Alvaro dan Felix tiba di Kuala Lumpur Internasional Airport tepat jam dua siang. Alvaro langsung mengirim pesan pada Cara untuk memberi tahu kalau dia sudah sampai Malaysia sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Penang.
Felix melirik ponsel Alvaro karena ingin tahu apa yang menyebabkan sahabatnya itu senyum-senyum tidak jelas begitu turun dari pesawat.
Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya karena Alvaro ternyata sedang asyik berbalas pesan dengan Cara sementara ponselnya sejak tadi tidak ada notifikasi apa pun. Padahal dia ingin sekali mendapat perhatian dari Gabriella seperti yang Cara lakukan pada Alvaro.
"Lix!"
Felix tergagap karena mendengar suara Alvaro. Dia pun cepat-cepat menghampiri Alvaro yang berada tidak jauh di depannya.
"Aku memintamu menemaniku ke Malaysia untuk bekerja, bukan untuk melamun," decak Alvaro terdengar kesal karena Felix sejak tadi asyik dengan pikirann
Suhu udara di Perancis saat bulan Februari bisa sampai tujuh derajat celcius. Sangat dingin. Karena itu orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dari pada di dluar. Mereka menyalakan kayu di perapian agar ruangan terasa lebih hangat sambil menikmati secangkir teh panas. Allendra dan Angela masih asyik bergelung di dalam selimut. Cuaca yang dingin membuat mereka enggan beranjak dari tempat tidur. "Apa kau sudah bangun, Allend?" tanya Angela sambil merapatkan tubuhnya pada Allendra agar merasa lebih hangat. "Belum," sahut Allendra dengan mata terpejam. Angela terkekeh geli mendengarnya. "Mana ada orang belum bangun tapi bisa menjawab pertanyaan, Allendra. Kau ini aneh sekali." Allendra sebenarnya sudah ban
Dalam sekejab dunia Cara seolah-olah runtuh. Dadanya mati rasa seolah-olah paru-parunya lupa bagaimana caranya bernapas karena Angela memintanya untuk meninggalkan rumah Alvaro.Terlalu banyak kenangan indah yang telah dia lewati bersama Alvaro dan Mello di rumah ini. Dia tidak sanggup jika harus meninggalkan semuanya karena Alvaro sangat berharga bagi dirinya, terutama Mello.Bayi mungil itu seperti oksigen. Tanpa Mello Cara tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa tetap hidup. Lebih baik dia mati jika harus hidup berpisah dengan buah hatinya."Ta-tapi bagaimana dengan, Mello?" Hati Cara begitu teriris mendengar Mello yang sedang menangis.Sepertinya anak itu juga tidak ingin berpisah dengan ibu kandungnya."Mello masih sangat kecil dan membutuhkan saya, Nyonya. Tolong
Cara masih terjaga padahal sekarang sudah lewat tengah malam. Dia hanya diam sambil memandangi Mello yang sedang tertidur lelap dalam dekapannya karena setiap detik terasa sangat berharga baginya. Sedikit pun Cara tidak pernah menyangka apa yang selama ini dia takutkan hingga membuatnya tidak bisa tidur nyenyak akhirnya menjadi kenyataan. Kedatangan Angela seolah-olah menjadi momok yang menghancurkan mimpi indahnya dengan Alvaro dalam sekejab. Wanita itu datang untuk mengambil Mello sebagai bentuk imbalan atas uang yang sudah wanita itu berikan pada dirinya untuk biaya operasi Ibu. Entah setan apa yang sudah merasaki pikirannya pada waktu itu hingga tanpa berpikir panjang mau menerima tawaran Angela untuk melahirkan anak dari benih Alvaro. Saat anak itu lahir dia harus menyerahkannya pada Angela sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Cara seratus persen menyadari jika apa yang dia lakukan ini amat sang
Cara melangkahkan kakinya tidak tentu arah, tatapan kedua matanya pun terlihat kosong. Separuh hatinya seolah-olah direnggut dengan paksa karena Mello sekarang tidak ada lagi di sampingnya.Sedang apa Mello sekarang?Apa Angela bisa merawat buah hatinya itu dengan baik?Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipi Cara. Rasanya gadis itu ingin kembali ke rumah Alvaro untuk memastikan apakah Mello baik-baik saja.Namun, Angela mengancam akan menyakiti Mello jika dia berani menginjakkan kaki di rumah Alvaro lagi.Cara merasa sangat bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan?Cara terduduk lesu di pinggir trotoar lantas menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya hingga mengundang perhatian beberapa pengguna jalan yang kebetulan lewat di depannya.Mereka heran dan bertanya-tanya karena Cara menangis sendirian di pinggir jala
Alvaro tertegun. Sepasang mata hezel miliknya terpaku menatap seorang wanita bergaun merah yang berada tidak jauh darinya. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi Angela yang sedang memangku Mello dengan pandangan tidak percaya.Sedikit pun Alvaro tidak pernah menyangka jika Angela sekarang ada di rumah. Istri pertamanya itu bahkan sedang memangku buah cintanya bersama Cara.Alvaro pikir Cara yang akan menyambut kepulangannya dari Malaysia. Namun, dugaannya ternyata salah karena bukan Cara yang pertama kali dia lihat begitu menginjakkan kaki di rumah, melainkan Angela.Alvaro pun mengedarkan pandang ke sekitar mencari Cara. Seharusnya Cara langsung menemuinya ketika tahu jika dia sudah datang untuk melepas rindu. Namun, gadis itu malah tidak terlihat batang hidungnya.Di mana, Cara?
"Caramell jelas-jelas memilih pergi. Kenapa kamu tidak rela Caramell meninggalkan rumah ini, Al? Bukankah memang seharusnya Caramell pergi dari rumah ini setelah melahirkan Mello?" Angela menatap Alvaro dengan lekat. Dari sorot matanya dia bisa tahu jiksa Alvaro tidak rela Cara pergi meninggalkannya.Alvaro hanya diam. Seharusnya dia segera menceraikan Cara setelah gadis itu melahirkan buah hatinya sesuai dengan perjanjian awal mereka. Namun, dia tidak sanggup menceraikan Cara karena sudah terlanjur jatuh hati pada gadis itu."Aku pikir kamu senang melihatku kembali karena kita sudah lama tidak bertemu. Tapi kamu malah memikirkan Caramell. Kamu ...." Angela memberi jeda dalam ucapannya agar Alvaro percaya kalau dia merasa sangat kecewa atas apa yang lelaki itu lakukan." ... membuatku benar-benar sedih, Al."Alvaro tertegun. Perasaan bersalah sontak menyelip dalam dirinya karena melihat Angela meneteskan a
Felix terenyak mendengar ucapan Alvaro barusan. Setiap kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu terdengar begitu tegas dan penuh dengan amarah."Kenapa kau melarangku menyebut nama Caramell? Apa kalian bertengkar?""Sudah aku katakan jangan pernah menyebut nama gadis itu di depanku, Lix!" geram Alvaro dengan suara sedikit lebih keras membuat Felix terlonjak kaget."Kenapa kau tiba-tiba melarangku menyebut nama istri keduamu itu?" Felix menuntut penjelasan dari Alvaro. Dia merasa heran karena Alvaro melarangnya menyebut nama Cara.Alvaro mengempaskan punggungnya di sofa lantas memijit kepalanya yang terasa penat. Entah kenapa udara yang dia hirup sekarang terasa begitu menyesakkan semenjak Cara pergi meninggalkannya.Alvaro sepenuhnya menyadari jika hidupnya bergantung penuh pada Cara. Setiap napas yang dia hirup dan embuskan semuanya untuk Cara. Tanpa gadis itu ... Alvaro tidak tahu lagi
Bik Arum yang sedang menyiapkan makan malam di dapur, bergegas beranjak ke depan ketika mendengar Alvaro datang. Tanpa diminta wanita paruh baya yang berusia lima tahun lebih tua dari Mama itu mengambil alih tas kerja dan kemeja milik Alvaro.Padahal biasanya Cara yang selalu mengambil kemeja dan tas kerja miliknya. Namun, gadis itu telah pergi meninggalkan rumahnya. Menyisakan luka yang begitu dalam di hatinya.Ah, lagi-lagi dia malah memikirkan Cara."Terima kasih, Bik."Bik Arum mengangguk. Alvaro pun melepas dua kancing kemejanya paling atas lantas menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku untuk mengusir gerah.Wajahnya terlihat sangat lelah karena beberapa hari ini dia sulit tidur dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja. Namun, semua itu tidak mengurangi kadar ketampanan seorang Alvaro."Apa Mello masih sering rewel, Bik?""Masih, Tua
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di