Kedua insan beda jenis itu sedang bergelut menikmati peraduan ranjang sepanjang malam, tak menghiraukan berapa jam mereka melakukan penyatuan. Saling mencumbu, menyentuh dengan penuh damba, seolah lupa jika yang mereka lakukan ini adalah salah karena sudah melakukan hubungan terlarang.Arsinta terkulai lemas di atas tubuh Prayoga, dengan selimut tebal yang menutupi tubuh polos mereka. Keduanya sama-sama tumbang, saking lelahnya melakukan peraduan ranjang dengan dibanjiri keringat yang membasahi tubuh.Pukul 03.00 dini hari, mereka baru menyelesaikan cumbuan dan sentuhan, sementara milik keduanya masih menyatu enggan untuk melepaskan. Arsinta membenamkan kepalanya di dada bidang Prayoga, tangan kekar pria dewasa itu mengusap kepala hingga punggung wanita yang membesarkannya."Maafkan aku Bu, tidak kusangka bercinta denganmu senikmat ini. Kau tidak membenciku karena hal ini, 'kan?" tanya Prayoga. Dia tahu betul, jika yang dilakukan olehnya itu sebuah kesalahan besar. Karena sudah menyet
Bohong jika Shanaya tidak merasa tersinggung dengan kata-kata pedas suaminya. Ia hanya bisa menahan sesak ketika lagi-lagi Farraz membentaknya, bahkan menolak disentuh olehnya.Terkadang Shanaya bingung dengan Farraz, yang kadang bersikap lembut, kadang juga kasar. Shanaya berpikir, bahwa suaminya ini mempunyai kepribadian ganda.Aish, Shanaya asumsi yang tidak-tidaknya tentang Farraz. Dia tidak boleh menilai Farraz begitu saja, lagi pula mereka baru kenal. Shanaya masih belum mengenal Farraz secara mendalam.Farraz menepis pipinya yang basah karena kecupan Shanaya. Anehnya, darah Farraz berdesir, dia merasa sedikit senang ketika Shanaya menciumnya."Masak tidak boleh, nyentuh juga tidak boleh. Jadi yang boleh apa, Mas?" tanya Shanaya. Sengaja memancing amarah suaminya."Jangan mentang-mentang tanganku sedang luka, kau memancing emosiku. Aku bisa menyeretmu jika kau berani kurang ajar padaku!" ancam Farraz, mengarahkan tissue basah untuk diusal di pipinya."Kurang ajar bagaimana? Aku
Gegas Arsinta datang ke perusahaan Arsawijaya Copration setelah dihubungi oleh putranya. Wanita berusia 48 tahun itu meliuk-liukkan tubuhnya ketika memasuki ruangan impian semua orang. Arsinta melepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya.Dia tersenyum melihat dua pria di hadapannya sedang menatap ke arahnya. Arsinta tidak sabar, ingin segera mengambil alih data dan berkas tersebut. Agar dia bisa segera menguasai kekayaan suaminya."Kau sexy sekali sayang, maafkan aku tidak menyusulmu ke bawah," Radit menyergap tubuh sang kekasih gelap ketika keduanya berdekatan. Arsinta melingkarkan tangannya. Kedua sepasang kekasih itu tampak mesra, dengan tidak tahu malunya bermesraan di hadapan Prayoga."Tidak papa sayang, jika kau ke bawah, orang-orang kantor pasti akan curiga dengan kita."Prayoga hanya diam dan tidak acuh melihat dua insan yang sedang bercumbu di hadapannya. Yang penting, dia dan Ibunya bisa menemukan berkas serta data yang mereka cari untuk dialihkan atas nama mereka
"Kau bisa menyetir?" tanya Farraz, berjalan beriringan dengan Shanaya ke garasi mobil.Shanaya mengangguk, dia memang sering nyetir mobil sendiri. Karena tidak punya sopir di rumah. Keduanya masuk ke dalam mobil yang biasa Farraz pakai.Farraz mematung, ketika Shanaya mendekat ke arahnya sembari memakaikan seat bealt di badannya. Dia menahan napas, mencium parfume mawar Shanaya yang begitu menguar."Lagian ada apa sih, Mas? Kenapa tiba-tiba pengen ke kantor?" tanya Shanaya, memundurkan badannya ketika selesai memakaikan seat bealt di tubuh suaminya."Ada yang meretas data keuangan di perusahaanku, aku tidak tahu siapa pelakunya," balas Farraz. Jawabannya terdengar lebih santai dari biasanya. Biasanya, dia akan membalasnya dengan ketus dan dingin.Seulas senyum tipis terlukis indah di bibir ranumnya. Farraz menukik alisnya tajam, memperhatikan Shanaya dari samping. "Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Kau gila?" Shanaya mengerucutkan bibirnya sebal. "Cepat jalankan mobilnya!"Kendaraan
Farraz mencengkram kedua bahu Shanaya, lalu mendorong tubuh Shanaya hingga menabrak tembok dengan kasar. Shanaya meringis, merasa punggungnya remuk akibat dorongan yang dilakukan oleh suaminya.Farraz mengkilatkan mata merah saat keduanya saling memandang satu sama lain, Shanaya terus meringis, sakit."Arggh! Mas, sakit..." lirih Shanaya.Farraz tidak kunjung melepaskan cengkraman tangannya di bahu Shanaya yang bergetar."Jadi ini alasanmu ikut ingin ke mari? Ingin bertemu dengan mantan kekasihmu itu?" tuduh Farraz sinis.Shanaya menggigit bibirnya yang gemetar, lalu dia menggelengkan kepala. Karena memang bukan itu alasan Shanaya ingin datang ke mari."Tidak Mas, bukan itu. Aku cuma pengen tahu kantor Mas Farraz aja. Dari dulu aku pengen banget ke sini," balas Shanaya seadanya. Tanpa dilebih-lebihkan.Bayangan Shanaya saat menerobos masuk ke perusahaannya waktu itu terlintas di benak Farraz. Senyuman sumringah dan bintar mata kentaranya membuat Farraz jadi percaya. Tadi saja Shanaya
Farraz dan Shanaya berjalan beriringan memasuki rumah, setelah mampir ke sebuah caffe sejenak. Di depan rumah, Farraz melihat ada mobil putih terparkir di sana. Itu mobil Ayahnya.Gegas, keduanya menghampiri seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sofa sembari menyesap segelas kopi hitamnya.Sepasang suami-istri itu menyapa dan ikut serta untuk duduk di sofa yang kosong. Melihat kedatangan keduanya, Tuan Aryan tersenyum bahagia jika mereka sudah mulai terlihat dekat.Itu hal yang bagus, karena Tuan Aryan juga berharap keduanya dekat seperti suami-istri pada umumnya."Kalian dari mana saja?" tanya Tuan Aryan, merasa suntuk menunggu kepulangan anak dan menantunya."Dari kantor, Ayah sudah lama menunggu?" Farraz balik bertanya. Pasalnya Farraz tidak tahu jika ada Ayahnya."Baru saja datang. Memangnya ada apa di kantor? Bukannya kau cuti hari ini.""Ada masalah yang mengharuskanku ke sana." Farraz tidak tahu, akan bagaimana reaksi Tuan Aryan mengetahui berita ini. Dia saja masih gera
"Mas, kalau butuh bantuan tinggal panggil aku aja. Jangan dipaksain gini, nanti tanganmu sakit," kata Shanaya ketika baru menyelesaikan ritual mandinya dengan balutan bathrobe yang melekat di badannya.Untuk sejenak, mata Farraz tidak berkedip melihat penampilan Shanaya yang mempesona. Pikiran itu dia tepis, dia tidak boleh terpesona! Ia tidak akan pernah lupa, bahwa gadis ini telah menghancurkan hidupnya.Shanaya membantu Farraz melepas satu persatu kancing kemeja putihnya, dengan hati-hati Shanaya melepaskannya dari tubuh Shanaya.Gadis itu cekatan memang dalam mengurus urusan rumah, hanya saja Farraz tidak mau jika Shanaya yang menyiapkan keperluannya. Dia sama sekali tidak butuh tanda bakti Shanaya sebagai istri."Kenapa kau kerasa kepala sekali, Shanaya? Aku sudah berkali-kali bilang, jangan pernah mengurus keperluanku, aku bisa sendiri. Selain bodoh, kau sangat dungu jadi orang!" hardik Farraz tepat di wajah Shanaya.Gerakan tangan Shanaya tertahan. Seulas senyum tipis di bibirn
Prayoga dan Arsinta duduk di ruangan tamu, mengistirahatkan diri karena lelah dengan kegiatan yang mereka tadi.Mereka hanya diam, menetralkan deru napas yang tidak beraturan. Selang beberapa menit lamanya rehat sejenak. Arsinta menyadari jika sedari tadi dia tidak melihat suaminya, bahkan mobilnya tidak ada di garasi. Ke mana perginya suaminya itu?"Heh Minah! Mas Aryan tidak ada di rumah?" tanya Arsinta kepada pembantu yang sedang lewat."Iya Nyonya. Dari sore Pak Aryan keluar rumah, sampai sekarang belum pulang," jawab Minah.Arsinta ber-oh ria saja, dia mempersilahkan Minah untuk melanjutkan aktivitasnya.Prayoga merapatkan duduknya, mengikis jarak agar semakin dekat. Tangan kokoknya memeluk Arsinta dari samping, tangannya yang nakal meremas buah dada Arsinta. Arsinta mendesah, melotot dengan aksi anak angkatnya."Jangan macam-macam, Yoga! Nanti ada yang melihat!" tegur Arsinta, matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, takut ada orang yang memergoki kegiatan mereka.Perkataann
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t