Rama menghela nafas karena geram. Hari ini sudah lumayan berantakan, karena berkas yang dibutuhkan untuk rapat malah tertinggal. Menerima panggilan telepon pada ponsel Isna yang mana ada suara laki-laki mengucapkan sayang lalu mengakhiri panggilan ketika Rama bertanya siapa. Rama belum membahas hal ini dengan istrinya, karena kejadian itu pada saat Isna berada di kamar mandi.
Ditambah dengan wajah Hayati yang terlihat muram dan sembab, jelas sekali jika kesedihan menyambangi gadis itu. "Tidak akan," jawab Rama dengan tegas tanpa ragu-ragu.
Hayati baru akan membuka mulutnya akan menjawab tapi kembali disela Rama. "Cukup. Pagiku sudah berantakan, jangan tambahkan lagi dengan masalahmu."
Hayati meninggalkan Rama dengan kembali ke kamarnya. "Dasar egois, tidak punya perasaan, aku sumpahin kamu ... aku hanya minta kata talak dari mulut kamu, Mas," ujar Hayati seakan ada Rama di sana dan mendengar apa yang diucapkan.
***
Hari sudah sore saat Rangga yang baru saja tiba di rumah, kembali menyaksikan kedekatan putranya dengan Hayati. "Uni, ayo nyanyi lagi," ujar Aska sambil melompat kegirangan. "Hmm, kapan-kapan lagi ya. Sekarang sudah sore, sudah waktunya kamu mandi." Hayati menuntun Aska dan mengantarkan pada baby sitternya.
Berpapasan dengan Rangga saat menuju kamarnya, Hayati hanya mengangguk sopan ketika melewati Rangga. Tanpa diduga, Rangga menarik lengan Hayati membuat mereka berhadapan. "Sebenarnya, apa hubungan kamu, Rama dan Isna?" tanya Rangga dengan tatapan yang membuat Hayati tidak bisa berkutik.
"Aku asisten Nona Isna. Tentu saja hubungan kami atasan dan bawahan," jawab Hayati yang Rangga dengar sangat tidak meyakinkan.
Rangga mendengus, "Aku tidak percaya. Aku yakin ada rahasia yang kalian sembunyikan," sahut Rangga.
"Pak Rangga salah," ujar Hayati lalu mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Rangga. "Kamu akan terima akibatnya jika aku berhasil membuktikan segalanya." Rangga melepaskan tangan Hayati dan berjalan meninggalkannya.
Hayati mengelus dadanya, "Huft. Ya ampun, gimana ini? Pak Rangga feelingnya kuat banget ya."
Rangga membuka kasar ikatan dasi pada kerah kemejanya. Melepaskan jas yang dia kenakan dan melemparnya pada sofa lalu duduk di pinggir ranjang. Mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang. “Ada tugas baru untuk kalian. Cari tau selengkapnya identitas seorang wanita juga hubungannya dengan Isna,” titah Rangga melalui sambungan telepon entah kepada siapa.
“Saat ini dia bekerja sebagai asisten Isna. Aku ingin identitas selengkapnya,” ujar Rangga lagi dilanjutkan dengan menyebutkan ciri-ciri Hayati sebelum dia mengakhiri panggilan telepon.
Hayati berada di beranda kediaman keluarga Adam. Terkadang berjalan bolak-balik lalu kembali duduk dan berjalan lagi. Dia menunggu kedatang Rama atau Isna, dengan tujuan menyampaikan ucapan Rangga yang mencurigai mengenai keberadaannya.
Ternyata yang lebih dulu datang adalah Rama. Hayati menghela nafasnya sebelum menghentikan Rama yang akan masuk ke rumah dan berusaha mengatakan apa yang membuatnya risau sejak tadi sore.
“Mas Rama,” panggil Hayati.
Rama yang selama menikah dengan Isna tidak pernah disambut oleh sang istri pun mengernyitkan dahinya melihat Hayati yang berada di beranda menyambutnya. Meskipun tidak menyambut dengan tatapan suka cita tetapi wajah Hayati sukses meringankan rasa lelah setelah seharian bergelut dengan urusan pekerjaan. Rama bahkan membayangkan jika Hayati setelah ini melayani di meja makan, kebutuhannya untuk mandi dan di ranjang.
Tunggu, aku pasti sudah gila membayangkan sampai sejauh itu, batin Rama.
“Ada apa?” tanya Rama sambil mengernyitkan dahinya, seraya mengusir bayangan yang baru saja melintas dibenaknya.
“Mas, gawat. Pak Rangga mencurigai aku. Bagaimana jika dia mengetahui keadaan yang sebenarnya?” tanya Hayati dengan raut wajah panik.
“Bisa kamu cerita lebih jelas, aku tidak mengerti apa maksud perkataanmu Hayati.”
Hayati menarik nafas sebelum bicara, membuat Rama mengulum senyum karena gemas dengan tingkah Hayati. “Tadi sore Pak Rangga menanyakan ada hubungan apa aku dengan Mas Rama dan Nona Isna. Sepertinya beliau curiga, aku takut Mas. Bagaimana kalau Pak Rangga tau kalau kita ....”
“Cukup. Biar aku dan Isna yang akan pikirkan. Jangan sampai kalimat itu kamu ucapkan,” ungkap Rama sambil menyela ucapan Hayati.
Rangga yang menyaksikan interaksi Rama dan Hayati dari ruang tamu, tersenyum sinis. Walaupun tidak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. “Sangat menarik, kita akan lihat siapa kamu sebenarnya Hayati.”
***
Keesokan paginya. Rama menyampaikan apa yang dikhawatirkan oleh Hayati. “Kebetulan sekali, lusa aku ada pemotretan di Bali mungkin beberapa hari. Hayati kamu minta tinggal di rumah Ayah dan Ibu saja. Aku tidak mungkin membawa Hayati,” ujar Isna.
Rama hanya mendesah pelan ketika mendengar Isna yang harus ke luar kota, bagi Rama hal ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan kecurigaan Rangga. “Loh, aku pakai setelan seperti ini lagi, padahal gaya setelan kemarin-kemarin aku suka,” ujar Rama.
“Jadi, Mas Rama suka dengan pakaian yang disiapkan Hayati tapi tidak dengan yang aku siapkan?” tanya Isna dengan melipat kedua tangan di dada menatap pada Rama yang mulai mengenakan setelan yang sudah disiapkan.
“Bukan aku tidak suka, aku bertanya. Mana aku tahu kalau yang sebelumnya aku pakai itu disiapkan oleh Hayati,” ucap Rama. Isna hanya berdecak lalu menuju kamar mandi.
“Tapi selera Hayati boleh juga," ujar Rama yang sudah pasti tidak didengar oleh Isna.
Isna memanggil Hayati dan menyampaikan terkait dia harus tinggal di rumah mertuanya ketika Isna ke luar kota. Hayati hanya bisa menurut pasrah tanpa menolak.
Siang hari, tepatnya setelah Hayati baru saja menikmati makan siangnya. Isna menghubungi Hayati, memintanya mengantarkan buku kumpulan desain milik Isna yang tertinggal di kamarnya.
Hayati mengganti pakaiannya, lalu bergegas memenuhi perintah Isna. Menggunakan taksi, dia pun tiba di Adam corporation. Menuju lantai dimana rumah mode milik Isna berada. Saat di lobi, Rangga yang baru saja tiba setelah makan siang dengan rekan bisnisnya melihat kehadiran Hayati.
“Kebetulan sekali,” ucap Rangga.
Hayati yang mengenakan celana panjang putih model pensil dengan atasan model wrap top biru langit. Dipadukan dengan flat shoes dan sling bag, menjadi pusat perhatian ketika Isna mengajaknya ke ruangan. “Ingat apa yang aku sampaikan tadi pagi, besok kamu harus tinggal dengan orangtua Mas Rama, berkesan seolah-olah kita memang pergi bersama.”
Setelah memberikan arahan dan perintah yang menurut Hayati terlalu semena-mena, Hayati pun pamit pulang. Tanpa diduga, Rangga sudah menunggu di lobi tepatnya di depan lift.
Hayati yang melangkah keluar dari lift terkejut saat seseorang menarik tangannya dan membawa ke sebuah ruangan. “Pak Rangga,” ucap Hayati. Rangga merangsek maju membuat Hayati semakin menempelkan tubuhnya pada dinding. Melihat sekeliling ruangan yang terdapat banyak layar, menampilkan suasana di berbagai titik area gedung itu.
Rangga sengaja membawa Hayati ke ruangan operator CCTV yang sudah lebih dulu dikosongkan olehnya. Membuka tas yang dikenakan Hayati yang mengambil dompet yang ada. Hayati berusaha merebut kembali dompetnya tapi tatapan tajam Rangga membuat Hayati menghentikan usahanya.
“Rania Hayati Malik,” ucap Rangga membaca kartu identitas milik Hayati.
“Rania Hayati Malik,” ucap Rangga membaca kartu identitas milik Hayati, mengabadikannya menggunakan kamera ponsel lalu menatap lekat wajah gadis dihadapannya. Hayati merebut kartu identitas dan dompet miliknya.“Kamu masih muda, tapi menggunakan cara yang salah untuk hidup enak,” ejek Rangga sambil melipat kedua tangan di dada dengan pandangan tetap fokus pada Hayati.“Pak Rangga nggak tau apa-apa tentang saya, jadi jangan membuat kesimpulan yang salah.”Rangga terbahak, “Kamu pikir saya bodoh, banyak wanita seperti kamu. Menggunakan cara cepat agar bisa hidup enak.”“Maksud Pak Rangga?”“Menjadi simpanan, istri muda, selingkuhan bahkan sugar baby. Banyak juga yang menjadi pe-la-cur,” ucap Rangga. “Kamu bertemu dengan orang yang salah, aku sangat tidak mentolerir yang namanya orang ketiga,” tambahnya lagi.Jantung Hayati berdetak lebih kencang dari biasanya, mendengar kalimat Rangga. Statusnya saat ini adalah salah satu kriteria yang tidak disukai Rangga. Entah apa yang akan pria itu
“Oke,” jawab Rama. “Aku akan penuhi permintaanmu, tapi lepaskan dulu pisau itu,” bujuk Rama pada Hayati.Hayati menurunkan pisau dari lehernya, Rama merebut dan melemparnya agar jauh dari Hayati. Pria itu kemudian mengucapkan kalimat yang menyatakan bahwa mulai saat ini Rama dan Hayati bukan lagi pasangan halal sebagai suami istri. "Lebih baik Mas Rama keluar," titah Hayati. "Hayati," ucap Rama. "Keluar!"Rama pun mengabulkan permintaan Hayati, "Jangan berbuat yang akan merugikan dirimu sendiri," nasihat Rama sebelum menutup pintu kamar Hayati. Tubuh Hayati seakan lunglai, dia jatuh duduk lalu menangis. Kedatangannya ke Jakarta membuatnya merasakan banyak kedukaan. Mulai dari kehilangan Bapak sampai dengan menjadi istri kedua lalu sekarang dia resmi menjadi janda. Entah harus senang sudah terbebas dari hubungannya yang rumit dengan Rama dan Isna atau meratapi nasibnya yang cukup menyedihkan. Rama menghampiri kedua orangtuanya lalu menyampaikan jika dia sudah menalak Hayati. Wajah
Hayati serasa frustasi membayangkan jika dia akan terus berada dalam unit apartemen itu. Rangga benar-benar tidak membiarkan Hayati keluar. Entah apa tujuannya, bahkan Hayati tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan hubungannya dengan Rama telah berakhir.Sudah lebih dari satu minggu Hayati berada di apartemen yang kemungkinan adalah milik Rangga. “Bu Ida, saya mau keluar. Boleh?” tanya Hayati pada asisten rumah tangga yang memang tinggal di unit tersebut.“Maaf Non, tidak boleh. Bapak bilang Non Hayati tidak boleh keluar,” jawab Bu Ida.“Tapi saya jenuh Bu. Apa Ibu nggak tahu ini namanya penculikan. Kalau saya laporkan Ibu juga bisa dihukum,” ujar Hayati menakuti Bu Ida tapi Bu Ida hanya tersenyum.***Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman orangtua Rama. Sejak kepergian Hayati setelah ditalak oleh Rama, kedua orangtuanya merasa lega karena Hayati bukan lagi orang ketiga di rumah tangga anaknya. Berbeda dengan orang tuanya yang senang karena Rama saat ini hanya memiliki I
Hayati berjalan mengekor langkah Rangga. Sesuai dengan ucapannya kalau mereka akan berbelanja kebutuhan persediaan makanan untuk di apartemen, saat ini mereka sudah berada di supermarket. “Pak Rangga,” panggil Hayati. Rangga pun menoleh masih dengan langkah lebarnya.“Saya nggak akan ada tenaga untuk jalan Pak, ini luas banget dan sudah pasti yang mau Bapak beli banyak.”Rangga mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud perkataan Hayati. “Saya mau sarapan dulu,” ujar Hayati malu-malu. Rangga menghela nafasnya, dia lupa tadi sudah berjanji akan memberikan Hayati sarapan sebelum mengikutinya berbelanja.Rangga akhirnya berbelok, “Makan di situ, aku harus ke toilet,” ucap Rangga. Hayati menganggukkan kepala. “Jangan berusaha kabur, ada anak buahku di sini kamu tidak akan bisa melarikan diri.”“Mau kabur kemana Pak, ponsel saya masih di Bapak. Dompet juga nggak dibawa,” jawab Hayati.***Hayati membawa beberapa kantong belanja, begitupun dengan Rangga. Lift yang mengantarkan m
“Isna, jangan mencari kambing hitam untuk masalah kita.” Isna mendengus kesal, “Kita ada masalah?” tanyanya heran pada Rama. Berjalan memutar meja dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Rama. “Sangat wajar jika dalam rumah tangga ada permasalahan,” ujar Rama. “Masalahnya ada pada kamu, kamu menyesal karena sudah menalak Hayati.” Rama menghela nafasnya, mengalihkan atensi menatap Isna. “Masalah rumah tangga kita tidak ada hubungannya dengan Hayati. Sejak aku menikahinya sampai dengan menalaknya tidak ada yang masalah yang disebabkan oleh Hayati. Aku tidak mencintainya dan tidak pernah menyentuhnya. Masalah kita adalah kamu sibuk dan aku juga sibuk,” jelas Rama tanpa mengatakan persoalan sebenarnya. “Aneh, kenapa kamu baru permasalahkan sekarang. Kamu menikahi aku karena kita sudah menjalin hubungan sebelumnya bukan karena perjodohan apalagi seperti beli kucing dalam karung yang tidak mengenalku sama sekali. Kamu tahu kesibukanku seperti apa, kenapa baru protes sekarang?” t
Rangga melangkah semakin mendekat pada Hayati yang terlihat semakin gugup. Pisau di tangannya ikut bergetar, "Pak, jangan salahkan saya kalau Pak Rangga terluka." "Kamu pikir saya tertarik dengan tubuh kamu? Ck, menggoda juga nggak," tutur Rangga. Membuat otak Hayati nge-blank seketika. Tangannya mulai menurunkan pisau yang digenggam. Rangga menyentil kening Hayati, "Kalau saya penjahat sesungguhnya, kamu pasti sudah celaka. Pisau yang kamu pegang itu untuk cake. Nggak ada tajem-tajemnya, bahannya aja plastik." "Hahh." Hayati mengangkat pisau yang dipegangnya dan menoleh ke arah Rangga yang sudah kembali melangkah meninggalkan dapur. "Kenapa bisa salah ambil, ini sih mirip pisau mainan." Hayati membersihkan meja makan dan dapur sesuai perintah Rangga. Bergegas melangkah saat melewati kamar Rangga menuju kamarnya. Tidak lupa dia mengunci pintu kamar, “Untuk jaga diri, di mobil aja Pak Rangga berani mencium aku. Apalagi disini, nggak ada orang lain,” ujar Hayati. Tubuhnya bergidik me
Rangga sudah berada di ruang kerjanya. Duduk bersandar pada kursi kebesarannya, dengan jari tangan di ketukkan pada meja. Rama sudah mengucap talak, artinya Hayati sudah bukan istrinya lagi. Apa karena hal ini dia melarikan diri, batin Rangga. Kepala Rangga berdenyut memikirkan masalah Hayati dan Isna. Jika Hayati dan Rama bukan lagi suami istri lalu apa alasan Rangga menahan Hayati. Kalau sebelumnya jelas dia menahan Hayati agar tidak mengganggu hubungan Rama dan Isna. Rangga pun kembali pusing memikirkan sebab pertengkaran Rama dan Isna. "Hahhh," hela nafas Rangga sambil menyugar rambutnya. "Kenapa Hayati tidak mengatakan kalau statusnya sudah ... Lalu apa alasanku masih menahannya." Tapi jauh dilubuk hati Rangga tidak ingin melepaskan Hayati. Meskipun Hayati mengatakan dia ingin pulang ke kampungnya. Rangga tidak bisa membayangkan ada pria dengan niat buruk memanfaatkan Hayati yang terlihat lugu dan polos. Bisa jadi salah satu pria itu adalah dirinya sendiri. "Shittt," ujar Ran
“Kamu ... kalau bicara suka asal.” “Loh, bener dong. Saya ‘kan janda. Hati-hati Pak Rangga nanti tergoda dan lama-lama suka. Saya nggak mau loh jadi orang ketiga lagi,” tutur Hayati. Rangga menghela nafasnya lalu menyerahkan kembali gelas berisi teh hangat yang tinggal setengah. “Kalau ada yang suka sama kamu, tapi duda. Gimana?” “Hm, tergantung Pak.” Rangga menunggu kelanjutan penjelasan dari Hayati, tapi malah menyodorkan mangkuk berisi bubur. “Makan terus minum obat biar cepat sehat.” Rangga menerima mangkuk sarapannya dengan malas, mulutnya terasa sangat pahit membuatnya tidak nafsu makan. “Dipaksakan Pak, memang mau baring di kasur terus,” ucap Hayati menasehati Rangga yang terlihat enggan menikmati sarapannya. Rangga hanya sanggup menghabiskan sebagian dari isi mangkuk kemudian mengembalikannya pada Hayati. “Setelah aku lebih baik, kita harus bicara,” ujar Rangga. Rangga perlu dengar langsung pengakuan dari Hayati jika dia sudah tidak ada hubungan dengan Rama dan rencana hid
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,