pekerjaannya di tengah malam. Terdengar suara pintu dibuka, Arash menghentikan ketikan tangannya."Lho, Rara belum tidur, Nak?" tanya Arash pada Akira yang masuk ke dalam ruangan ayahnya.Akira kini sudah berumur 4 tahun, tumbuh menjadi anak yang cantik dan pintar. Tidak jarang, Akira selalu mencari kesempatan menyusul ayahnya jika sedang disibukkan dengan pekerjaannya."Belum, Rara mau bersama Daddy. Rara mau tidur kalau Daddy selesai," kata Akira yang sudah pandai bicara.Arash menahan senyum, melihat wajah kantuk putrinya. Ia merengkuh tubuh mungil Akira dan mendudukkan di pangkuannya."Nanti Mommy mencarimu jika kau tidak ada di kamar. Pekerjaan Daddy masih banyak, Sayang," kata Arash, mengecup wajah Akira berulang-ulang."Rara mau tidur bareng Mommy dan Daddy, kenapa Mommy dan Daddy tidurnya tidak bareng?" t
Karena usia Akira akan menginjak 4 tahun, semua anggota keluarga sepakat untuk merayakan ulang tahun putrinya.Saat ini, mereka sedang berada di pantai untuk mengadakan acaranya di sini, sembari bisa bermain.Akira begitu antusias, bermain pasir bersama Farraz dan juga Shanaya. Melihatnya, Arash dan Shiena ikut merasa bahagia, putri mereka sudah tumbuh dewasa."Lho, kok menangis?" tanya Arash pada Shiena yang matanya sudah mengembun.Bukannya menjawab, Shiena justru memeluk suaminya. Membenamkan kepalanya di dada suaminya yang bidang."Aku terharu saja. Bayi yang baru aku lahirkan dan aku gendong, sudah tumbuh dewasa," isak Shiena.Bukannya sedih, Arash justru terkekeh dengan tingkah istrinya ini. Tangannya terulur, membelai surai panjang istrinya."Kenapa kau harus sedih, hmm? Jika kau ingin punya bayi, kau 'kan tinggal bilang padaku," kekeh Arash, mendapatkan cubitan pelan di perutnya."Itu maumu! Kau memang modus terus jadi orang!" kesal Shiena menimpali suaminya. Mereka melerai p
Dunia Arash seolah berhenti berputar, melihat Shiena yang terkena tembakan yang entah pelakunya siapa. Dia memeluk tubuh Shiena, tangisannya pecah karena di hari bahagia ini kejadian naas menimpa istrinya."Sayang, bangun! Shiena! Bangun!" teriak Arash yang bergetar katakutan, takut jika Shiena tak bisa diselamatkan.Sementara ambulance sedang di dalam perjalanan, Akira juga sudah menangis, di samping ibunya.Para tamu undangan dibubarkan, takut terjadi hal yang tidak inginkan."Mommy kenapa, Dad? Mommy bangun!" kata Akira.Shanaya tubuhnya lemas, hampir pingsan jika Farraz tidak menahan. "Siapa yang tega melakukan ini pada, Shiena?" tanya Farraz."Mas, tadi Shiena bilang ada seseorang mencurigakan yang terus memperhatikan. Shiena langsung membalik badan, aku tidak tahu jika orang itu sedang membidik peluru. Dan mengenai Shiena. Gara-gara aku ... Shiena jadi begini!" isak Shanaya dengan tangisan pecahanya."Tenang, Shanaya. Shiena pasti akan baik-baik saja. Aku akan mencari tahu pelak
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t