Bab 100. Kepergian Emily—oOo—"Han, apa boleh aku minta sesuatu dari kamu?" tanya Emily sambil menatap Raihan dengan penuh harap. Melihat tatapan Emily, hati Raihan merasa sakit. "Apa?" tanyanya. "Bawa aku pergi dari sini."Raihan melebarkan kedua bola matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Bagaimana mungkin Emily meminta hal itu padahal Emily sudah memiliki suami. "Kamu bicara apa, Emily? Kalau bicara jangan ngaco," balas Raihan sambil terkekeh. Dia menganggap Emily tengah bercanda. "Aku serius, Han. Tolong bawa aku pergi dari sini. Aku ingin pergi jauh dari sini."Raihan menggelengkan kepalanya. Dia kemudian beranjak dari duduknya, tetapi Emily ikut beranjak dari duduknya juga. "Aku mohon, Han, please."Raihan menatap manik mata Emily mencari kebenaran di sana. Dia hanya takut jika Emily tengah bercanda yang bisa mengakibatkan dirinya semakin sulit. Namun, Raihan perhatikan tidak ada kebohongan di mata Emily. Emily terlihat sangat serius dengan permintaanny
Bab 101. Benar-benar Pergi—oOo—"Cepat cari Chelsea sekarang juga!" ucap Axel dengan penuh rasa emosi. Maxime menatap Axel dengan satu alis yang terangkat. "Apa tidak sebaiknya kita cari Emily lebih dulu, Xel? Untuk urusan Chelsea, kita bisa tangani nanti."Axel yang tengah emosi tersadar. Benar juga yang dikatakan oleh Maxime, dia harus mencari istri kecilnya lebih dulu, jika tidak mungkin dia akan kehilangan Emily. "Baiklah, kalau begitu cepat lacak ponsel Emily." Perintah Axel. Maxime mengangguk, dengan segera dia melacak ponsel Emily yang sengaja sudah di masukan cip agar saat Emily pergi Axel bisa dengan mudah mengetahui keberadaannya. "Nona Emily saat ini berada di sebuah kafe di kota X," ucap Maxime saat layar ponselnya sudah menunjukkan keberadaan Emily. "Bagaimana bisa dia sudah sangat jauh?" tanya Axel tidak percaya. Pasalnya untuk ke kota X, membutuhkan waktu hampir dua jam, sementara jika di hitung dari saat ini, ini baru 3 jam. "Apa itu artinya Emily pergi setelah tad
Bab 102. Emily Hamil?—oOo—Axel kembali ke mansion dengan perasaan yang sangat kacau. Dia keluar dari dalam mobil dengan penampilan yang sudah seperti orang gila. Bagaimana tidak? Tadi Axel dan Maxime mencari Emily ke beberapa tempat yang mungkin didatangi oleh Emily. Namun, setelah berputar-putar mereka masih tidak menemukan Emily. Lelah mencari Emily, Axel langsung pergi ke club dan minum-minum. Dia bahkan tadi sempat menghajar orang yang tanpa sengaja menabrak dirinya. Jika tidak dihentikan oleh Maxime mungkin orang itu bisa saja meregang nyawa di tangan Axel. Axel masuk ke dalam mansion diikuti oleh Maxime di belakangnya. Di ruang tamu sudah ada Tuan Del Piero yang seperti tengah menunggu kepulangan Axel. "Di mana Emily, Axel?" tanya Tuan Del Piero saat Axel berjalan melewati dirinya. "Dia pergi," jawab Axel dengan wajah yang terlihat sangat kusut. Tuan Del Piero mengerutkan alisnya. "Pergi ke mana lagi? Kenapa kamu tidak mengajak dia pulang dulu?"Tidak ada jawaban dari Ax
Bab 103. Pergi Ke Singapura—oOo—Emily saat ini tengah berada di sebuah ruang tamu di rumah teman Raihan. Dia tengah duduk sendiri, menunggu Raihan di sofa karena Raihan tengah mengurus keperluan dirinya untuk pergi keluar negeri.Pasalnya tadi Raihan mengatakan, jika Emily benar-benar ingin pergi dari Axel, dia harus mengganti semua identitasnya. Jika tidak, maka Axel akan menemukan Emily dengan mudah. Karena itu, Emily meminta Raihan untuk mengurus semuanya dan untung saja Raihan memiliki kenalan ahli IT jadi dia bisa dengan mudah meminta temannya itu untuk mengubah identitas Emily. Tidak lama Raihan kembali bersama temannya. "Bagaimana, Han?" tanya Emily sambil beranjak dari duduknya dan menatap Raihan dengan tatapan penuh harap. Raihan menyentuh baju Emily, membawa Emily agar duduk kembali. "Semuanya sudah beres. Ini berkas-berkas milik kamu. Sekarang nama kamu Aisyah Putri, warga asli Singapura yang tengah berkunjung ke Jakarta untuk menghadiri seminar," jelas Raihan. "Aisyah
Bab 104. Identitas Baru, Kehidupan Baru—oOo—Emily duduk di kursi yang berada di sebelah Raihan. Dia menatap keluar jendela pesawat dengan tatapan kosong. Dia baru mengalihkan pandangannya saat seorang pramugari di depan sana mulai berbicara. "Ladies and gentlemen, welcome onboard Garuda IndonesiaGA822 with service from Indonesia to Singapore. We are currently third in line for take-off and are expected to be in the air in approximately seven minutes time.""We ask that you please fasten your seatbelts at this time and secure all baggage underneath your seat or in the overhead compartments. We also ask that your seats and table trays are in the upright position for take-off.""Please turn off all personal electronic devices, including laptops and cell phones. Smoking is prohibited for the duration of the flight. Thank you for choosing Garuda Indonesia. Enjoy your flight."Emily mengembuskan napas panjang. Dia kemudian kembali menghadap keluar jendela. Mengacuhkan Raihan yang berada
Bab 105. Lima Tahun Kemudian—oOo—Lima tahun berlalu. Semua terlihat normal tetapi tidak dengan sebuah hati. Ada sebuah hati yang terasa hampa selama lima tahun ini. Emily menjalani hari-harinya selama lima tahun ini di temani Raihan dan buah hatinya. Dia juga selalu ditemani oleh tingkah absurd pasangan suami istri yang bekerja di rumah Aisyah. Emily saat ini sudah membuka usaha toko bunga yang cukup besar. Setiap harinya banyak sekali orang yang datang ke sana untuk membeli bunga. Ada juga beberapa orang yang sengaja ke sana karena keramahtamahan Emily. Seperti saat ini, terlihat seorang pria dengan setelan jas berwarna biru masuk ke dalam toko bunga milik Emily. Karena sedang ada beberapa pelanggan, Emily turun tangan sendiri. Dia berjalan mendekat ke arah pria yang baru saja masuk. "Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Emily dengan ramah. Pria itu tersenyum sangat manis ke arah Emily. "Selamat siang, Nona. Perkenalkan nama saya Andreas, Nona bisa memanggil saya
Bab 106. Pertanyaan Polos Devan—oOo—"Gimana, Ma, apa enak?" tanya Devan saat sudah menyuapi Emily dengan satu sendok nasi dan potongan ayam goreng. "Enak," jawab Emily, "ayo kamu makan juga." Emily mengambil satu sendok nasi dan ayam goreng lalu menyuapkan pada Devan. "Aaa ...." Emily menyuruh Devan untuk membuka mulutnya dan dengan senang hati Devan membuka dan menerima suapan dari Emily. "Wah, wah, wah, main suap-suapan aja, tapi Daddy nggak diajak nih," ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Emily. Ya, siapa lagi kalau bukan Raihan. Emily dan Devan menoleh ke arah pintu. Emily menatap Raihan dengan senyum di bibirnya, sementara Devan dia menatap Raihan dengan tatapan tidak suka. "Kalau Daddy mau disuapin sama Mama, cepat-cepat nikahin Mama dong. Jadinya Mama sama Daddy bisa suap-suapan dan bisa tinggal satu rumah," celetuk Devan membuat Emily dan Raihan terkejut dengan apa yang dikatakan anak berusia empat setengah tahun itu. Raihan tersenyum dan berjalan ke ara
Bab 107. Xavier Devan Prasetyo—oOo—Raihan tersenyum tipis sambil melirik ke arah Emily. "Aisyah belum siap menikah, kamu do'a kan saja semoga aku dan Aisyah segera menikah."Rekan bisnis Raihan menatap Aisyah sekilas lalu beralih pada Devan. "Iya, semoga kalian secepatnya bisa menyusul kami," ucapnya sambil tersenyum. Tidak berselang lama, Raihan mengajak Emily dan Devan untuk menikmati jamuan yang telah disiapkan. Sesekali Raihan berbicara dengan rekan bisnisnya yang lain ditemani oleh Emily. Sementara Devan yang merasa bosan meminta ijin pada Emily untuk mengambil kue yang berada tidak terlalu jauh dari posisi mereka. "Baiklah, tapi kamu tidak boleh terlalu jauh, ok." Pesan Emily. "Ok, Ma," sahut Devan sambil menunjukkan ibu jari pada mamanya itu. Emily tersenyum sambil mengusap puncak kepala Devan. Tidak lama, Devan pergi menuju ke meja panjang di mana terdapat beberapa kue yang membuat Devan menelan air liurnya. Devan sangat menyukai kue, sering kali mamanya membuatkan kue un
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la