Dokter itu mengangguk dan segera memanggil perawat untuk mempersiapkan semuanya. Almeera diantar ke ruang khusus untuk donor darah, hatinya berdebar-debar. Walaupun rasa takut masih menyelubungi pikirannya, ia merasa kuat dan bertekad untuk melakukan apa pun demi Tuan Marco.
Selama proses pendonoran, Almeera teringat pada semua momen yang dihabiskan bersama Tuan Marco dan Nyonya Diana. Senyum mereka yang hangat, tatapan yang teduh, dan perhatian tulus yang mereka berikan. Sungguh, Almeera merasa bersyukur bisa dipertemukan dengan pasangan paruh baya itu.
Perawat pun mengoleskan alkohol pada lengan Almeera sebelum menusukkan jarum. Almeera menutup mata, mencoba menenangkan diri dengan mengingat betapa besar pengorbanan Tuan Marco baginya. Dalam hitungan menit, darahnya mengalir ke dalam kantong.
“Baiklah, Bu. Sekarang tinggal menunggu hasil transfusi,” kata perawat, memberinya senyuman menenangkan. “Ibu bisa mengonsumsi makanan yang
Karenina duduk di kamarnya dengan gelisah. Jari-jarinya yang kurus terus-menerus mengetuk-ngetuk pegangan kursi roda yang telah menjadi teman setianya dalam bersandiwara. Matanya sesekali melirik jam di dinding.Sore sudah menjelang, tetapi belum ada kabar dari Dendi, preman yang disewanya untuk menyingkirkan Almeera. Sudah berjam-jam berlalu sejak ia memberi instruksi kepada Dendi untuk memastikan kecelakaan itu terjadi. Karenina ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Hari ini harus menjadi akhir dari Almeera—perempuan yang telah merebut segala hal yang dulu menjadi miliknya, terutama Kaisar.Karenina menggigit bibirnya, merasakan emosi yang membuncah. Sebuah senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya yang berwarna merah. Hari ini akan menjadi hari kemenangan telak baginya, di mana Almeera tidak lagi ada di dunia ini. Kaisar akan hancur, dan ia akan tertawa melihat lelaki itu menyesali pernikahan bodohnya.Namun, seiring waktu yang t
"Almeera, ayo kita duduk," suara lembut Nyonya Diana terdengar dari samping, menarik Almeera dari kekacauan pikirannya.Almeera menoleh, menatap wanita paruh baya itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sangat bersalah, baik terhadap ayah kandungnya, maupun terhadap Nyonya Diana. Seakan mengetahui isi hati Almeera, Nyonya Diana memegang bahunya dan menuntunnya menuju kursi di depan ruang operasi.Keduanya duduk di sana, dalam keheningan yang mencekam. Almeera merasa dadanya semakin sesak, seiring dengan detik yang berlalu. Di balik pintu itu, hidup seseorang yang begitu penting bagi mereka sedang dipertaruhkan.Kepalanya terus-menerus dihantui bayangan kecelakaan tadi, ketika Tuan Marco mendorongnya menjauh dari mobil yang melaju kencang. Sekarang, ayahnya itu berbaring di ruang operasi, dan ia tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu. Entah mengapa setelah dua puluh tiga tahun berlalu, ia justru dipertemukan dengan sang ayah melalui peristiwa yang san
Almeera mendongak, air mata masih mengalir di pipinya. "Tuan Marco … dia terluka parah. Aku takut ... sangat takut, Hubby."Kaisar mengelus lembut pundak Almeera yang bergetar, meski di dalam hatinya rasa marah semakin membara."Kita akan cari tahu siapa yang bertanggung jawab. Percayalah padaku, Sayang," ucapnya sambil memeluk istrinya lebih erat.Kaisar menatap sekilas pada Tuan Marco yang masih tak sadarkan diri, memikirkan betapa pria paruh baya itu telah mengorbankan nyawa demi melindungi Almeera."Kaisar...," suara Nyonya Diana memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam. "Suamiku selamat berkat transfusi darah dari Almeera. Golongan darah mereka sama."Mendengar itu, Kaisar menoleh dengan tatapan terkejut. Golongan darah Almeera sama dengan Marco Biantara? Kenyataan itu membuat Kaisar berpikir keras. Ia ingin menanyakan lebih lanjut kepada Nyonya Diana, mengenai hubungan sebenarnya antara Tuan Marco dengan Almeera. N
Almeera menerima resep dari dokter dengan tangan gemetar. Ada rasa lega dalam hatinya, sebab bayinya baik-baik saja. Meski ia hampir saja celaka, tetapi Yang Maha Kuasa masih memberinya kesempatan untuk menjadi seorang ibu.Setelah dokter memberikan beberapa saran, Almeera dan Kaisar mengambil obat dari apotek rumah sakit. Kaisar memeluk bahu Almeera saat mereka berjalan keluar, meninggalkan rumah sakit bersalin itu dengan hati bersyukur. Sebelum masuk ke dalam mobil, Kaisar mengecup kening Almeera penuh kasih."Aku akan selalu menjagamu dan bayi kita. Kalian adalah segalanya untukku," bisiknya lembut.Almeera tersenyum kecil, lalu berbisik, "Terima kasih, Hubby."Kaisar membalas dengan senyum yang memancarkan cinta. Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah sakit, menuju apartemen yang kini akan menjadi tempat yang lebih istimewa. Bukan hanya bagi mereka berdua, tetapi juga bagi kehidupan kecil yang sedang mereka nanti-nantikan.Sepanjang per
Kaisar melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, tubuh atletisnya berkilau oleh sisa-sisa air. Udara apartemen terasa segar, harum lavender dari diffuser memenuhi ruang, menenangkan Almeera yang duduk di ujung ranjang dengan piyama satin.Almeera mengusap perutnya yang masih rata, senyumnya mengembang saat memikirkan kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Namun, tatapan bahagia tersebut berubah gugup ketika Kaisar mengenakan kemeja biru muda dan merapikan kerah. Kaisar menangkap kegelisahan itu. "Kenapa, Sayang?" tanyanya.Almeera menghela napas, ragu sejenak. Namun, dia tahu bahwa Kaisar tidak mungkin bisa dibohongi. Suaminya itu sudah memahami seluruh isi hatinya dengan sangat baik.“Hubby, apakah semalam Akbar sudah memberikan kabar mengenai Tuan Marco? Aku … mau menjenguk Tuan Marco di rumah sakit,” katanya sembari menggigit bibir. Kaisar menghentikan gerakannya seje
Karenina menggenggam ponselnya erat, matanya nyalang memandangi layar yang menampilkan nama Dendi —“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Suara otomatis itu mengulang tanpa henti, seakan menusuk-nusuk telinganya. Karenina merasakan darahnya mendidih. Napasnya berat dan tersengal dengan irama kemarahan yang tak tertahan.Dendi, pria yang dibayarnya mahal untuk memastikan Almeera tidak lagi bernapas, ternyata seorang penipu. Fakta bahwa Almeera masih hidup membuat seluruh rencananya berantakan. Ini memang kesalahannya sendiri. Akibat terlalu senang dengan kabar kematian Almeera, dia lupa meminta bukti dari Dendi.Dengan geram, Karenina melempar ponsel ke sofa. “Penjahat Sialan!” desis Karenina, wajahnya memerah.Kepalanya berdenyut-denyut, amarah berputar seperti pusaran badai di dalam dirinya. Dalam keadaan murka, Karenina berusaha menenangkan pikirannya. Namun, emosinya semakin memuncak ketika dilihatnya dari j
Di apartemennya, Almeera duduk di sofa sambil memandangi jam dinding. Waktu terasa berjalan lambat, seolah menambah ketegangan yang ia rasakan sejak pagi. Bukan hanya memikirkan kondisi Tuan Marco, ia juga was-was bila orang yang akan menabraknya masih berkeliaran bebas di luaran sana.Almeera pun mengusap perutnya dengan lembut, merasakan kehidupan kecil yang kini menjadi prioritas utamanya. Sebagai calon ibu, ia harus mampu melindungi buah hatinya dengan seluruh jiwa raga. Mulai sekarang, ia tak akan bertindak gegabah lagi.Tak lama, suara bel pintu berbunyi. Secara refleks, Almeera bangkit dan berjalan cepat menuju pintu.“Pasti itu Bi Yuli …,” gumam Almeera merasa lega.Begitu pintu terbuka, Almeera melihat Bi Yuli berdiri dengan membawa sejumlah barang dan makanan. Kepala pelayan kepercayaan Tuan Barata itu langsung memeluknya erat.“Nyonya Almeera! Saya panik sekali saat Tuan Muda mengatakan bahwa An
Tuan Marco menarik napas dalam, tidak segera menjawab pertanyaan putrinya. Almeera pun mencoba mencairkan suasana dengan senyum, meski ada keraguan dalam hatinya.“Aku akan merawat dan menemani Papa sampai Papa sembuh total. Kalau ada yang Papa inginkan, katakan saja, aku pasti berusaha memenuhinya.”Tuan Marco masih bungkam, pikirannya berputar. Akhirnya, ia menatap Almeera dalam-dalam dan berkata dengan suara bergetar, “Meera, bagaimana kalau yang aku inginkan adalah … kamu berpisah dari Kaisar?” Almeera terkejut, seolah seluruh dunianya terbalik. Ia menatap ayahnya dengan mata melebar, tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata sang ayah mengguncang seluruh perasaannya.“Papa, apa maksudnya? Kenapa aku harus berpisah dari Kaisar?” tanyanya lirih, hampir tak sanggup memproses kata-kata itu.Tuan Marco menatap Almeera dengan sorot mata yang sulit diartikan—ad
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe