Bab 124. Bertemu Seseorang—oOo—Emily mengerjapkan kedua bola matanya saat sinar matahari masuk ke matanya dari sela-sela gorden. Dia membuka matanya dan melihat wajah tampan seorang pria yang berjarak beberapa senti dari wajahnya. Namun, detik berikutnya Emily melebarkan kedua matanya saat menyadari siapa pria di hadapannya itu. Dengan segera Emily bangun dari tidurnya dan turun dari tempat tidur, membuat pria yang tengah tertidur terbangun dan menatap Emily dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Axel dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Ke-kenapa Om tidur di situ?" jerit Emily. Axel bangun dan menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidurnya. "Kalau aku tidak tidur di sini, lalu aku harus tidur di mana? Tidak mungkin 'kan aku tidur di sofa pendek itu," tunjuk Axel menggunakan matanya. Emily menoleh ke arah sofa yang ditatap Axel. Jika dilihat memang Axel tidak mungkin tidur di sana, pasti Axel tidak bisa tidur dengan nyaman jika tidur di sana. "Ta-tapi seharus
Bab 125. Pengakuan—oOo—"Ada apa?" tanya Axel ketika Emily menghentikan langkahnya. Emily menatap manik mata Axel. "Om tidak berniat buruk padaku dan Devan 'kan?"Axel menautkan alisnya. Dia kemudian tertawa dengan sangat kerasnya membuat semua orang yang ada di sana melihat ke arah Tuan Muda mereka dengan tatapan bingung. Mereka juga terpana karena setelah belum pernah melihat Tuan Muda mereka tertawa dengan kerasnya selama mereka bekerja dengan Tuan Muda mereka itu. Sementara Emily yang melihat Axel tertawa dengan kerasnya menautkan alisnya. "Apa pertanyaanku ada yang lucu?" tanya Emily. Axel menghentikan tawanya. Dia kemudian menatap Devan dan tersenyum pada putranya itu. "Lihatlah Mamamu Devan, dia sangat lucu. Mana mungkin Papa berniat buruk pada kalian. Kamu dan Mamamu ini adalah hidup Papa, bisa-bisanya Mamamu berpikiran seperti itu," gumam Axel yang langsung membuat Devan terkekeh. Wajah Emily memerah karena ucapan Axel. Bukankah wajar jika dia berpikiran seperti itu? Pasa
Bab 126. Kebenaran Yang Mengejutkan—oOo—"Siapa? Siapa orang yang telah merencakan semua itu?" tanya Emily sambil menatap Axel. "Dia Alice, tante kamu."Emily menggelengkan kepalanya. "Tidak, itu tidak mungkin. Tidak mungkin Tante Alice yang merencanakan itu semua, pasti Om salah.""Terserah kamu mau percaya atau tidak, tetapi aku mengatakan semua ini bukan tanpa bukti. Aku memiliki bukti kejahatan yang dilakukan Alice." Axel kemudian memanggil salah satu pengawalnya, menyuruh dia untuk mengambil tab miliknya di dalam mobil. Tidak lama pengawal tadi datang dengan tab du tangannya. Dia langsung memberikan tab tersebut pada Axel, lalu pergi setelah Axel menerima tab itu dan memberinya kode untuk pergi dari sana. Axel kemudian mengutak-atik tab miliknya. Setelah layar tab menunjukkan apa yang dia cari, Axel memberikan tab nya itu pada Emily. Emily menerima tab Axel yang masih menyala. "Lihatlah, setelah itu kamu bisa menilai apa aku berbohong atau tudak."Emily menatap layar tab. Awa
Bab 127. Mengkhawatirkan Raihan—oOo—"Mama, apa benar yang dikatakan Papa?" teriak Devan yang baru saja masuk ke dalam kamar di mana Emily berada, membuat Emily menoleh dan menatap putranya itu. "Ada apa, Sayang?" tanya Emily sambil menyamakan tinggi badannya dengan Devan. Devan mengatur napas dan menatap Emily. "Papa bilang, kita hari ini bakal menginap di sini, apa benar?" tanya Dengan."Belum pasti, tapi sepertinya begitu.""Kenapa Mama bilang seperti itu?" tanya bocah yang baru berumur hampir lima tahun itu. "Mama harus telepon dan kasih kabar pada Nenek dan Kakek dulu biar mereka nggak khawatirin kita," balas Emily. Devan mengangguk. "Jangan lupa kasih tahu Daddy juga, Ma."Mendengar ucapan Devan membuat tubuh Emily menegang. Dia memang harus memberitahu Raihan, dia juga harus menceritakan semua yang terjadi hari ini pada Raihan, menceritakan semua kesalahan pahaman yang terjadi selama ini. Namun, sepertinya dia tidak bisa memberi tahu Raihan melalui telepon, dia harus mengat
Bab 128. Merelakan—oOo—Axel mengepalkan telapak tangannya ketika membaca pesan yang dikirimkan Emily. Dia merasa cemburu dengan perhatian yang diberikan Emily pada Axel. Namun, dia juga merasa lega karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat. Axel kemudian kembali menatap layar ponsel Emily, membaca pesan yang dikirim Raihan. "Maaf Emily, aku baru bisa balas pesan dari kamu. Tadi saat kamu menelepon aku sedang rapat.""Aku tidak marah ataupun kecewa sama kamu, untuk apa aku marah? Bahkan kamu tidak berbuat kesalahan 'kan, he-he-he.""Aku masih ada di Malaysia, Emily. Mungkin sekitar satu minggu lagi aku baru bisa pulang. Gimana kabarnya Devan? Dia baik-baik saja 'kan?""Kamu mau bicara apa? Bilang aja."Axel mengembalikan layar ponsel Emily ke beranda depan, dia menaruh ponsel Emily di atas nakas. Kemudian dia duduk di tepi tempat tidur, mengelus wajah Emily dengan lembut lalu ikut berbaring di sebelah Emily sembari memeluk tubuh mungil istri kecilnya itu. —oOo—Se
Bab 129. Kembali Ke Rumah Aisyah—oOo—Emily menatap Devan yang terlihat sangat bahagia. Dia saat ini tengah bermain dengan Maxime dan beberapa bodyguard setelah tadi dia makan siang. Di saat Emily sedang menatap Devan, Emily kepikiran dengan Chelsea dan Alfa yang mendadak tidak terlihat. Apa mereka sudah pergi? Ke mana mereka pergi? Kenapa dia tidak tahu? "Kak Maxime!"Maxime yang tengah bermain dengan Devan menoleh ke arah Emily. "Devan, Om ke sana dulu ya, Mama kamu manggil," pamit Maxime pada Devan. Devan mengangguk dengan senyum di bibirnya. "Iya, tapi jangan lama-lama ya, Om?""Iya, Om nggak akan lama kok." Maxime beralih pada ketiga bodyguard yang bersama Devan. "Kalian berdua jaga, Tuan Muda Kecil, jangan sampai dia kenapa-napa.""Baik, Pak!" jawab ketiga bodyguard yang bersama Devan. Maxime mengangguk. Dia pergi meninggalkan Devan dan mendekat pada Emily. "Nona memanggil saya?" tanya Maxime ketika sudah berada di depan Emily. "Duduk dulu, Kak." Emily menyuruh Maxime untuk
Bab 130. Kembali Ke Indonesia—oOo—"Eneng kok pulang? Bukankah Eneng mau tinggal di sana?" tanya Sarah sambil menatap Emily. Emily sedikit terkejut. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa Sarah tahu jika dia dan Devan akan tinggal di rumah tadi? Bukankah tadi Emily belum memberi kabar pada siapa-siapa. Di saat dia tengah bertanya-tanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan segera Emily mengambil ponselnya, dia tertegun saat melihat siapa yang menelepon. "Kak Chrisa?" Emily sangat terkejut saat Chrisa menghubungi nomor ponselnya, padahal Emily belum pernah menghubungi atau dihubungi oleh Chrisa maupun orang lain selain Axel. Lalu dari mana, Chrisnandi tahu nomor ponselnya?"Siapa, Neng?" tanya Sarah ketika melihat Emily terdiam. "Seseorang yang sudah aku anggap sebagai Kakak," jawab Emily, "Nek, apa aku boleh minta tolong?""Minta tolong apa, Neng?""Tolong bawa Devan ke dalam kamar, aku akan mengangkat telepon dulu."Sarah mengangguk. "Baik, Neng," jawab Sarah, "ayo, Den, kita ke kamar
Bab 131. Tidak Percaya—oOo—Emily dan Devan masuk ke dalam pesawat, mereka duduk di kursi mereka. "Putra Mama takut nggak?" tanya Emily pada Devan karena ini pertama kalinya Devan naik pesawat terbang. "Enggak dong, Devan 'kan pemberani," jawab Devan dengan percaya dirinya. Emily tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Devan, memeluk bahu Devan dan menyandarkannya pada dirinya. "Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi dengan Opa. Aku tidak ingin Opa kenapa-napa," gumam Emily di dalam hati. Beberapa jam kemudian, pesawat yang membawa Emily sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Emily dan Devan turun dari pesawat lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Chrisa. "Hallo, Nona?""Hallo, Kak. Aku dan Devan sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Opa berada di rumah sakit mana?" "Nona tunggu saja di sana, nanti akan ada orang suruhan saya yang menjemput Nona dan Tuan Muda Kecil.""Baik.""Nona dan Tuan Muda Kecil memakai baju apa, supaya orang suruhan saya mengenali Nona.""Devan memak
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la