Bab 106. Pertanyaan Polos Devan—oOo—"Gimana, Ma, apa enak?" tanya Devan saat sudah menyuapi Emily dengan satu sendok nasi dan potongan ayam goreng. "Enak," jawab Emily, "ayo kamu makan juga." Emily mengambil satu sendok nasi dan ayam goreng lalu menyuapkan pada Devan. "Aaa ...." Emily menyuruh Devan untuk membuka mulutnya dan dengan senang hati Devan membuka dan menerima suapan dari Emily. "Wah, wah, wah, main suap-suapan aja, tapi Daddy nggak diajak nih," ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Emily. Ya, siapa lagi kalau bukan Raihan. Emily dan Devan menoleh ke arah pintu. Emily menatap Raihan dengan senyum di bibirnya, sementara Devan dia menatap Raihan dengan tatapan tidak suka. "Kalau Daddy mau disuapin sama Mama, cepat-cepat nikahin Mama dong. Jadinya Mama sama Daddy bisa suap-suapan dan bisa tinggal satu rumah," celetuk Devan membuat Emily dan Raihan terkejut dengan apa yang dikatakan anak berusia empat setengah tahun itu. Raihan tersenyum dan berjalan ke ara
Bab 107. Xavier Devan Prasetyo—oOo—Raihan tersenyum tipis sambil melirik ke arah Emily. "Aisyah belum siap menikah, kamu do'a kan saja semoga aku dan Aisyah segera menikah."Rekan bisnis Raihan menatap Aisyah sekilas lalu beralih pada Devan. "Iya, semoga kalian secepatnya bisa menyusul kami," ucapnya sambil tersenyum. Tidak berselang lama, Raihan mengajak Emily dan Devan untuk menikmati jamuan yang telah disiapkan. Sesekali Raihan berbicara dengan rekan bisnisnya yang lain ditemani oleh Emily. Sementara Devan yang merasa bosan meminta ijin pada Emily untuk mengambil kue yang berada tidak terlalu jauh dari posisi mereka. "Baiklah, tapi kamu tidak boleh terlalu jauh, ok." Pesan Emily. "Ok, Ma," sahut Devan sambil menunjukkan ibu jari pada mamanya itu. Emily tersenyum sambil mengusap puncak kepala Devan. Tidak lama, Devan pergi menuju ke meja panjang di mana terdapat beberapa kue yang membuat Devan menelan air liurnya. Devan sangat menyukai kue, sering kali mamanya membuatkan kue un
Bab 108. Kecurigaan Axel—oOo—Emily yang tengah menemani Raihan yang tengah mengobrol dengan rekan bisnisnya baru menyadari jika putranya sudah terlalu lama untuk mengambil kue. Karena merasa khawatir, dia kemudian menyentuh lengan Raihan dan mendekatkan wajahnya ke telinga Raihan. "Aku cari Devan dulu," bisik Emily. Raihan yang mendengar bisikan Emily menoleh. "Memangnya Devan ke mana?" tanya Raihan tidak tahu. Ya, memang dia tidak tahu karena waktu Devan berpamitan dia tengah sibuk dengan rekan bisnisnya. "Tadi Devan bilang ingin mengambil kue, tetapi sampai sekarang dia belum kembali," jawab Emily sambil menatap ke arah meja di mana terdapat berbagai kue. Raihan mengerutkan dahinya. "Sudah berapa lama Devan pergi?" tanyanya. "Sekitar lima belas menit," jawab Emily khawatir. "Kalau begitu kita cari bersama. Aku yakin Devan ada di sekitar sini, tidak mungkin dia keluar dari sini," ucap Raihan mencoba membuat Emily tidak khawatir. "Tapi takutnya dia diculik atau bertemu dengan
Bab 109. Lamaran Raihan—oOo—"Kalau boleh saya tahu, apa alasan kamu ingin menyelidiki wanita itu?" Maxime memberanikan diri untuk bertanya. "Aku mencurigai jika wanita bernama Aisyah itu adalah Emily yang tengah menyamar," jawab Axel sambil menikmati wine yang ada di tangannya. Saat ini Axel sudah berada di kamar hotel yang di sewa oleh Maxime, untuk tempat tinggal sementara dirinya dan juga Maxime saat berada di Singapura. Maxime seketika menatap sahabatnya itu. "Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu?"Axel menarik salah satu sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum miring. "Tanpa sengaja tadi aku bertemu dengan anak kecil yang mencuri perhatianku." Axel menceritakan kejadian saat dia bertemu dengan Devan. "Aku mendekat ke arah anak kecil itu dan tanpa aku duga, ternyata anak kecil itu sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak menyadari kemiripan anak kecil itu, tetapi tiba-tiba ada beberapa tamu dari acara tadi yang mengira jika anak kecil itu adalah anakku.""Memangnya anak keci
Bab 110. Kebenaran—oOo—"Bagaimana, Emily? Apa kamu bersedia menikah denganku?" tanya Raihan. Aku diam sambil menatap wajah Raihan. Aku bingung harus bagaimana, di satu sisi masih terukir nama Axel di dalam hatinya. Namun, di sisi lain ada Raihan yang selama lima tahun ini menemani dia di saat dia susah dan membantu dia membesarkan Devan. Apalagi mengingat permintaan Devan yang menginginkan dia menikah dengan Raihan. Raihan sendiri saat ini tengah menatap manik mata Emily. Dia dengan setia menunggu jawaban dari Emily. Berharap jika perempuan yang sedari dulu ada di hatinya mau menjadi pendamping hidupnya. Emily menundukkan wajah. Dia kemudian menghela napas panjang. Baru saja dia hendak membuka mulutnya untuk menjawab lamaran dari Raihan, Raihan sudah menyela lebih dulu. "Aku tidak menuntut kamu untuk menjawab pertanyaan dari aku sekarang, Emily. Kamu bisa pikirkan lebih dulu jawaban kamu matang-matang, aku akan setia menunggu.""Tapi, Han, aku—""Nggak apa-apa, Emily, aku akan m
Bab 111. Kedatangan Axel—oOo—Emily tengah sibuk di dalam dapur bersama dengan Ibu Sarah menyiapkan makanan. Awal tinggal di sana, Ibu Sarah tidak mengijinkannya untuk membantu memasak di sana karena memasak dan tugas rumah tangga lainnya adalah tugasnya. Namun, Emily yang memang tidak bisa diam pada akhirnya memaksa Ibu Sarah untuk memperbolehkan dia untuk ikut memasak. Jadilah selama lima tahun ini, hampir setiap paginya Emily memasak dengan Ibu Sarah. Di saat sedang mulai membersihkan sisa-sisa kotoran yang ada akibat memasak tadi. Tiba-tiba sebuah tangan kecil memeluk kakinya. Emily menoleh dan menunduk untuk melihat siapa yang telah memeluk kakinya. Dia tersenyum kala melihat putra tersayangnya yang sudah melakukan itu. Lagi pula jika dia, siapa lagi coba. Emily tersenyum bangga pada sang putra, dia berjongkok dan mengelus puncak kepala Devan dengan lembut. "Pinternya anak Mama, jam segini sudah siap aja," ucap Emily. "Iya dong, Ma. Hari ini 'kan aku harus berangkat lebih pag
Bab 112. Masih Ada Rasa—oOo—"Ada, bisakah Anda membuat orang yang saya cintai kembali pada saya?"Deg! Jantung Emily seketika berhenti sesaat mendengar klimat yang keluar dari mulut Axel. "Ma-maksud, Tuan, apa ya?"Axel tersenyum tipis ketika melihat reaksi istri kecilnya itu. Sungguh Axel sangat gemas melihat bola mata Emily yang melebar. Ingin rasanya Axel mendekat pada Emily dan membuka niqab yang Emily gunakan. Dia sungguh, sangat rindu dan ingin melihat wajah Emily. "Maksud saya, apa Nona bisa pilihkan bunga untuk meluluhkan hati perempuan yang sedang marah agar mau memaafkan saya."Emily terdiam. "Apa saat ini Om Axel tengah bertengkar dengan Chelsea?" tanya Emily di dalam hati."Nona," panggil Axel sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajah Emily. Emily langsung tersadar dari lamunannya dan menatap Axel. "Macam-macam bunga banyak, Tuan. Ada mawar, anyelir, tulip, penony, anggrek dan lily. Tuan ingin pilih yang mana?""Saya juga tidak tahu. Kalau Nona jadi perempuan y
Bab 113. Devan Hilang—oOo—"Apa boleh saya meminta Nona pilihkan rangkaian bunganya. Karena, jujur saja, saya tidak begitu tahu rangkaian seperti apa yang perempuan sukai," jujur Axel. Emily mengangkat wajahnya hingga membuat tatapan mata keduanya bertemu. Untuk sesaat mereka saling pandang, tetapi tidak lama Emily tersadar dan menundukkan pandangannya, menatap album foto yang dia pegang. "Boleh saja, Tuan. Tapi, takutnya nanti Anda atau perempuan yang ingin Anda beri rangkaian ini tidak menyukainya, Tuan." Axel tersenyum melihat Emily yang menghindar dari tatapannya. Setelah itu, dia menjawab, "Saya yakin jika perempuan yang akan saya beri rangkaian bunga itu, akan menyukainya. Buktinya sedari tadi begitu banyak orang datang ke sini untuk membeli bunga pada Nona."Emily terdiam sejenak. "Baiklah, Tuan. Mohon tunggu sebentar, saya akan mulai merangkainya."Jujur hatinya sedikit sakit menerima kenyataan jika suaminya itu ingin memberi rangkaian bunga pada perempuan lain. Namun, Emily
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la