Badan Shiena sudah segar ketika keluar dari kamar mandi. Wanita itu hanya mengenakan bathrobe dan handuk yang melilit di rambut panjangnya.Pekerjaan membersihkan rumah sangat melelahkan, ia jadi pegal-pegal. Saat hendak akan menutup pintu, Shiena tergugu saat mendengar suara desahan di kamar sebelah.Tepatnya kamar sang suami, yang kini sedang bersama kekasihnya di sana, mereka bercinta disaksikan olehnya."Sabar, jangan dihiraukan."Shiena mengunci pintu, ia duduk di tepian ranjang sambil melirik ke arah ponselnya. Menunggu kabar dari Marveen. Sebab, pria itu tidak ada kabar sama sekali.Dia hanya ingin mendengar penjelasan, tentang tragedi yang menimpanya di Club malam. Karena dirinya dalam keadaan mabuk, sementara Marveen sadar."Di mana kau, Marveen? Setelah kejadian naas itu kau menghilang begitu saja."Jarum panjang jam menunjukkan pukul 22.30 malam, rasa kantuk pun sudah menyerang Shiena. Ia berbaring, menutup telinga saat suara itu masih terdengar."Dasar tidak tahu malu, bis
Shiena hanya mampu menepis rasa sakit yang mendera dirinya, dia mencoba untuk tidak peduli pada dua insan yang entah sudah berhenti atau berlanjut melakukan hubungan terlarang itu.Selagi ada waktu, Shiena memakai blouse putih dan rok span selutut berwana hitam. Pakaian formal yang akan ia gunakan untuk bekerja.Meskipun hanya lulusan S1 saja, Shiena bersyukur bisa diterima di perusahaan besar dan menjadi pegawai di staff biasa."Bisa-bisa gila jika lama melihat mereka!"Ia menyambar tas miliknya, ia sudah siap dengan riasan dan pakaian sederhana miliknya."Shiena! Bersihkan kamarku!" teriak seorang pria, berhasil menghentikan langkah Shiena yang hendak menuruni tangga.Ia mendengus kesal, aktivitasnya selalu saja terganggu dengan perintah Arash. Perintahnya adalah hal mutlak, yang harus dituruti olehnya.Kaki jenjang Shiena menuju kamar suaminya. Dia pikir, Arash masih bercinta dengan Zeva."Bagaimana jika nanti saja, Mas? Aku sedang buru-buru mau bekerja," Shiena berkomentar, karena
Saat ini, di kediaman Farraz Arsawijaya. Shanaya dengan sigap menyiapkan semua keperluan suaminya yang akan ke kantor, seperti biasa, Shanaya selalu melayani kebutuhan suaminya.Wanita paruh baya itu mengeluarkan jas untuk digunakan Farraz, disaksikan oleh Farraz yang kagum dengan tanda bakti Shanaya sebagai istrinya."Bagaimana aku tidak jatuh cinta padamu, semakin tua kau malah semakin cantik, Sayang," puji Farraz. Meski umurnya tak lagi muda, badannya tetap terlihat kekar dan gagah di usianya menginjak kepala 5.Shanaya terkekeh geli, dengan sikap manja suaminya yang tidak sadar umur. "Mas Farraz gombal terus, malu ah sama umur," katanya.Farraz memeluk istrinya dari belakang, hanya dengan menggunakan handuk sebatas pinggang saja, karena baru selesai mandi."Memangnya kenapa? Salah jika kita bermesraan di masa sekarang? Kan memang benar, kau itu memang cantik," Jari Farraz mengelus perut rata Shanaya yang terhalang bathrobe. "Apa perlu kita buat adik untuk Arash? Sepertinya kita ma
Mendengar bahwa pulang kerja akan diadakan acara peresmian, sembari memperkenalkan pemimpin baru diacara itu.Jika semua orang kegirangan dengan undangan ini, berbeda dengan Shiena yang memelas, masih shock pada kenyataan.Sedari tadi, Shiena lebih banyak melamun dan kehilangan fokus. Entah bagaimana reaksi Arash, saat tahu jika Shiena bekerja di perusahaannya."Shiena, jangan melamun. Kau harus fokus. Karena berkasmu akan diberikan langsung pada Pak Arash," kata Naomi, menepuk pundak Shiena.Shiena menyangga dagunya, dadanya bertalu cepat. Badannya gemetar, saat berkas di ruangan ini ia yang memberikannya. Karena rekan lainnya tidak mau, menolak berbagai alasan."Kau sajalah yang mengantarkannya, Mi," ujar Shiena, kurang minat bertemu Arash.Naomi begidik ngeri. "Aku tidak berani mendatangi ruang atasan, takut dimarahi jika ada berkas yang tak sesuai ekspetasi. Kau 'kan istrinya, Pak Arash tidak akan memarahimu."Andai berani, dia ingin sekali membantah ucapan Naomi. Apalah daya, dia
Shiena berdiri, ingin memperingati dua insan yang sedang menghindari keramaian. Yang Shiena khawatirkan, ada orang tak bertanggung jawab melihat kemesraan mereka. Shiena tidak mau, jika nama suaminya tercoreng dengan issue ini."Selamat atas peresmian jabatanmu, Sayang," ucap Zeva."Thanks, Babe. Aku senang kau datang."Shiena mencari Arash, yang sedang berada di lorong dan mengungkung Zeva ke tembok. Pria itu menelusupkan tangan, menarik tengkuk Zeva dan melakukan percumbuan.Arash tahu, bahwa ada orang datang. Dia menatap ke arah Shiena yang bergeming. Bukannya berhenti setelah dipergoki, Arash semakin melahap bibir Zeva dengan menuntun.Tidak memperdulikan bagaimana Shiena sekarang. Karena Arash juga tahu, bahwa keduanya sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.'Bagaimana aku bisa menjaga citra suamiku, jika dia memang brengsek seperti itu,' batin Shiena.Suara decapan percumbuan, begitu menggelikan di indra pendengaran. Terlebih ciuman mereka semakin intim.Shiena pergi, mengh
Arash kembali, sambil membawa kotak P3K untuk mengobati lutut Shiena yang terluka. Dia berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan sang istri.Luka di lutut Shiena cukup besar, darah segar mengalir di sana jika dibiarkan. Tak heran Shiena berjalan lunglai, jika kakinya luka seperti ini."Aku bisa sendiri," cicit Shiena. Menahan tangan Arash.Arash menepis istrinya. "Jangan banyak bicara!" Alhasil, Shiena menurut saja saat Arash menototolkan kapas yang sudah dicampur alkohol ke bagian lututnya yang terluka."Awhh!" Spontan Shiena memegang pundak Arash, guna menahan rasa sakit menjalar.Sadar dengan apa yang sudah dilakukan, Shiena menarik tangannya dan diturunkan."Lukamu bisa infeksi jika tidak diobati. Jangan berasumsi jika aku peduli, aku hanya kasihan saja padamu. Sudah diselingkuhi ditambah tidak dicintai dengan tulus," ledek Arash. Memasukan kapas dan alkohol ke dalam kotak karena sudah selesai mengobati istrinya.Arash selalu saja mencari celah, membuatnya emosi dikeadaan semrawut s
Arash menghempaskan bokongnya di kursi kebesarannya saat dia baru sampai di kantor. Hari pertama menjabat sebagai CEO, Arash tentu saja harus semangat. Walau dihadapkan dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya.Ini konsekuensinya, harus Arash terima jika hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan. Lelaki itu dengan teliti, mengamati satu persatu berkas laporannya.Satu jam berlalu, Arash sudah kelar memeriksanya. Punggungnya bersandar di kursi, meregangkan ototnya yang terasa pegal. "Aku merindukan Zeva, tumben sekali dia tidak ada kabar dari semalam," gumam Arash.Pertemuannya dengan Zeva, saat di Hotel Griya Villas, sampai sekarang kekasihnya belum membalas pesannya.Pintu ruangan terbuka lebar, saat sang Sekretaris masuk ke dalam."Ada apa?""Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan anda, Pak."Arash mengernyit. "Siapa?""Namanya Zeva, katanya dia ada janji dengan anda."Mendengar Zeva ada di sini dan di kantor ini, membuat Arash jadi was-was. Takut ada orang yang cur
Shiena mengusap pipinya, rasa sakit dan panas menjalar di sana. Yang lebih sakit adalah hatinya, ketika mendapatkan tamparan dari Arash—bernotabene sebagai suaminya lebih mementingkan kekasihnya, daripada dia selaku istrinya.Sementara Arash, ia memandangi tangannya, sudah lancang memukul Shiena hingga meninggalkan memar di sana.Wajah Shiena tertutup rambut, wanita itu meringis dengan wajah yang berkaca-kaca."Shiena ... a-aku—"Shiena melangkah keluar dari hadapan mereka, tidak mendengarkan perkataan Arash yang sudah menghancurkan perasaannya. Napas wanita itu terengah, menetralkan deru napas yang tersengal-sengal akibat berlari sepanjang lorong."Kau jahat, Mas! Lebih membela kekasihmu dibandingkan istrimu sendiri, sehina itukah aku di matanya?" monolognya, masuk kamar mandi dan menangis terisak-isak di dalam sana.Dilain tempat. Arash mengepalkan tangan, rahangnya mengetat dengan apa yang dia lakukan pada Shiena. Sungguh, Arash refleks dan tidak bisa mengendalikan dirinya.Ia meny
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t