Emily kembali menelan air ludahnya ketika melihat Axel berdiri tepat di belakangnya, dengan jarak yang sangat dekat. "O-om?" gumam Emily tanpa sadar. Axel terus menatap Emily. Di detik selanjutnya, Axel langsung mengangkat tubuh Emily di depan semua orang dan membawa dia pergi dari sana menuju ke kamar mereka. "Om, turunin!" ucap Emily ketika mereka sudah beberapa langkah dari Vera dan yang lainnya. "Kamu tidak berhak memerintahku," ucap Axel masih terus berjalan. "Tapi malu, Om. Cepat turunin aku!"Axel menarik salah satu sudut bibirnya. "Malu? Apa kamu masih punya rasa malu setelah tadi dengan percaya dirinya nunjukin tanda merah di leher kamu itu."Emily melebarkan kedua bola matanya kaget. "Bagaimana bisa dia tahu kalau aku nunjukin ini sama Tante Vera?" Emily bertanya-tanya di dalam hati. "Sudah aku katakan, kamu tidak bisa lepas dariku, setelah kamu masuk ke hidupku," ucap Axel sambil terus berjalan. "Jadi, setelah kamu masuk ke hidup aku, apapun yang kamu lakukan akan bisa
Keesokan harinya, Emily bangun kesiangan. Dia baru bangun setelah mendengar suara ketukan pintu pada kamarnya. "Aaahh, siapa sih? Ganggu aja," ucap Emily masih dengan mata terpejam. Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu terdengar lagi. Emily yang merasa sangat terganggu dengan segera membuka matanya. Dia menoleh ke sebelahnya dan sudah tidak Axel di sana. "Ke mana dia? Apa dia sudah berangkat kerja?" gumam Emily di dalam hati. Setelah itu, Emily menatap jam yang terdapat di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua belas menit. "Astaga!" Emily dengan segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengambil baju miliknya yang tergeletak di bawah tempat tidur dan memakainya. Setelahnya, dia baru berjalan menuju pintu kamar yang sedari tadi terus berbunyi. Ceklek .... Emily membuka pintu kamarnya, dia langsung masuk ke dalam lagi setelah melihat Chrisa yang ada di depan pintu. "Nona Muda baru bangun?" tanya Chrisa sambil mengikuti Emily yang berjalan masuk ke dalam
"Kenapa harus aku yang nganterin berkas ini sih!Kenapa nggak orang lain aja coba!" gerutu Emily di mobil yang sedang membawa dia menuju Del Piero Company. "Maaf Nona Muda, ini adalah permintaan dari Tuan Muda Axel sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa membantahnya. Anda juga tadi sudah mendengarnya, bukan," jawab salah satu pengawal yang menemani Emily. Tadi setelah menemui Tuan Del Piero, Emily kembali ke kamarnya. Namun, ketika dia ingin masuk ke dalam kamar, tiba-tiba ada seorang pengawal yang menghampiri dirinya. Mengatakan jika pengawal itu, diperintahkan oleh Axel untuk mengambil berkas yang disimpan oleh Axel di lemari yang berada di dalam kamarnya.Dengan segera Emily mengambil berkas yang dimaksud dan memberikannya ke pengawal itu. Namun, baru saja pengawal itu ingin menerima berkas yang diberikan oleh Emily, tiba-tiba ponsel Emily berdering. Emily mengurungkan niatnya untuk memberikan berkas itu kepada pengawal di depannya. Emily kemudian mengambil ponsel yang ada di saku ce
"Sandra, apa Tuan Muda ada di dalam?" tanya pengawal yang mengantar Emily pada sekretaris Axel yang bernama Sandra. "Ada, Pak Axel ada di dalam," jawab Sandra sambil menatap Emily. Pengawal itu mengangguk. Setelah itu, dia beralih ke Emily yang berdiri dengan jarak lima langkah dari dia dan Sandra. "Silakan, Nona. Ini ruangan Tuan Muda Axel, Tuan Muda saat ini ada di dalam."Emily mengangguk dengan malas. "Iya, terima kasih.""Sama-sama, Nona."Emily berjalan menuju pintu ruangan Axel. Melihat itu, Sandra segera beranjak dari kursinya dan mengetuk pintu ruangan Axel. Tok ... Tok ... Tok ... Sandra membuka pintu ruangan Axel sambil menundukkan kepalanya. "Permisi, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap Sandra. Axel yang sedang sibuk menandatangani berkas mendongakkan kepalanya. Dia tersenyum seketika saat melihat keberadaan Emily di belakang Sandra. "Masuklah!" ucap Axel memerintahkan Emily untuk mendekat. Emily yang mendapat perintah dari Axel mencebikkan bibirnya. Dia s
"Ya nggak tahu, orang tadi aku denger dari Indah kalau gadis itu manggil Axel dengan sebutan Om."Shinta dan Lusi saling pandang. Tidak lama setelah itu, Chelsea melihat Indah dan Sandra yang baru saja memasuki kantin. "Indah." Panggil Chelsea sambil melambaikan tangannya pada Indah agar Indah mendekat. Merasa ada yang memanggil, Indah menoleh ke sumber suara. Dia melihat Chelsea yang sedang bersama teman-temannya. Indah tersenyum, kemudian dia mengajak Sandra untuk bergabung dengan Chelsea dan yang lainnya. "Hai," sapa Indah. "Kalian baru mau makan siang?" tanya Chelsea berbasa-basi. "Iya," jawab Indah yang kemudian duduk di sebelah Chelsea, sementara Sandra, dia memilih untuk memesan makanan untuk makan siang. "By the way ada apa?" tanya Indah. "Ini loh, Ndah, Lusi sama Shinta nggak percaya kalau tadi ada gadis kecil yang manggil Pak Axel dengan sebutan Om, padahal emang bener ya, tadi ada gadis yang manggil Pak Axel dengan sebutan itu," ujar Chelsea. "Iya, memang tadi ada ga
Chelsea terus menatap kepergian Axel yang membawa Emily di dalam gendongannya, diikuti Maxime di belakangnya. Dia juga bisa melihat jika gadis dalam gendongan Axel meronta-ronta, meminta Axel untuk menurunkan dia tetapi Axel sama sekali tidak menggubris permintaan gadis itu. "Aku kok merasa kalau gadis itu bukan gadis biasa ya? Kalau iya dia keponakan Pak Axel tidak mungkin Pak Axel mau gendong dia hanya untuk membawa dia pergi," ucap Lusi sambil menatap ketiga temannya. "Bener banget. Pak Axel bisa saja narik gadis itu saja 'kan? Bukan malah gendong dia. Atau jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Shin?" tanya Indah. "Jangan-jangan gadis itu pacarnya Pak Axel," ucap Shinta Lusi dan Indah menatap Shinta. "Tapi itu enggak mungkin deh, Shin. Kenapa juga Pak Axel pacaran sama gadis ingusan sementara selama ini banyak perempuan yang ngejar-ngejar dia. Bahkan, ada Chelsea juga yang suka sama Pak Axel tapi Pak Axel mengacuhkan Chelsea dan semua perempuan yang mengejar dia," ucap Lusi.
"Kamu kira yang tahu soal hal itu hanya Axel saja?" tanya Maxime, "kamu salah! Aku ... bahkan Tuan Del Piero juga tahu akan hal itu."Deg!Wanita di hadapan Maxime mengepalkan telapak tangannya. Kenapa bisa Maxime dan Tuan Del Piero tahu akan rahasia dia selama ini. Rahasia yang dia sembunyikan dengan rapat-rapat. "Kamu sudah salah paham, Maxime. Aku sama sekali tidak pernah mengkhianati Axel. Aku melakukan itu semua juga demi Axel!" ucap Chelsea membuka kartu As dia sendiri. "Demi Axel?" Maxime tersenyum sinis. "Jika benar kamu melakukan itu demi Axel kenapa kamu melakukan itu hingga beberapa kali? Bahkan dari apa yang saya lihat, kamu bahkan sangat menikmati apa yang kamu lakukan dengan Alfa, Chelsea!" Chelsea melebarkan kedua bola matanya, tidak menyangka jika Maxime tahu rahasianya sejauh itu. "Apa kamu tahu, Chelsea. Gara-gara kamu, Axel terpukul dan berubah menjadi seperti ini. Dia ... dia berubah menjadi dingin dan tidak percaya dengan seorang wanita! Dan itu semua gara-gara
Emily membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, dia merilekskan tubuhnya yang terasa begitu sangat lelah. Bagaimana tidak lelah? Seharian ini Emily terus berada di kantor Axel, menemani Axel mengerjakan semua pekerjaannya. Emily sama sekali tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum pekerjaan Axel selesai. Sekarang dia baru diantar pulang oleh salah satu sopir Axel karena Axel masih ada pertemuan dengan klien-kliennya. Niat hati, Emily ingin bersantai hari ini. Namun, harus gagal karena permintaan suaminya menyebalkannya itu. Emily memejamkan matanya, ingin rasanya dia segera beralih ke dunia mimpi jika sudah merasa sangat lelah seperti ini. Namun, usahanya terganggu ketika Emily mendengar suara ketukan pintu pada pintu kamarnya. "Siapa?" tanya Emily dengan malasnya. "Saya, Nona," jawab seseorang yang mengetuk pintu kamar Emily. "Masuk!" ucap Emily memerintah orang di balik pintu kamarnya untuk masuk ketika mendengar suara orang itu. Cek lek ... Pintu kamar Emily terbuka dan
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la