'Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit dari saat Daniel pergi meninggalkanku. Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit dari saat aku tahu Alvaro telah mempunyai calon istri. Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit dari saat ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Rasanya sangat sakit hingga membuatku ingin sekali mati.
Aku telah mengecewakan Ayah. Mengecewakan lelaki yang rela melakukan apa pun demi kebahagiaanku.
Hidup Adisty hancur karena lelaki berengsek bernama Jafier, Ayah. Apa yang harus Adisty lalukan?'
~Adisty~
*
**Jafier mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah tirai di dalam kamarnya jatuh mengenai wajah tampannya. Dia mengerang tertahan karena kepalanya seperti dipukul palu godam yang sangat besar saat pertama kali membuka mata. Jafier pun memutuskan untuk bangun lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur.
Kedua matanya sontak membulat saat menyadari dirinya sedang ber
Alvaro keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut hitamnya yang basah. Dada bidang dan perutnya yang kotak-kotak terlihat jelas karena dia hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.Alvaro terlihat err ... sangat seksi.Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika melihat Cara yang masih asyik bergelung di balik selimut padahal sekarang sudah hampir jam tujuh pagi.Alvaro pun mendekat lantas mendaratkan sebuah kecupan manis di bibir Cara. Tubuh Alvaro sontak menegang karena suhu tubuh Cara sedikit panas. Wajah gadis itu pun terlihat sedikit pucat."Kamu sakit, Sayang?" pekiknya terdengar panik."Erngh ...." Cara menenggelamkan wajahnya di balik selimut karena kepalanya terasa sangat berat."Aku panggilin dokter, ya?"Cara menggeleng pelan. Sepertinya dia hanya butuh istirahat karena lelah setelah bercinta dengan Alv
"Bisa lebih cepat sedikit, Pak?" pinta Cara pada sopir taksi yang mengantarnya menuju apartemen Daniel. Raut cemas tergambar jelas di wajah cantiknya karena beberapa menit yang lalu Daniel meneleponnya dan meminta tolong."Saya sudah mencapai batas kecepatan maksimum. Maaf, Nona."Cara menghela napas panjang lalu kembali menelepon Daniel. Tanpa sadar dia menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat karena Daniel tidak kunjung menjawab teleponnya."Ayolah, Daniel. Angkat teleponku," desah Cara terdengar khawatir. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya itu, harapnya.Entah kenapa taksi yang dia tumpangi seolah-olah berjalan sangat lambat, padahal sang sopir sudah melajukan taksinya hingga mencapai batas kecepatan maksimal.Tiga puluh menit kemudian, taksi yang dia tumpangi berhenti tepat di depan apartemen Daniel. Tanpa menunggu
Daniel pun menarik tubuh Cara yang gemetar hebat kembali dalam dekapan. Tangis gadis itu terdengar begitu memilukan dan menyayat hatinya. Mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh lagi di depan Cara. Dia harus bisa menguatkan gadis itu."Aku punya banyak kenalan dokter hebat, Caramell. Mereka pasti bisa menyelamatkanmu dan calon buah hatimu. Kamu pasti sembuh," ucapnya berusaha menenangkan.Namun, tangis Cara malah semakin pecah karena memikirkan peyakitnya, Alvaro, dan Mello. Dia tidak ingin menyusahkan Alvaro karena penyakitnya. Selain itu dia takut tidak bisa memberikan kasih sayangnya pada Mello karena dia bisa mati kapan saja.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia membatalkan pernikahannya dan Alvaro?"Caramell Sayang!"
Persiapan pernikahan Alvaro dan Cara sudah selesai hampir seratus persen. Alvaro menyerahkan sisanya untuk diurus wedding organizer yang disewanya. Sementara dia bekerja gila-gilaan dari pagi hingga larut malam agar bisa mengambil cuti untuk berbulan madu dengan Cara.Cara akhir-akhir ini sering menghabiskan waktu bersama Mello. Setiap hari dia selalu mengantar dan menjemput buah hatinya itu ke sekolah. Setelah itu membantu Mello mengerjakan tugas sekolahnya di rumah dan bermain bersama. Dia bahkan selalu menuruti apa pun yang Mello minta tanpa banyak protes.Alvaro sempat heran melihat Cara yang begitu memanjakan Mello. Padahal Cara pernah menyuruhnya agar tidak terlalu memanjakan putri mereka. Benar-benar aneh."Bunda, ceritakan dongeng yang bagus untuk Mello."Cara sontak menunduk agar bisa menatap Mello yang
"Makaroni sudah, telur sudah, keju juga sudah, kurang apa lagi, ya?" Adisty sedang berbelanja di mini market yang berada di dekat rumahnya. Dia ingin membuat macaroni schotel untuk sang ayah."Oh, iya. Susu ...."Gadis cantik berambut hitam sebahu itu pun segera mengambil susu untuk bahan pelengkap macaroni schotel-nya. Namun, susu tersebut ternyata terletak di rak paling atas. Adisty tidak bisa mengambilnya meskipun sudah berjinjit dan mengangkat tangan tinggi-tinggi.Tiba-tiba ada seseorang yang mengambil susu kotak itu untuknya. Adisty bergeming selama beberapa detik. Gadis itu merasa dejavu karena Alvaro pernah melakukan hal yang sama."Terima ka—" Kedua bola mata Adisty sontak membulat melihat lelaki berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. "A-Anda ...?!""Kamu butuh apa lagi, Adisty? Biar aku yang mengambilkannya untukmu."
"Kamu sudah sadar, Sayang?"Cara mengerjapkan kedua mata perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk ke indera penglihatannya. Dia melihat wajah khawatir Alvaro saat pertama kali membuka mata."Aku kenapa?" tanya Cara dengan suara yang terdengar serak."Kamu pingsan."Kening Cara berkerut dalam. "Pingsan?"Alvaro mengangguk. Semalam dia benar-benar panik karena Cara tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri setelah bertengkar hebat dengan dirinya.Helaan napas panjang sontak lolos dari bibir mungil Cara. Setiap hari tubuhnya terasa semakin lemah. Dia harus bisa menjaga kondisi badannya dengan baik agar calon buah hatinya yang masih berada di dalam kandungan baik-baik saja."Kamu makan dulu, ya. Mama tadi bilang kalau dari kemarin siang kamu belum makan."Cara menggeleng karena ada hal lebih penting yang harus
"Pergi dari sini, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!""Ca-Caramell ...." Alvaro ingin mendekat, tapi Cara malah beringsut menghindarinya."Pergi!" Cara menjerit sekeras-kerasnya. Dia merasa sangat terpukul karena kehilangan calon buah hatinya. Kehilangan calon buah hati yang belum sempat dia lihat dan beri pelukan hangat. Separuh jiwanya telah pergi, menyisakan luka yang tidak mungkin bisa diobati lagi."Caramell, tenanglah." Alvaro memberanikan diri menarik tubuh Cara dalam dekapan. Dia terus membisikkan kalimat agar Cara ikhlas menerima kepergian calon buah hati mereka. Namun, Cara malah memberontak dan menyuruhnya untuk pergi."Jangan sentuh aku! Aku bilang pergi!" Cara menjerit sekeras-kerasnya. Air mata turun deras membasahi pipinya. Dia belum bisa menerima kenyataan kalau calon buah hatinya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya."Caramell, tenanglah ...." Alvaro terus berusaha menenangkan Cara. Hatinya tidak kalah hancur melihat Cara
Daniel membaca berkas yang ada di tangannya dengan teliti sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelah selesai dia menyerahkan berkas tersebut ke sekertarisnya yang sudah menunggu."Apa ada berkas yang harus aku tanda tangani lagi?""Tidak ada, Mister.""Baiklah kalau begitu, lanjutkan kembali pekerjaanmu."Wanita yang memakai blous putih yang dipadu dengan pencil skrit berwarna maroon itu membungkukkan badan sekilas sebelum pergi meninggalkan ruangan Daniel untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.Daniel menghela napas panjang melihat tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Padahal dia sudah memeriksa berkas tersebut hampir sebagian, tapi tumpukan tersebut seolah-olah tidak berkurang.Daniel memang tidak suka bekerja di kantor. Dia lebih senang berkutat dengan alat-alat medis di rumah sakit dan bertemu dengan pasien setiap hari.Namun, dia ha
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di