Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna.
“Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada.
***
Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak.
Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan.
Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya.
“Tergantung apa yang harus dikerjakan," jawab Hayati.
“Kemarilah, cetak semua desain ini. Setelah itu urutkan berdasarkan nomornya,” titah Isna. Hayati mengiyakan dan mulai mengerjakan apa yang diminta oleh Isna. Sedangkan Isna langsung keluar dari ruangan, menuju ruang keluarga. Berniat menyapa ibunya, jam segini pasti sang Ibu sudah keluar dari kamarnya.
“Bunda,” sapa Isna pada seorang wanita yang terlihat pucat dan tidak sehat. “Isna sayang, kapan kamu pulang?” Isna memeluk erat wanita itu, “Semalam, Bun.”
Bunda Isna yang didampingi perawat hanya keluar dari kamar pada saat-saat tertentu. “Rangga bilang kamu bawa seseorang, siapa?”
“Owh, asisten aku Bun. Dia aku minta tinggal di sini. Boleh ya Bun?”
Malika tersenyum, “Bolehlah, biar tambah ramai di sini. Apalagi kalau orang itu bisa membantu pekerjaan kamu sehingga kamu tidak terlalu sibuk. Bunda akan sangat senang sekali. Kamu harus pikirkan untuk segera punya keturunan dengan Rama, jangan terlalu sibuk.”
“Hmm.”
“Beri Bunda cucu yang banyak. Kalau kamu banyak anak nanti akan sangat bahagia di masa tua. Tidak seperti Bunda, punya anak dua semuanya sibuk.”
“Minta Kak Rangga segera urus perceraiannya lalu menikah lagi dan punya anak yang banyak,” sahut Isna.
Malika hanya tertawa. “Perceraian apa?” tanya Rangga yang baru saja bergabung di ruangan dan duduk disofa bersebrangan dengan Malika.
“Bunda pingin banyak cucu. Kak Rangga aja cepat urus perceraiannya lalu menikah lagi dan bikin anak yang banyak.”
Rangga hanya berdecak. “Kemana asisten kamu itu?”
Isna memicingkan matanya, menatap heran pada Rangga yang menanyakan Hayati. “Ada, lagi kerjalah. Memang aku rekrut untuk bekerja,” ujar Isna dusta.
“Bunda penasaran dengan asisten kamu, karena Rangga merasa ada yang aneh dengan kalian. Dia selalu curiga kalau melihat orang yang baru dia kenal,” ujar Malika pada Isna.
Isna menoleh pada Rangga yang menatapnya, jelas mata itu sedang mencari kebenaran dari tatapan Isna. “Curiga apa sih Kak? Takut kalau Hayati ternyata pencuri, penjahat atau ....”
“Pelakor,” sela Rangga.
“Rangga,” tegur Malika. Sial, Kak Rangga tau dari mana sih? Kuat amat feelingnya, batin Isna.
“Jangan men-judge seseorang seperti itu. Kita harus mempertanggung jawabkan apa yang kita ucapkan. Apa kamu ada bukti jika wanita itu adalah pelakor.”
“Kalau nanti asisten Isna berhasil merebut Rama baru disebut bukti. Kalau sekarang ya mana ada,” ungkap Rangga tanpa beban.
Isna menatap Rangga, “Kak Rangga dari mana bisa menyimpulkan seperti itu?”
Rangga mengedikkan bahunya. Isna tiba-tiba terkejut, “Apa jangan-jangan Mas Rangga memang masuk ke dalam Ikatan Paranormal Indonesia.” Isna terbahak dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan.
Malam harinya, saat keluarga Adam sedang menikmati makan malam. Hanya ada Malika, Rangga, Isna dan Rama di sana. Harsa Adam ayah dari Rangga dan Isna tidak setiap hari pulang ke rumah. Tentu saja berada di kediaman istri mudanya.
Yang membuat Malika terpuruk hingga sakit-sakitan seperti sekarang adalah karena Harsa ketahuan memiliki simpanan. Tapi pria itu tidak ingin menceraikan Malika dan tetap teguh pada pernikahan keduanya. Inilah yang menjadi dasar, Rangga sangat benci dengan orang ketiga.
Hayati menikmati makan malam bersama para pekerja di rumah itu tentu saja di dapur. Aska berjalan diikuti baby sitternya, “Aska kita minum obat dulu ya,” ajak baby sistternya.
Aska tetap berjalan memasuki dapur. “Loh, Aska kenapa di sini?” tanya Bu Lena sambil mengarahkan pembantu rumah tangga lainnya untuk melayani majikan mereka di meja makan.
“Aku nggak mau minum obat," ucap Aska sambil menghindari baby sitternya.
“Kalau nggak minum obat, kamu nggak akan sembuh."
Hayati yang baru saja membersihkan perangkat bekas makan malamnya menghampiri Aska. “Hai tampan, boleh kenalan?” tanya Hayati sambil berjongkok di hadapan Aska yang dijawab dengan anggukan kepala.
“Aku Hayati, nama kamu siapa?”
“Aska. Aku harus panggil apa?”
“Hmm, bagaimana kalau Uni Hayati."
“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”“Sehat,” jawab Aska.“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska. “Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.“Aska,” panggil Rangga.Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.Ra
Rama menghela nafas karena geram. Hari ini sudah lumayan berantakan, karena berkas yang dibutuhkan untuk rapat malah tertinggal. Menerima panggilan telepon pada ponsel Isna yang mana ada suara laki-laki mengucapkan sayang lalu mengakhiri panggilan ketika Rama bertanya siapa. Rama belum membahas hal ini dengan istrinya, karena kejadian itu pada saat Isna berada di kamar mandi.Ditambah dengan wajah Hayati yang terlihat muram dan sembab, jelas sekali jika kesedihan menyambangi gadis itu. "Tidak akan," jawab Rama dengan tegas tanpa ragu-ragu. Hayati baru akan membuka mulutnya akan menjawab tapi kembali disela Rama. "Cukup. Pagiku sudah berantakan, jangan tambahkan lagi dengan masalahmu." Hayati meninggalkan Rama dengan kembali ke kamarnya. "Dasar egois, tidak punya perasaan, aku sumpahin kamu ... aku hanya minta kata talak dari mulut kamu, Mas," ujar Hayati seakan ada Rama di sana dan mendengar apa yang diucapkan. ***Hari sudah sore saat Rangga yang baru saja tiba di rumah, kembali m
“Rania Hayati Malik,” ucap Rangga membaca kartu identitas milik Hayati, mengabadikannya menggunakan kamera ponsel lalu menatap lekat wajah gadis dihadapannya. Hayati merebut kartu identitas dan dompet miliknya.“Kamu masih muda, tapi menggunakan cara yang salah untuk hidup enak,” ejek Rangga sambil melipat kedua tangan di dada dengan pandangan tetap fokus pada Hayati.“Pak Rangga nggak tau apa-apa tentang saya, jadi jangan membuat kesimpulan yang salah.”Rangga terbahak, “Kamu pikir saya bodoh, banyak wanita seperti kamu. Menggunakan cara cepat agar bisa hidup enak.”“Maksud Pak Rangga?”“Menjadi simpanan, istri muda, selingkuhan bahkan sugar baby. Banyak juga yang menjadi pe-la-cur,” ucap Rangga. “Kamu bertemu dengan orang yang salah, aku sangat tidak mentolerir yang namanya orang ketiga,” tambahnya lagi.Jantung Hayati berdetak lebih kencang dari biasanya, mendengar kalimat Rangga. Statusnya saat ini adalah salah satu kriteria yang tidak disukai Rangga. Entah apa yang akan pria itu
“Oke,” jawab Rama. “Aku akan penuhi permintaanmu, tapi lepaskan dulu pisau itu,” bujuk Rama pada Hayati.Hayati menurunkan pisau dari lehernya, Rama merebut dan melemparnya agar jauh dari Hayati. Pria itu kemudian mengucapkan kalimat yang menyatakan bahwa mulai saat ini Rama dan Hayati bukan lagi pasangan halal sebagai suami istri. "Lebih baik Mas Rama keluar," titah Hayati. "Hayati," ucap Rama. "Keluar!"Rama pun mengabulkan permintaan Hayati, "Jangan berbuat yang akan merugikan dirimu sendiri," nasihat Rama sebelum menutup pintu kamar Hayati. Tubuh Hayati seakan lunglai, dia jatuh duduk lalu menangis. Kedatangannya ke Jakarta membuatnya merasakan banyak kedukaan. Mulai dari kehilangan Bapak sampai dengan menjadi istri kedua lalu sekarang dia resmi menjadi janda. Entah harus senang sudah terbebas dari hubungannya yang rumit dengan Rama dan Isna atau meratapi nasibnya yang cukup menyedihkan. Rama menghampiri kedua orangtuanya lalu menyampaikan jika dia sudah menalak Hayati. Wajah
Hayati serasa frustasi membayangkan jika dia akan terus berada dalam unit apartemen itu. Rangga benar-benar tidak membiarkan Hayati keluar. Entah apa tujuannya, bahkan Hayati tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan hubungannya dengan Rama telah berakhir.Sudah lebih dari satu minggu Hayati berada di apartemen yang kemungkinan adalah milik Rangga. “Bu Ida, saya mau keluar. Boleh?” tanya Hayati pada asisten rumah tangga yang memang tinggal di unit tersebut.“Maaf Non, tidak boleh. Bapak bilang Non Hayati tidak boleh keluar,” jawab Bu Ida.“Tapi saya jenuh Bu. Apa Ibu nggak tahu ini namanya penculikan. Kalau saya laporkan Ibu juga bisa dihukum,” ujar Hayati menakuti Bu Ida tapi Bu Ida hanya tersenyum.***Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman orangtua Rama. Sejak kepergian Hayati setelah ditalak oleh Rama, kedua orangtuanya merasa lega karena Hayati bukan lagi orang ketiga di rumah tangga anaknya. Berbeda dengan orang tuanya yang senang karena Rama saat ini hanya memiliki I
Hayati berjalan mengekor langkah Rangga. Sesuai dengan ucapannya kalau mereka akan berbelanja kebutuhan persediaan makanan untuk di apartemen, saat ini mereka sudah berada di supermarket. “Pak Rangga,” panggil Hayati. Rangga pun menoleh masih dengan langkah lebarnya.“Saya nggak akan ada tenaga untuk jalan Pak, ini luas banget dan sudah pasti yang mau Bapak beli banyak.”Rangga mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud perkataan Hayati. “Saya mau sarapan dulu,” ujar Hayati malu-malu. Rangga menghela nafasnya, dia lupa tadi sudah berjanji akan memberikan Hayati sarapan sebelum mengikutinya berbelanja.Rangga akhirnya berbelok, “Makan di situ, aku harus ke toilet,” ucap Rangga. Hayati menganggukkan kepala. “Jangan berusaha kabur, ada anak buahku di sini kamu tidak akan bisa melarikan diri.”“Mau kabur kemana Pak, ponsel saya masih di Bapak. Dompet juga nggak dibawa,” jawab Hayati.***Hayati membawa beberapa kantong belanja, begitupun dengan Rangga. Lift yang mengantarkan m
“Isna, jangan mencari kambing hitam untuk masalah kita.” Isna mendengus kesal, “Kita ada masalah?” tanyanya heran pada Rama. Berjalan memutar meja dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Rama. “Sangat wajar jika dalam rumah tangga ada permasalahan,” ujar Rama. “Masalahnya ada pada kamu, kamu menyesal karena sudah menalak Hayati.” Rama menghela nafasnya, mengalihkan atensi menatap Isna. “Masalah rumah tangga kita tidak ada hubungannya dengan Hayati. Sejak aku menikahinya sampai dengan menalaknya tidak ada yang masalah yang disebabkan oleh Hayati. Aku tidak mencintainya dan tidak pernah menyentuhnya. Masalah kita adalah kamu sibuk dan aku juga sibuk,” jelas Rama tanpa mengatakan persoalan sebenarnya. “Aneh, kenapa kamu baru permasalahkan sekarang. Kamu menikahi aku karena kita sudah menjalin hubungan sebelumnya bukan karena perjodohan apalagi seperti beli kucing dalam karung yang tidak mengenalku sama sekali. Kamu tahu kesibukanku seperti apa, kenapa baru protes sekarang?” t
Rangga melangkah semakin mendekat pada Hayati yang terlihat semakin gugup. Pisau di tangannya ikut bergetar, "Pak, jangan salahkan saya kalau Pak Rangga terluka." "Kamu pikir saya tertarik dengan tubuh kamu? Ck, menggoda juga nggak," tutur Rangga. Membuat otak Hayati nge-blank seketika. Tangannya mulai menurunkan pisau yang digenggam. Rangga menyentil kening Hayati, "Kalau saya penjahat sesungguhnya, kamu pasti sudah celaka. Pisau yang kamu pegang itu untuk cake. Nggak ada tajem-tajemnya, bahannya aja plastik." "Hahh." Hayati mengangkat pisau yang dipegangnya dan menoleh ke arah Rangga yang sudah kembali melangkah meninggalkan dapur. "Kenapa bisa salah ambil, ini sih mirip pisau mainan." Hayati membersihkan meja makan dan dapur sesuai perintah Rangga. Bergegas melangkah saat melewati kamar Rangga menuju kamarnya. Tidak lupa dia mengunci pintu kamar, “Untuk jaga diri, di mobil aja Pak Rangga berani mencium aku. Apalagi disini, nggak ada orang lain,” ujar Hayati. Tubuhnya bergidik me
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,