"Sayang." Bastian mengenggam tangan pucat Bee. Hatinya teriris sakit melihat wanita itu yang terpejam dengan wajah pucatnya. Bee sempat dinyatakan meninggal karena jantungnya berhenti berdetak selama beberapa menit. Namun, mukjizat dan keajaiban masih memberikan dirinya kesempatan untuk hidup bersama suami dan anak-anaknya. "Buka matamu. Aku sangat merindukanmu," ucapnya mengecup punggung tangan wanita itu. Bastian memandikan air mata setiap harinya. Apalagi Bee yang sama sekali tak bergerak. Wanita itu sempat mengalami pendarahan hebat setelah melahirkan ketiga anaknya. Cairan yang masuk ke dalam tubuhnya juga meresap sampai ke tulang, hati, jantung dan bagian organ tubuh lainnya. Bastian meminta para medis untuk memberikan perawatan terbaik pada istrinya. Jika istrinya sampai tak selamat maka para dokter itu juga akan mengalami hal yang sama. Sejak Bee dinyatakan koma, Bastian menyiapkan ruangan VVIP yang dilengkapi dengan fasilitas mahal.Bastian juga meminta kepada para dokter
Bastian keluar dari ruangan istrinya. Wajahnya tampak lelah seperti tak bersemangat untuk hidup. Untung saja kondisi ketiga anaknya sudah mulai pulih dan stabil walau masih belum bisa digendong oleh dirinya. "Tuan!" Dokter Arumi berjalan mendekati pria itu. Arumi bukan hanya seorang dokter, tetapi dia juga sudah bekerja selama puluhan tahun dengan keluarga besar Bastian. Bastian hanya mengangguk. Sesakit ini ternyata melihat orang yang kita sayang terbaring tak berdaya. Andai bisa, Bastian ingin menggantikan posisi sang istri agar dia bisa merasakan yang dirasakan oleh Bee. "Siapkan semua alat medis terbaik untuk istri dan anak-anakku. Aku akan mendatangkan dokter terbaik dari Amerika!" titah Bastian. "Baik, Tuan," jawab Arumi. "Nak Bastian, bolehkah paman melihat Bee sebentar?" pinta Dominic. Pria paruh baya itu ingin sekali melihat anak perempuannya. Bastian mengangguk. Untuk saat ini dia tidak ingin egois. Walaupun ada rasa marah terhadap mertuanya tersebut yang membuang Bee
"Brengsek! Bunuh saja aku!" sentak Galang frustasi sambil menatap Bram dengan penuh amarah. "Tidak akan. Kematian terlalu mudah untukmu," sahut Bram dengan senyuman mengejeknya. Dia sama sekali tidak merasa simpati dengan penderitaan Galang. "Bram, sebaiknya bereskan semuanya. Kita harus cepat kembali," ucap Kenzo. Bram mengangguk, lalu memerintahkan anak buahnya mengurung Galang di dalam sebuah sangkar. "Ayo!" Mereka kembali masuk ke dalam pesawat. Tampak Kenzo duduk gelisah dan tak tenang. "Kenapa, Ken?" Kening Bram mengerut heran. "Bee sudah melahirkan," jawab Kenzo. Mata Bram langsung berkaca-kaca mendengar kabar bahagia itu. Sebagai seorang adik yang sudah berubah pada kakaknya, tentu dia merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Bastian. "Tapi..." Kenzo menarik napasnya dalam. "Tapi apa, Ken?" tanya Bram tampak tak sabar. "Anaknya lahir prematur dan sekarang Bee koma akibat cairan yang Galang masukan ke dalam mulutnya," jelas Kenzo. Bram seperti tersambar petir di si
"Anakku!" Tata menggelengkan kepalanya tak percaya. "Ta." Chaca merengkuh tubuh sahabatnya itu mencoba memberi kekuatan lewat pelukannya. "Anakku, Cha. Anakku, kenapa dia bisa pergi meninggalkan aku?" Chaca hanya bisa memeluk Tata mencoba menguatkan sahabatnya itu lewat sentuhan tangan. Dia tahu, tidak akan dengan mudah menerima kenyataan tersebut. Sebab, kehilangan tak pernah benar-benar bercanda. "Cha, tolong kembalikan anakku!" desak Tata menggoyangkan tangan sahabatnya itu, berharap jika Chaca bisa mengabulkan permintaannya. "Ta, kau harus ikhlas. Semua sudah jalan takdir Tuhan," ucap Chaca. Tata menangis semakin kuat. Dia bahkan sampai sesak bernapas menangisi kepergian sang anak yang takkan bisa kembali lagi. Tata bahkan belum melihat dan tahu jenis kelamin anaknya, tetapi sudah dipanggil Tuhan secepat ini. "Tata." Pelukan kedua wanita itu terlepas saat melihat Lucas masuk ke dalam kamar Tata. Pria tampan yang biasanya arogan dan menampilkan wajah dinginnya, kini tak leb
"Ta." Lucas duduk di bibir ranjang dan menatap wanita itu. Wajah tampak murung dan bahkan dia meringguk seraya memeluk lututnya. Dia enggan menatap wajah Lucas. Rasa sakit di dalam dadanya terasa mengiris hingga ke ulu hati. "Maafkan aku," ucapnya merasa bersalah. Seharusnya Lucas merasa senang karena anaknya meninggal sebelum lahir. Artinya dia tidak perlu bertanggungjawab dan fokus mengejar cinta Bee. Namun, kenapa seperti ada sesuatu yang hilang dari rongga dadanya. Apalagi Tata begitu membenci dirinya, padahal dia berniat mengikat wanita ini dalam jeratan cintanya. Lalu siapa sangka justru dirinya terjebak permainannya sendiri. "Maafkan aku atas kematian anak kita." Air mata Tata luruh, setiap kali mengingat anaknya. Hatinya bagai terkoyak dan hancur mengeluarkan darah. Walaupun dia tak menginginkan anaknya itu, tetapi kenapa saat anak itu hilang dia merasa ada sesuatu yang mencekat di dalam sana. Tubuh Tata bergetar dengan tangis yang menggema di dalam kamar itu. "Tata."
"Sayang, kau melupakanku?" Mata Bastian berkaca-kaca. Apa istrinya lupa ingatan? Kenapa bertanya siapa?"Kau siapa, Tuan?" Bee mencoba bangun dan secepatnya Bastian membantu sang istri. "Jangan pegang-pegang, Tuan. Nanti suamiku marah!" ketus Bee. Kenzo, Eric dan Santa terheran-heran melihat sikap Bee. Begitu juga dengan Arumi dan Wahyu, padahal catatan medis tidak menunjukkan bahwa Bee mengalami amnesia atau lupa ingatan. Namun, kenapa wanita ini tiba-tiba tidak ingat pada suaminya? "Nona apa Anda tidak ingat pada, Tuan?" tanya Arumi. Bee menggeleng dengan wajah polosnya. Dia menatap Bastian heran, apalagi lelaki itu tampak menangis dan menatapnya sendu. "Mommy Mertua," sapa Bee. "Bee." Santa mendekat. "Kau sudah sadar, Nak?" Bee mengangguk. "Sayang, bagaimana bisa kau mengingat mommy, sementara kau melupakanku?" protes Bastian seraya menyeka air matanya. Dunia Bastian seketika hancur ketika Bee bertanya siapa dirinya, berminggu-minggu menunggu wanita itu sadar, tetapi kenapa p
Bastian menatap sendu Bee yang tampak menyusui ketiga anaknya. Saat ini hanya ada mereka saja di kamar mewah itu. Bastian sengaja meminta waktu pada yang lain untuk berbicara empat mata dengan Bee. Dia ingin tahu, apakah sang istri benar-benar lupa padanya. "Sayang." Bastian duduk di bibir ranjang. "Ck, kenapa kau masih memanggilku sayang, Tuan. Kau mau suamiku marah nanti?" ketus Bee. "Sayang, berhenti mengerjaiku. Aku tahu kau sedang berpura-pura tak ingat padaku, 'kan?" sarkas Bastian. Bee mendelik mendengar ucapan lelaki itu. Dia menatap Bastian dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sungguh pria ini tak lelah menganggunya sejak kemarin. Terus saja merenggek seakan mengatakan bahwa dirinya pura-pura lupa. "Ck, bukan pura-pura lupa. Aku benar-benar tidak mengenalmu, Tuan!" tekan Bee sekali lagi. "Keluar sana! Kenapa kau masuk kamarku tanpa seizin suamiku? Nanti kalau dia marah dan mengakui bagaimana?" Bee memutar bola matanya malas. "Tapi–""Cepat keluar!" usir Bee menarik tang
"Sayang, kau benar-benar keterlaluan!" protes Bastian. Pantas saja rasanya sedikit aneh. Bee bisa mengingat orang lain, tetapi suaminya sendiri lupa. Rupanya wanita itu memang pura-pura ingatan agar memberikan kejutan pada sang suami. "Hehe, maaf, Bby. Aku sengaja." Bee cengengesan. "Sini duduk!" Bastian menepuk pahanya. Saat ini hanya ada mereka berdua dan bersama ketiga anaknya di dalam kamar mewah itu. "Mau apa, Bby?" Bee memincingkan matanya curiga. "Katamu aku sudah lama puasa. Sekarang aku mau buka puasa." Bastian mengedipkan matanya jahil. "Ck, tidak mau!" tolak Bee melipat kedua tangannya di dada. Bastian terkekeh pelan. Setelah melahirkan, kenapa wajah Bee semakin cantik? Rasanya Bastian tidak ingin istrinya keluar dari kamar agar tidak ada yang melihat wajah cantik wanita itu. "Aku bercanda, Sayang. Cepat duduk, sini!" Bee mengangguk lalu duduk di pangkuan suaminya. Tak bisa dia pungkiri bahwa kini perlahan perasaan rindu itu menyeruak masuk ke dalam rongga dadanya.
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m