"Tuan Suami." Bee masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Lelaki itu tengah sibuk dengan tumpukan berkas di tangannya. "Ada apa?" ketus Bastian. Bee duduk di kursi depan meja Bastian lalu tersenyum simpul tanpa dosa. Bastian menatap wanita itu curiga. Kalau sudah begini, pasti ada yang di inginkan oleh wanita tersebut darinya. "Kenapa?" Keningnya mengerut. "Malam ini aku tidur sama Tata dan Chaca ya. Besok mau jalan sama mereka," pinta Bee tak lupa dia mengeluarkan jurus andalan puppy eyes nya sehingga membuat Bastian selalu terpesona. "Ck, tidak boleh. Aku tidur dengan siapa?" tolak Bastian keras. Pokoknya dia tidak bisa jauh dari istri kecilnya itu. Setiap detik rasanya ingin bersama dengan Bee, apakah sang istri sedang menggandung. "Aku akan lakukan apa saja agar kau mau mengizinkan aku. Bila perlu guling-guling di atas kasur aku mau." Bee mengedipkan matanya jahil menggoda lelaki tersebut. Bastian tersenyum devil lalu melipat kedua tangan di dada. "Sini, duduk di pangkuanku!
"Argh!" Bram meringgis ketika membuka mata. Kepalanya masih terasa berdenyut sakit. Lelaki itu duduk dan mengumpulkan nyawanya yang terasa melayang karena alkohol yang dia minum semalam. "Aku di mana?" lirih lelaki itu sembari memegang kepalanya yang masih berdenyut. Dia menyimak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia hempaskan napas kasar ketika melihat pakaian yang masih utuh membungkus tubuh. "Ini bukan kamarku," ucapnya lagi menyapu setiap benda yang ada di dalam kamar tersebut dengan pandangan matanya. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Terlihat Herwin masuk ke dalam kamar. "Selamat pagi, Tuan," sapa Herwin."Aku di mana, Win?" tanya Bram. "Anda masih berada di club Tuan Lukas, Tuan," jawab Herwin. "Ini pakaian ganti Anda." Lelaki itu meletakkan paper bag di atas ranjang."Terima kasih, Win." Herwin hampir tersendak ketika mendengar sang tuan mengucapkan kata terima kasih padanya. Selama bekerja dengan Bram baru kali Ini pria itu mengucapkan kata terima kasih. "Apa Anda ing
"Herwin berhenti!" perintah Bram. "Iya, Tuan." Herwin menepikan mobilnya. Bram memincingkan matanya menatap para gadis yang turun dari mobil tersebut. "Apakah itu Bee?" tanya Bram. Herwin ikut melihat kearah pandang Bram lalu mengangguk. "Iya, Tuan. Itu Nona Bee," jawab Herwin. "Apa yang dia lakukan? Bukankah Kak Bastian tidak mengizinkan istrinya keluar?" gumam Bram yang masih di dengar oleh Herwin. "Itu ada Nyonya Besar juga, Tuan," laptop Herwin. "Mommy?" Kening Bram semakin mengerut heran. Tumben ibunya tersebut mau bergabung dengan orang lain. "Benar, Tuan. Itu Nyonya Besar," jelas Herwin. "Herwin, kirim pengawal untuk mengawasi mereka!" titah Bram. "Baik, Tuan." Herwin segera meronggoh jasnya lalu menghubungi para anak buah untuk melindungi Bee. Entah kenapa sejak tahu Bee menggandung anak kakaknya, Bram seolah ingin memberikan perhatian lebih. Tidak ada maksud apa-apa selain ingin melindungi Bee dan calon keponakannya. "Jalan, Win!" Bram tahu bahwa Bastian bukan t
"Eh, maaf, maaf, Nyonya," ucap Bee. "Tidak apa_"Seketika tatapan mereka berdua bertemu. Wanita paruh baya itu menatap Bee dengan lewat. Kenapa rasanya tatapan mata Bee begitu teduh dan hangat di hatinya?"Nyonya, Anda baik-baik saja?" Bee melambaikan tangan kearah mata wanita tersebut. "Belva," ucap wanita tersebut dengan mata berkaca-kaca. "Belva?" ulang Bee dengan kening mengerut. "Heh, Nyonya, saya Bianca Emmanuela Santoso. Biasa di panggil Bee." Wanita hamil itu mengulurkan tangan ke arah wanita paruh baya di depannya. Dia menatap uluran tangan Bee dengan mata berkaca-kaca. Kenapa nyaman dan hangat ketika menatap wajah dan mata Bee? Dia seperti melihat dirinya dalam versi remaja. "Nama Nyonya siapa?" tanya Bee yang heran melihat wanita ini malah menatapnya lekat. "Milly," jawab wanita paruh baya tersebut. "Bee panggil Bibi Milly saja ya?" ucap Bee. "Panggil Mommy," ucap Milly spontan tanpa dia memikirkan apa sebenarnya yang terucap. "Mom." Kenzo dan Thia berlari ke arah
Bee turun dari mobil dengan wajah di tekuk kesal. Baru saja dia menikmati kebebasan menikmati dunia luar sudah harus di suruh oleh suaminya datang ke kantor untuk menemani lelaki itu. "Biar saya yang bawa, Nona," pinta Julio pada paper bag di tangan Bee. "Tidak apa, Kak. Biar aku saja," tolak Bee lembut. "Biarkan saya saja, Nona. Nanti tuan bisa marah kalau Anda bawa barang ini," ucap Julio dengan tatapan memohon. Bisa di bakar hidup-hidup dia oleh Bastian jika membiarkan Bee membawa barang tersebut. "Baiklah." Bee mengalah. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kakinya kesal. Padahal tadi dia sedang berbincang dengan wanita yang kata orang-orang mirip dia. "Siapa Bibi Milly? Kenapa aku merasa hangat dan nyaman saat melihatnya?" gumam Bee sambil masuk ke dalam lift dan diikuti oleh Julio. Wanita itu masih berpikir keras. Apa mungkin ada orang yang mirip di dunia ini tanpa hubungan darah? Milly adalah wanita versi tua Bee. Sedangkan Bee wanita versi muda Bee. Dua orang ini ba
"Argh, brengsek!" pekik Alena melempar semua barang yang ada di depannya. "Awas saja kau, Bee. Aku tidak akan membiarkanmu bahagia bersama Bastian. Aku akan hancurkan kalian berdua sebagaimana kalian menghancurkanku aku." Wanita itu memukul kaca hingga menancap di buku-buku tangannya dan mengeluarkan darah segar. Namun, sepertinya dia tidak peduli dengan darah tersebut. Baginya, bisa meluapkan dan melampiaskan rasa sakit lewat pukulan ini sudah membuat hatinya lega. Anggap saja cermin ini adalah wajah Bee yang ingin dia hancurkan. "Alena!" Segera wanita itu menoleh. Seketika dia mematung melihat siapa yang ada di depannya. "Mommy?" lirih Alena. Ella berjalan ke arah putri sulungnya tersebut. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka tidak bertemu. Tentunya ada rasa rindu yang mengembang di dalam dada. Perasaan tersebut benar-benar dia tahan. "Mom." "Alena." Berhari-hari Ella mencari keberadaan putrinya tersebut sejak dia datang ke Indonesia. Entah bagaimana dia bisa sampai di sini
Bastian dan Bee turun dari mobil. Wajah Bastian masih saja di tekuk kesal. Bagaimana tidak? Dirinya harus di ajak makan di tempat yang benar-benar menjijikan. Kening Bee mengerut ketika melihat suasana warteg yang sepi dan bahkan tak ada satu pengunjung pun. Biasanya juga kalau jam makan siang di sini sangat ramai. Lalu kenapa hari sepi sekali? "Kak, apakah warteg ini tutup?" tanya Bee. "Tidak, Nona. Itu buka!" tunjuk Julio. Jelas sepi, karena Bastian sudah memerintahkan Julio agar menyewa tempat tersebut. Mana mau Bastian di lihat oleh banyak orang? Wajahnya privasi dan tentu tidak semua orang bisa melihatnya."Kalau sepi begini mana seru!" Bee mendesah pelan. "Lebih enak sepi," jawab Bastian merangkul bahu istrinya. Dia pria yang menyukai kesunyian dan kadang bising dan merasa terganggu dengan suasana ramai. "Ayo!" ajak Bastian. "Tidak mau," tolak Bee menepis tangan suaminya. "Lah, kenapa lagi?" Bastian mengusap wajahnya frustasi. "Aku mau warteg yang ramai. Bukan sepi sepe
Bastian menatap Istri kecilnya yang sudah terlelap nyaman di samping lelaki tersebut. Dia sandarkan kepala Bee di bahunya dan tersenyum geli mendengar dengkuran halus yang terdengar dari mulut wanita tersebut. "Julio, kita cari hotel!" titah Bastian. "Baik, Tuan Muda," sahut Julio seraya menyetir. "Bawa mobilnya pelan-pelan, Julio! Kau seperti sengaja ingin menganggu istirahat istri dan anakku," protes Bastian. Julio menelan saliva dan mengangguk pelan pelan. Padahal jalan mobil itu sudah sangat pelan tetapi Bastian minta lebih pelan lagi. Alhasil mereka kemalaman dan tidak bisa pulang ke vila, apalagi hujan cukup deras. Kasihan melihat istrinya. Bastian mengangkat tubuh kecil Bee di atas pengakuannya. Sementara kaki Bee melingkar di pinggang sang suami. Wanita itu sama sekali tidak sadar, dia tidur seperti anak kecil. Kekenyangan makan dan juga terlalu banyak berdebat dengan pria itu akhirnya sampai membuat Bee terlelap. Bee memeluk leher suaminya semakin erat, pasti dia pikir
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m