Avram mengalihkan pandangannya saat mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Laki-laki itu bisa menebak jika perempuan yang sudah berstatus sebagai istrinya itu sekarang sedang mandi. Avram akhirnya mendudukkan tubuhnya di atas ranjang sambil menyibukkan dirinya dengan benda pipih di tangannya.
Kening laki-laki itu berkerut saat melihat sebuah benda dari dalam tas Lavira yang berada di dekat kakinya. Secara perlahan Avram menunduk dan menatap benda itu dengan wajah bingung. “Benda apa ini? Kenapa bentuknya lain seperti ini? Ah, tapi … sepertinya aku pernah melihat benda ini,” gumam Avram mencoba mengingat sesuatu.
Bebera detik kemudian mata laki-laki itu melotot saat mengingat sesuatu. Avram juga menarik kepalanya dan duduk tegak. “Kenapa dia tidak meletakkan benda itu di bagian dalam? Malah meletakkan dalaman di bagian luar,” gumam Avram tidak habis pikir.
Setelahnya laki-laki itu kembali menyibukkan dirinya kepada benda pintar di tangannya. Wajah laki-laki itu masih terlihat datar tidak berekspresi. Mata tajam Avram bergerak pelan mengikuti setiap pergerakan layar ponselnya.
Cklek …
Suara pintu terbuka tidak mengalihkan perhatian Avram. Laki-laki itu masih menunduk dan sibuk dengan telepon genggamnya. Entah Avram sengaja atau memang tidak berminat untuk menatap wajah istrinya.
Berbeda dengan Lavira yang nampak masih sibuk dengan handuk di atas kepalanya. Gadis itu masih tidak menyadari keberadaan Avram yang sedang duduk di tepian ranjang. Tepat saat Lavira mengangkat kepalanya, mata gadis itu melotot seakan ingin keluar dari porosnya.
Glek …
Lavira menelan salivanya kasar menatap takut ke arah Avram yang masih sibuk dengan telepon genggamnya. Namun, mata gadis itu melembut saat melihat setiap ukiran wajah Avram yang tidak terlalu jelas karena laki-laki itu sedang menunduk. Cahaya lampu benda pipih di tangan Avram bisa membuat Lavira melihat wajah Avram cukup jelas.
‘Di-dia Tuan Dakasa? Rumor mengatakan dia berwajah buruk rupa. Tapi ini … sangat berbanding terbalik. Wajahnya memang tidak seperti manusia, mungkin bisa disebut laki-laki berwajah malaikat. Sangat tampan, dan … aku baru tahu ternyata rambut putih bukan hanya dimiliki bagi orang yang berumur lanjut. Dia malah semakin terlihat tampan dengan rambut putih keabu-abuan itu,’ batin Lavira terpesona dengan ketampanan Avram.
“Ma-maafkan saya, Tuan. Saya lancang mengg ….”
“Menyingkirlah, aku ingin ke kamar mandi,” sela Avram dengan suara dinginnya.
Glek …
Untuk kedua kalinya Lavira menelan salivanya kasar. Suara berat nan dingin itu menusuk telinganya. Namun, entah kenapa Lavira malah merasa senang bisa mendengar suara berat setengah serak itu. Terdengar menggoda di indera pendengaran para wanita.
Lavira tidak bersuara lagi, gadis itu memilih menyingkir tidak ingin memancing amarah Avram. Avram berdiri saat tahu Lavira sudah menjauh dari pintu kamar mandi. Laki-laki itu masih tidak mengangkat pandangannya. Sepertinya Avram sengaja karena memang tidak tertarik untuk melihat wajah perempuan yang berada satu ruangan dengannya itu.
‘Astaga, dia tinggi sekali ternyata. Sepertinya jika berdekatan, aku hanya akan berada di bawah ketiaknya.’ Lavira membatin sambil mencuri pandang ke arah Avram yang mulai berjalan ke arah kamar mandi.
Cklek …
Pintu kamar mandi itu tertutup menelan tubuh kekar Avram. Lavira mengangkat kepalanya dan menatap pintu kamar mandi itu dengan pandangan penuh arti. “Ah, dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku tahu dia pasti enggan melihat wajah buruk rupaku ini. Tapi … aku merasa senang dengan itu. Jadi aku tidak perlu malu untuk memperlihatkan wajah bulukku ini,” gumam Lavira.
Gadis itu mulai berjalan mendekat ke arah tas miliknya. “Huh, dia sangat tampan. Meski pernikahan ini sama sekali tidak seperti pernikahan pada umumnya. Aku merasa sangat malu menyandang status sebagai istrinya. Bagai langit dan bumi, perbandingan kami sangat jauh,” sambung Lavira bergumam.
Beberapa menit berlalu, Lavira menoleh ke sekeliling ruangan itu. “Astaga, di sini hanya ada satu ranjang. Aku yakin dia tidak akan sudi tidur satu ranjang denganku. Lagipula aku juga tidak kuat, bisa jantungan aku. Aku tidur di atas sofa saja,” tutur Lavira.
Lavira bergerak ke arah sofa berniat membaringkan tubuh lelahnya. Kegiatannya seharian ini cukup padat sehingga membuatnya benar-benar kelelahan. “Semoga aku bisa tertidur malam ini. Ayo cepat tidur.” Lavira bergumam sambil memejamkan matanya.
Beberapa menit mencoba untuk tertidur. Namun, semuanya sia-sia, sebab pikiran Lavira masih bercabang membayangkan wajah tampan Avram. Gadis itu menjadi kesulitan untuk tidur sebab wajah tampan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya selalu merasuki isi otakk Lavira.
Cklek …
Lavira terkejut saat mendengar suara pintu terbuka. Bisa gadis itu tebak jika Avram sudah selesai dengan kegiatan membersikan diri. Mengetahui itu, Lavira merasa semakin tidak tenang. ‘Astaga, apa malam ini aku tidak akan tidur? Besok 'kan harus sekolah,’ jerit Lavira di dalam hati.
Deg … Glek …
Darah Lavira terkesiap bahkan gadis itu menelan air liurnya susah payah saat Avram melintas di depan matanya. Bukannya tanpa alasan rasa terkejut Lavira. Pasalnya Avram keluar tanpa busana dan hanya memakai handuk saja untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Laki-laki itu malah berjalan santai dengan penampilan seperti itu di depan mata Lavira. Hal itu terlihat jelas di bola mata Lavira. Tubuh kekar yang setengah basah itu membuat pikiran liar Lavira berkelana jauh ke negeri kayangan.
‘Kenapa dia keluar dengan penampilan seperti itu? 'Kan pikiran liarku jadinya terpancing untuk berjalan-jalan,’ pekik Lavira di dalam hati.
Avram sendiri nampak acuh dan merasa tidak terganggu dengan aksinya sendiri. Sebab memang laki-laki itu sudah biasa melakukan semua hal berdasarkan keamuannya. Laki-laki itu memang nampak santai berjalan melewati Lavira ke arah pintu walk in closet.
“Hufft, astaga. Hampir keluar bola mataku karena pemandangan indah itu. Oh, tidak, kenapa sekarang aku tidak polos lagi? Sudahlah, lebih baik aku menoleh ke sini saja. Sepertinya lebih aman.” Lavira bergumam sambil membalikkan tubuhnya ke arah sandaran sofa.
Tidak sampai sepuluh menit, Avram kembali keluar dari ruangan walk ini closet. Laki-laki dingin itu menoleh dan menatap sosok kecil yang sedang bergelung di atas sofa. Hanya beberapa detik, sampai pada akhirnya laki-laki itu menaiki hamparan empuk itu tanpa menaruh rasa ketertarikan kepada Lavira.
Setidaknya satu kemajuan, di mana Avram mengizinkan Lavira masuk dan ikut berbagi ruangan dengan laki-laki yang terkenal misterius itu. Sampai saat ini, Lavira adalah orang kedua setelah Rino yang berhasil melihat wajah tampan Avram. Sebenarnya tanpa orang-orang lihatpun, mereka bisa saja menebak seperti apa tampannya wajah Avram. Sebab, mendiang ayah Avram adalah laki-laki tampan dan mendiang ibunya juga merupakan wanita yang sangat cantik.
Tring … Tring … Tring …
Suara telepon genggam Avram menggema di dalam ruangan itu. Laki-laki dingin itu meraih benda pipih yang berada di atas nakas di samping ranjangnya. Setelahnya laki-laki itu mengangkat panggilan telepon itu.
“Hem,” deham Avram singkat.
“Saya sudah menyiapkan segalanya, Tuan. Saya sedang di lokasi saat ini,” ucap Rino di seberang telepon.
Avram menyeringai mendengar perkataan Rino. Setelahnya laki-laki itu kembali turun dari atas ranjang. “Aku akan segera ke sana,” tutur Avram dengan nada datarnya.
Lavira secara perlahan membalikkan tubuhnya saat merasa Avram sudah keluar dari dalam kamarnya. Gadis itu merasa bingung sekaligus penasaran dengan tujuan laki-laki itu saat ini. “Dia ingin ke mana malam-malam seperti ini? Bukannya dia tidak pernah keluar dari mansion ini, ya?” gumam Lavira penasaran.Cklek …Lavira terkejut saat mendengar suara pintu kamar kembali terbuka. Dengan gerakan cepat Lavira kembali memejamkan matanya sambil berdoa di dalam hati. ‘Aku harap dia tidak menoleh ke sini,’ batin Lavira berharap.Terkabul, Avram benar-benar tidak menoleh sama sekali ke arah Lavira. Mengetahui itu, Lavira dapat bernapas lega. Gadis itu mengintip setiap pergerakan Avram dari mata sedikit berkedip-kedip.Deg …Napas Lavira tercekat dengan jantung yang seakan berhenti berdetak. Gadis itu dapat melihat Avram mengambil benda kecil dari dalam sebuah lemari. Benda kecil yang sangat mengerikan di mata Lavira.‘Pi-pisau? Untuk apa dia membawa pisau malam-malam seperti ini? Terus dia ingin k
Pelayan itu membantu Lavira untuk berdiri. Jelas hal itu membuat Lavira sangat terkejut. “Nona tidak apa-apa?” tanya pelayan itu nampak perhatian. “Oh, saya tidak apa-apa. Terima kasih, Mbak,” balas Lavira nampak kikuk. “Jeny, kenapa kamu malah membantunya? Tidak pantas sekali,” protes seorang pelayan. “Apa yang tidak pantas? Perlakuan kalian itu yang tidak pantas. Dia ini adalah istri dari Tuan Dakasa, jadi sopanlah,” balas pelayan yang dipanggil Jeny itu. “Heh, sopan? Seperti yang dikatakan oleh Nyonya Besar. Dia ini tidak lebih dari barang penebus hutang. Jadi untuk apa sopan kepadanya? Derajat dia di sini itu bahkan lebih rendah dari pada kita,” tutur seorang pelayan. “Hei,” tegur Jeny. “Tidak apa-apa, Mbak. Apa yang dia katakan memang benar,” sahut Lavira kaku. “Jeny, kau harus sadar. Jika kau membantunya, itu sama saja dengan kau melawan Nyonya Siara. Kau pasti akan mendapat masalah nanti,” ujar seorang pelayan. “Sudahlah, ayo kita pergi dari sini. Tidak penting,” papar s
Lavira menggelengkan kepalanya cepat saat kesadaran menghampirinya. Gadis itu kembali menoleh dan menatap Avram yang ternyata juga sedang menatapnya. Napas Lavira tercekat melihat tatapan intens mata tajam Avram. Merasa tidak sanggup, Lavira mengalihkan kepalanya dengan gerakan kaku.“Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta izin kepada Anda. Saya akan pergi ke sekolah,” tutur Lavira dengan suara pelannya.Avram menatap penampilan Lavira dari atas sampai bawah. Laki-laki itu baru menyadari jika gadis itu sedang memakai seragam sekolah. Setelahnya Avram kembali sibuk dengan laptopnya seakan tidak tertarik.Lavira melirik ke arah Avram yang masih tidak bersuara. Melihat Avram kembali sibuk dengan pekerjaannya, membuat Lavira menghela napas pelan. ‘Anggap saja dia mengizinkan aku. Dia kan tidak membanta, itu artinya aku sudah dizinkan,’ batin Lavira.“Ka-kalau begitu terima kasih, Tuan.” Lavira berucap sambil menundukkan kepalanya ke arah Avram.Setelahnya gadis itu mulai melangkah mendek
‘Dia memanggil perempuan itu dengan panggilan Nyonya Dakasa. Sedangkan aku selama ini hanya dipanggil Nyonya Siara,’ rutuk Siara di dalam hati.Lavira menatap Rino dengan pandangan tidak paham gadis itu tidak mengenal siapa Rino. Melihat kebingungan dan raut polos Lavira, Rino kembali bersuara. “Maafkan saya, perkenalkan nama saya Rino Putra. Saya adalah asisten sekaligus tangan kanan Tuan Dakasa,” tutur Rino memperkenalkan diri.‘Oh, jadi dia tangan kanan Tuan Dakasa? Tapi kenapa dia begitu sopan kepadaku, apalagi dia memanggilku Nyonya Dakasa?’ batin Lavira tidak paham.“Tuan Rino kenapa harus berucap sopan seperti itu kepadanya? Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia kan hanya penebus hutang,” papar Feria nampak tidak suka melihat Rino berbicara begitu lembut dan sopan kepada Lavira. Sedangkan saat bersamanya selama ini, Rino bahkan tidak pernah menanggapi kalimat Feria.“Mari, Nyonya. Saya antar ke sekolah,” Rino bersuara kembali menghiraukan kalimat Feria. Jelas saja hal
“Hai, Lavira.” Suara seseorang mengalihkan perhatian Lavira dari makannya. Gadis itu menatap Joana dan Kili dengan pandangan waspada. Lavira bisa menebak apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah ini.Jelas dari tatapan dan senyum jahat yang terlihat di wajah dua gadis itu. Lavira hanya bisa pasrah dengan nasibnya hari ini. Tidak lepas dari satu hari pun bagi Lavira yang selalu mendapat perlakuan buruk dari Joana dan satu temannya itu.“Wah, apa menu makan siangmu kali ini? Masih tidak berubah, ya. Apa kau tidak bosan?” Kili bersuara sambil menatap jijik ke arah dua potong roti tawar di atas meja itu.“Heh, namanya juga gembel. Bosan tidak bosa, ya harus dimakan supaya tidak mati.” Joana menyahut kalimat Kili sambil tertawa mengejek. Kili ikut tertawa mendengar kalimat Joana. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang mendengar perkataan Joana.Lavira hanya dia, gadis itu memang tidak pernah membantah. Seperti apapun orang-orang menghina dan mencaci makinya. Lavira akan tetap dia
“Lebam ini kenapa?” tanya Avram dengan suara dinginnya. “O-oh, i-ini karena ada kejadian di sekolah,” cicit Lavira.Avram masih menatap wajah Lavira dengan pandangan intens. Hal itu membuat Lavira merasa begitu gugup dan kehilangan akal. Bukannya semakin menjauhkan, Avram malah semakin mendekatkan wajahnya kepada Lavira.Lavira menahan napas saat jarak antara wajahnya dengan wajah Avram hanya sekitar tiga senti meter. Bahkan Lavira bisa merasakan hembusan napas hangat Avram menyapu kulit wajahnya. Detak jantung Lavira semakin berlomba di dalam sana.Cup … deg ….Lavira terdiam kaku dengan napas tercekat saat Avram mendaratkan bibirnya tepat di ujung bibir gadis itu. Ujung bibir Lavira yang masih mengeluarkan darah karena tamparan Joana dan Kili tadi di sekolah. Entah apa yang dipikirkan Avram sampai melakukan hal itu kepadanya.Ternyata tidak sampai di sana. Mata Lavira melotot saat gadis itu merasa lidah hangat Avram sedang bergerak di ujung bibirnya. Laki-laki itu seakan sedang men
“Shh ….” Lavira meringis saat Avram memberikan salep pada sudut bibirnya. Laki-laki itu tadi juga sempat mengompres pipi lebam Lavira dengan es batu.Avram menatap wajah Lavira yang saat ini sedang memejamkan matanya seakan menahan sakit. Secara perlahan tangan besar Avram terangkat mengusap salep pada sudut bibir Lavira. Merasakan sentuhan Avram, Lavira membuka matanya dan terkejut saat melihat Avram ternyata sedang menatap intens ke arahnya.Tring … Tring … Tring …Suara telepon genggam Avram memecahkan keheningan di antara sepasang suami istri itu. Avram menarik tangannya dan meraih benda pintar yang saat ini sedang berteriak di dalam saku celananya. “Hem,” deham Avram menjawab panggilan telepon dari Rino.“Kami sudah bersiap, Tuan,” tutur Rino di seberang telepon.Avram tidak menyahut kalimat Rino. Laki-laki itu malah menoleh dan menatap wajah cantik Lavira. Lavira terkejut saat dengan tiba-tiba Avram malah menatap ke arahnya.“Besok,” sahut Avram.“Maaf, Tuan?” tanya Rino tidak m
“Tidur di sini.”Kalimat itu sukses membuat Lavira tertegun di tempat. Matanya membulat, kepalanya perlahan mendongak dan menatap Avram yang sudah sempat menutup mata. Pria itu kembali membuka matanya saat merasakan kepala Lavira bergerak di atas dada bidangnya. Dua pasang mata itu saling tatap hanya beberapa detik, sampai detik berikutnya Lavira mengalihkan wajah.“S-saya cukup berat, Tuan. Nanti Tuan sesak napas karena saya tidur di sini,” cicit Lavira.‘Berat katanya? Bahkan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Badan kurus seperti ini mengaku berat?’ batin Avram heran.“Tidak berat, tidur saja,” tutur Avram dengan suara dinginnya.Lavira tak mampu lagi membantah. Seakan sudah menjadi kodratnya seorang Lavira, dia begitu patuh. Bahkan mungkin jika disuruh oleh orang lain untuk melompat dari gedung tinggi, b
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak