Sebagai seorang gadis yang bahkan seolah tak bisa jauh dari Tian, akhir akhir ini justru malah terasa jarang bisa ketemu dengan dia. Ya, rasanya nyesek. Ingin menemui, tapi takut jika dia masih sibuk. Ingin menghampiri, takut jika justru kehadirannya malah membuat dia merasa terganggu dalam pekerjaan. Kadang mau menelepon saja ia merasa ragu, karena takut menganggu dia dengan panggilannya.“Akhir-akhir ini Mama lihat Tian kok jarang ke sini, ya,” ujar Risa buka suara saat sedang duduk di ruang keluarga bersama suami dan putrinya.Mata Rhea yang tadinya fokus dengan film di layar televisi, kini mengarah pada mamanya.“Perasaan Mama aja kali,” responnya sambil tersenyum berat.“Dan kamu juga jarang jalan sama dia, kan, akhir-akhr ini?”Sandy menghembuskan napas beratnya saat mendengar perkataan istrinya.“Tian akhir akhir ini benar benar sibuk. Papa dengar Justin sedikit mengurangi jadwalnya di perusahaan, jadinya Tian yang kemungkinan menggantikan dia. Otomatis waktunya terkuras habis
“Rhea!”“Rhea bangun!”“Rhea!”Si pemilik kamar langsung melek saat panggilan heboh itu terus saja menghantui pendengarannya, laksana sedang terjadi perang dunia. Bukan hanya itu saja, pintu kamarnya seolah jadi sasaran empuk gedoran menghebohkan.“Astaga! Ada kejadian apa, sih, di luar? Kenapa kalian semua pada heboh,” umpatnyabangun.Beranjak dari tempat tidur dan berjalan gontai menuju pintu. Pintu terbuka, ia langsung diberondongi omelan yang seperti sebuah petasan di pagi hari.“Mama kenapa, sih?”Bukan hanya mamanya, tapi ada dua orang tantenya dan yang bikin heran ... kenapa mereka berdua ada di sini? Ini masih pagi buta loh, ya. Matahari saja belum sepenuhnya memancarkan sinarnya, lah mereka semua sudah heboh. Kedua wanita paruh baya yang biasanya sibuk dengan karier, tiba-tiba sudah berada di sini di pagi buta. Oke, ini sedikit membuat bingung.“Kita udah heboh dari tadi dan kamu masih bertanya dengan santai.”“Trus?” Sambil mengangkat kedua tangannya pertanda tak tahu dan ta
Sementara itu Tian yang sudah siap, duduk diam di sofa di ruang ganti sebuah kamar hotel. Tiba-tiba Justin dan Hana datang menghampirinya yang terlihat bengong.“Om Tian kenapa?” tanya Hana penasaran.Pandangannya yang tadinya jauh memandang keluar jendela kamar, kini beralih pada sepasang suami istri itu.“Nggak kenapa-kenapa,” jawabnya.“Om tenang aja, semua persiapan sudah 100% selesai, kok.”Ponsel milik Justin tiba-tiba berdering.“Aku angkat telepon dulu,” ujarnya pada Hana, yang diangguki oleh istrinya itu.“Aku nggak permasalahin masalah pernikahan ini ... malah mau bilang makasih banyak sama kamu dan Justin yang mengurus segalanya.”“Padahal bukan aku, tapi justru Justin yang mengurus semuanya,” respon Hana dengan tawa recehnya. Malah aku nggak tahu apa apa, kan ... tiba-tiba mengatakan kalau dia sedang mengurus pernikahan Om sama Rhea.”Tian menganggku. “Aku berhutang budi sama Justin, tapi yang sedang ku pikirkan bukan itu.”“Trus, Om Tian mikirin apa?”Tian menatap lekat H
Hari yang melelahkan. Bahkan saat ia harus belajar seharian suntuk, rasanya tak semelelahkan hari ini. Sungguh, rasanya benar-benar menyiksa lahir dan bathinnya secara bersamaan. Ingin rasanya merebahkan badan, memeluk guling dan tidur dengan nyenyak.Tepat saat jam menunjukkan pukul 9 malam. Ayolah ... ini bertepatan dengan jam tidur normalnya. Tapi sekarang apa? Ia masih berada dalam situasi di mana dirinya masih jadi fokus utama. Sepertinya semua orang sedang menyiksanya dengan pesta ini.Ini pernikahan dadakan, kalau dirinya tahu dengan rencana Tian, mungkin ia akan memilih untuk mengadakan acara sederhana saja.“Aku capek,” keluhnya pada Tian yang seolah tak terlihat wajah lelahnya. Iyalah, toh dia sudah biasa dengan sebuah tekanan dalam pekerjaan hingga membuatnya begadang. Beda dengan dirinya yang bahkan untuk fokus pada tugas tugas kuliah saja dirinya malah sedikit mejaga jarak dari Tian agat tak emmecah fokusnya.“Sabar, ya,” balas Tian dengan senyumannya.Senyuman yang mampu
Kaget dan ... sulit diungkapkan dengan kata-kata tentang bagaimana perasaannya kini. Padahal sebelumnya Tian juga pernah memeluknya, bahkan menciumnya, tapi kenapa sekarang saat dia melakukan hal seperti ini saja sudah membuatnya seakan mati rasa. Ya ampun ... badannya terasa kesemutan. Apa ini yang dinamakan sindrome malam pertama. Yakali ada gitu.Kedua lengan kekar itu memeluk tubuhnya penuh. Perlahan bisa ia rasakan hembusan napas hangat yang menyeruak di lekukan lehernya. Astaga! Rasanya benar-benar menggelikan. Bukan itu saja ... bulu kuduknya seakan meremang.Tian merasa benar-benar godaan terbesar ada di genggamannya saat ini. Bukan hanya penampakan saja, tapi aroma wangi dan menyegarkan dari tubuh Rhea seakan membuatnya menggila. Rasa capek yang tadinya mendera, seakan lenyap begitu saja.“Berani, ya, menggodaku dengan cara seperti ini,” bisik Tian sambil mencium lekukan leher Rhea dengan lembut.Rhea sedikit bergidik saat Tian berbisik di telinganya.“Memintaku keluar untuk
Awalnya sudah tidur, tapi tiba tiba saja ia terbangun karen merasakan sesuatu. Bukan rasa sakit, tapi justru ke rasa di mana perutnya menginginkan sesuatu.Bangun dari posisi tidurnya, kemudian melirik jam yang ada di nakas. Terlihat, jarum pendek masih berada di angka 1 dan jarum panjang berada di angka 6. Kemudian mengarahkan pandangan pada sosok yang tampak tertidur dengan nyenyak di sampingnya.Mendekati dia, sambil menyentuh wajah itu dengan telunjuknya. Membuat si pemilik wajah merasa terganggu karena sentuhannya.“Sayang, ini sudah larut malam. Ayo tidur lagi,” komentarnya menyambar tangan yang sedang bermain di wajahnya ... kemudian merengkuh tubuh itu ke dekapannya.“Je, buka matamu,” pinta Hana.“Aku ngantuk,” respon Justin dengan suara seraknya.“Justin,” rengeknya berharap suaminya itu segera membuka mata dan merespon keinginannya.Yap, sepertinya dia tak tahan dengan rengekan demi rengekan yang menerpa pendengarannya. Hingga akhirnya membuka mata dan menatap tajam ke arah
Cahaya matahari menyeruak masuk menerangi kamar dari sela-sela gorden. Seolah dengan sengaja membangunkan si penghuni ruangan yang tampaknya masih enggan untuk membuka mata.Dekapan hangat yang membalut tubuhnya terasa begitu nyaman ... hingga tak ada niatan untuk bangun dan beranjak.Tian melakukan pergerakan saat sebuah deringan ponsel tiba-tiba menyerang pendengarannya. Benar-benar mengganggu saja. Ia membuka mata, mendapati Rhea dalam dekapannya, masih tidur nyenyak. Ya ... hembusan napas teratur dan kedua mata itu masih tertutup rapat. Seakan akan dia tak terganggu sama sekali dengan reaksinya dan suara ponsel.Perlahan satu tangannya menyambar benda pipih yang ada di nakas samping tempat tidur. Ya, jangan sampai pergerakannya membangunkan dia. Melihat siapa yang menghubunginya di pagi buta begini. Bukan, lebih tepatnya ini sudah menjelang siang, tapi tak bisakah memberikannya waktu untuk istirahat.“Ck, Willy,” umpatnya saat melihat nama sobatnya itulah yang tertera.“Apaan?” t
Selesai menikmati makan siang, keduanya kini beranjak dari hotel. Bukan kemana-mana, hanya ingin kembali ke rumah. Tadinya Rhea ingin setuju atas usulan liburan yang diberikan Justin, tapi setelah ia pikir-pikir lagi ... justru nggak jadi nggak berminat. Bukan apa apa, hanya ingin beristirahat sejenak dari semua rutinitas di luar sana. Setidaknya ia bisa menahan hasrat jalan jalan karena memikirkan Tian yang pasti bakalan kecapean.Rhea hendak menggunakan sneakers, tapi Tian malah melarang karena kakinya yang masih sakit. Jadilah, ia hanya mengenakan sendal.“Serius, nih, nggak jadi liburan?” tanya Tian memastikan keputusan yang diambil Rhea.“Nggak usah ... aku mau di rumah aja sama kamu.”Jadilah, keduanya kembali ke rumah. Yap, lebih tepatnya menuju ke kediaman Tian. Bukan tempat asing lagi bagi Rhea, karena ia sudah beberapa kali berurusan dengan rumah itu. Seakan akan kini dirinya di sana hanya bertambah status sebagai nyonya dari si pemilik rumah.Sampai di mobil, Rhea menanggal